Sengketa Pulau Aceh-Sumut: JK Angkat Bicara, Mendagri Akan Kaji Ulang
Peta Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan yang berada lebih dekat dari pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara dilihat dari citra satelit(Dok. Google Earth)
10:44
14 Juni 2025

Sengketa Pulau Aceh-Sumut: JK Angkat Bicara, Mendagri Akan Kaji Ulang

- Empat pulau yang diperebutkan Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) masih berlanjut. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Jusuf Kalla turut angkat bicara mengenai hal itu untuk menjelaskan posisi dan peraturan perundang-undangannya.

Adapun empat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan. Keempatnya terletak di dekat pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Tengah.

Polemik perebutannya dipicu oleh Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menegaskan bahwa keempat pulau masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.

Pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

Keputusan tersebut direspons beragam oleh kedua daerah, karena konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.

Keputusan Kemendagri terkait empat pulau itu pun ditentang keras oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem).

Pemprov Aceh mengeklaim mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.

Masuk Wilayah Aceh

Jusuf Kalla lantas menjelaskan, keempat pulau tersebut secara historis masuk dalam wilayah administrasi Aceh.

Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang mengatur pemisahan Aceh dari wilayah Sumut.

“Di UU tahun 1956, ada UU tentang Aceh dan Sumatera Utara oleh Presiden Soekarno yang intinya adalah, dulu Aceh itu bagian dari Sumatera Utara, banyak residen. Kemudian Presiden, karena kemudian ada pemberontakan di sana, DI/TII, maka Aceh berdiri sendiri sebagai provinsi dengan otonomi khusus,” ujar JK saat diwawancarai di kediamannya, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).

Beleid tersebut juga menjadi acuan dan rujukan saat pemerintahan Indonesia menandatangani perjanjian Helsinki dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005.

Ketika itu, JK selaku Wakil Presiden RI mendorong adanya dialog untuk menyelesaikan konflik dengan GAM dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

“Karena banyak yang bertanya, membicarakan tentang pembicaraan atau MoU di Helsinki. Karena itu saya bawa MoU-nya. Mengenai perbatasan itu, ada di poin 1.1.4, yang berbunyi 'Perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ,” ungkap JK.

“Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, itu yang meresmikan Provinsi Aceh dengan kabupaten-kabupaten yang ada, berapa itu kabupatennya, itu. Jadi formal,” kata JK.

Cacat Formil

Karena masih masuk wilayah Aceh, JK menilai keputusan yang dikeluarkan Mendagri cacat formil.

Menurutnya, keputusan pemerintah yang menetapkan keempat pulau sebagai wilayah Sumut karena persoalan jarak yang lebih dekat, tidak bisa serta-merta menjadi rujukan. Sebab, ada aspek sejarah yang harus dipertimbangkan.

Terlebih, ada banyak pulau di Indonesia yang tidak dimiliki oleh sejumlah wilayah yang jaraknya justru lebih dekat.

“Bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa. Contohnya di Sulawesi Selatan, ada pulau yang dekat NTT, tapi tetap Sulawesi Selatan, walaupun dekat juga NTT. Itu biasa,” pungkasnya.

Tak Bisa Dipindahkan

JK juga mengaku sudah bicara dengan Mendagri Tito Karnavian bahwa administrasi pulau-pulau tersebut tidak bisa dipindahkan lantaran sudah dilandasi dengan UU.

Secara sah, UU jauh lebih tinggi dibandingkan Keputusan Menteri.

“Jadi, kemarin juga saya berdiskusi dengan Pak Menteri Mendagri, Pak Tito Karnavian mengenai hal ini. Wah, tentu karena ini didirikan dengan Undang-Undang, tidak mungkin (dipindahkan). Tentu tidak bisa dibatalkan atau dipindahkan dengan Kepmen," jelas JK.

Dirinya juga mengingatkan, pemindahan empat pulau tersebut dari wilayah Aceh ke Sumut tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan pada analisis jarak dan efektivitas.

Sebab, Kepmen yang diteken Tito itu jelas bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 1956 yang telah mengatur batas wilayah Aceh dengan daerah di sekitarnya.

“Kepmen tidak bisa mengubah Undang-Undang, ya kan. Walaupun undang-undangnya tidak menyebut pulau itu. Tapi secara historis,” tandas JK.

Tak Bisa Dikelola Bersama

JK pun menanggapi ajakan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution untuk mengelola bersama empat pulau tersebut dengan Pemerintah Provinsi Aceh.

Menurutnya, tidak pernah ada pulau di suatu provinsi yang dikelola oleh dua pemerintah daerah berbeda secara bersama-sama.

“Setahu saya tidak ada pulau atau daerah yang dikelola bersama. Tidak ada, masa dua bupatinya. Masa dua, bayar pajaknya dan ke mana?” tanya dia.

JK pun meyakini bahwa Pemerintah Provinsi Aceh berupaya mempertahankan kepemilikan pulau tersebut, bukan karena ada potensi minyak yang dapat dikelola.

Oleh karena itu, dia berharap agar pemerintah bisa menyelesaikan persoalan tersebut secara sebaik-baiknya, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat.

“Ya, itu pulaunya tidak terlalu besar. Jadi, bagi Aceh itu harga diri. Kenapa diambil? Dan itu juga masalah kepercayaan ke pusat. Jadi, saya kira dan yakin ini agar sebaik-baiknya demi kemaslahatan bersama,” kata JK.

Bakal dikaji ulang

Karena polemik ini, Kemendagri mengaku akan mengkaji ulang permasalahan pulau. Kajian ulang ini dilakukan dengan data dan informasi yang lebih akurat dan lengkap dari semua pihak.

Aspek penting pengkajian tidak hanya terletak pada peta geografis, tetapi juga sisi historis dan realita kultural.

"Menteri Dalam Negeri (Tito Karnavian) sebagai Ketua Tim Nasional Pembakuan Rupabumi akan melakukan kajian ulang secara menyeluruh pada hari Selasa, tanggal 17 Juni 2025," kata Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya melalui pesan singkat, Jumat (13/6/2025).

Mendagri, kata Bima, juga akan mengundang Tim Nasional Pembakuan Rupabumi untuk membahas sengketa dan memahami perkembangan pembahasannya.

Tito juga disebut berencana mengundang para kepala daerah, tokoh, hingga DPR dari kedua provinsi.

"Untuk mendengar pandangan, saran, dan masukan dalam rangka mencari titik temu dan solusi yang terbaik untuk para pihak," jelas Bima.

 

Tag:  #sengketa #pulau #aceh #sumut #angkat #bicara #mendagri #akan #kaji #ulang

KOMENTAR