Paradoks antara Pidato dan Realitas Bernegara
Presiden Prabowo Subianto memberikan pengantar saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/5/2025). Dalam sidang tersebut Presiden Prabowo Subianto memuji kinerja Kabinet Merah Putih yang telah bekerja selama enam bulan dan telah menghasilkan 28 kebijakan baru yang berkaitan langsung dengan rakyat. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.(ANTARA FOTO / GALIH PRADIPTA)
08:08
13 Juni 2025

Paradoks antara Pidato dan Realitas Bernegara

PRESIDEN Prabowo Subianto dalam sejumlah pidatonya selalu menempatkan ancaman serius bagi koruptor, mulai dari ancaman hukuman 50 tahun penjara hingga mengejar koruptor sampai antartika, bahkan akan mengejarnya di padang pasir yang luas.

Berulangkali melalui pidatonya, Presiden Prabowo mengancam para menterinya, kalau tidak sejalan dengan kebijakannya.

Baru-baru ini, presiden mempersilahkan menteri yang tidak becus untuk mundur, atau kalau tidak akan diberhentikan.

Dari pidato ke pidato, sepertinya ancaman presiden masih berupa gertak biasa, belum memperlihatkan tujuan kebijakan yang jelas, hendak ke mana pidato-pidato ini? Arahnya untuk siapa dan apa hasilnya?

Dari ketegasan presiden, lagi-lagi lewat pidato, tersimpan harapan besar. Namun, pidato yang terus menerus tanpa ketaatan pada konstitusi, tanpa pemberantasan korupsi yang serius, akan dianggap hanya sekadar gertak.

Banyak orang mulai jenuh dengan pidato-pidato itu. Bahkan, kalau kita melihat sejumlah komentar netizen, agaknya pidato itu sudah mulai tidak menarik lagi.

Sebagai pengagum Prabowo, saya awalnya merasa presiden akan tegas, menegakkan konstitusi, memberantas korupsi. Namun, bagaimana saya harus mengaguminya terus menerus?

Konstitusi dilanggar

Saat antrean panjang rakyat yang sedang kesulitan mencari pekerjaan, berkerumun dengan keringat dan kelesuan, saat yang sama para menteri dan wakil menteri panen jabatan.

Mereka mendapatkan kenikmatan kekuasaan, menikmati jabatan di tengah rakyat yang sedang susah mencari pekerjaan.

Setelah dilantik menjadi menteri, dilantik pula menjadi CEO, komisaris dan jabatan lainnya.  Sebagian besar wakil menteri merangkap jabatan. Di sisi lain, Presiden Prabowo berpidato seperti seorang yang menegakkan konstitusi.

Inilah yang kita saksikan dalam banyak hal, termasuk menggunakan instrumen kekuasaan untuk mengangkangi hukum. Bagaimana aturan yang jelas-jelas sudah memberikan larangan, tapi dilanggar dengan menerabasnya.

Contohnya, Rosan Roeslani, setelah mendapatkan jabatan sebagai Menteri Investasi, kini menjabat CEO Danatara.

Menteri BUMN Erik Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan para menteri koordinator mendapatkan kedudukan sebagai Dewan Pengawas Danantara.

Rangkap jabatan juga dinikmati sebagian besar wakil menteri yang mengisi jabatan komisaris di BUMN. Pemerintahan seperti surganya rangkap jabatan.

Padahal pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara mengatur secara tegas larangan bagi menteri untuk merangkap jabatan. Dalam pasal a quo menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau

c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Pertanyaannya, apakah Menteri seperti Rosan Roslani, Erick Thohir, Sri Mulyani dan menteri kordinator menjadi bagian dari Danantara tidak melanggar konstitusi?

Menurut ketentuan UU Kementerian Negara jelas bahwa mereka melanggar UU. Danantara disebutkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 perubahan ketiga Atas UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara sebagai badan pengelola keuangan negara. Sebuah badan harus dipimpin secara profesional, bukan dirangkap oleh menteri.

Dalam UU BUMN juga diatur larangan bagi pejabat kementerian. Secara jelas disebutkan bahwa pejabat struktural dan fungsional dari kementerian negara tidak diperbolehkan duduk di jajaran direksi maupun komisaris BUMN.

Pelanggaran ini bukan sekadar urusan etika atau maladministrasi, tetapi masuk wilayah pelanggaran hukum.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, jelas dan terang bahwa menteri maupun wakil menteri dilarang rangkap jabatan di badan usaha miliki negara atau swasta.

Meskipun ketentuan itu bukan dalam amar putusan, tapi MK memperluas frasa “menteri dilarang merangkap jabatan” menjadi “menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan”.

Karena memang dalam UU Kementerian tidak disebutkan spesifik tentang wakil menteri, sehingga untuk menghindari inkonstitusionalitas jabatan itu perlu dipertegas, termasuk kewajiban dan larangannya. Tidak ada jabatan tanpa kewajiban dan larangan.

Dalam pertimbangan hukum MK, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 (tentang Kementrian Negara) berlaku pula bagi wakil menteri.

Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya.

Maka, larangan rangkap jabatan sudah semakin jelas dan terang, tetapi kenapa larangan itu dilanggar?

Kebiasaan melanggar konstitusi dan aturan main dalam bernegara akan mengarah pada abuse of power dan kekuasaan yang tidak terbatas.

Kekuasaan akan menjadi absolut dan korup, seperti yang dikatakan Lord Acton “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Integritas Kabinet Prabowo

Dari pidato ke pidato, publik masih bertanya, apakah ini hanya omon-omon atau presiden benar-benar serius? 

Persoalannya bukan takut atau berani pada koruptor, tapi mau atau tidak mau memberantas korupsi.

Ada menteri-menteri pebisnis yang kerap dikaitkan dengan dugaan korupsi dan konflik kepentingan yang mencolok.

Di depan muka presiden ada sejumlah menteri dengan sederet kasus yang menyanderanya. Adapula pebisnis yang merangkap menteri sehingga melahirkan konflik kepentingan yang serius dalam mengambil kebijakan.

Tentu kita belum lupa, kasus minyak goreng, kasus Pertamina, kasus Telkomsel, dan kasus Korupsi BTS dan kasus besar lainnya yang menyeret nama menteri.

Ada pula kasus pengendalian judi online, di mana menteri disebut menjadi pelindung dari situs enemy itu.

Bagaimana kita percaya terhadap integritas kabinet dengan menteri-menteri yang bermasalah itu?

Meskipun Presiden Prabowo menempatkan ancaman serius bagi koruptor, tapi pada akhirnya kita juga harus secara jujur mengatakan bahwa korupsi masih terjadi dan bercokol di kekuasaan.

Di pemerintahan Prabowo masih banyak pengusaha yang merangkap pebisnis. Banyak kran-kran korupsi yang belum ditutup, seperti korupsi di Bea Cukai.

Jamak terjadi, suap, gratifikasi, pungutan liar hingga korupsi pengadaan barang terjadi terus menerus di Bea Cukai.

Yang paling sering menjadi titik rawan adalah pungutan liar, disebabkan adanya jalur merah dan jalur hijau. Modusnya, barang yang seharusnya melalui jalur hijau (tanpa pemeriksaan) tiba-tiba oleh petugas diarahkan pada jalur merah (wajib diperiksa) atau sebaliknya.

Tindakan petugas seperti itu sudah menjadi rahasia umum dan membuka peluang bernegosiasi dengan pengusaha yang juga tak sedikit selalu mengincar jalan pintas.

Korupsi di bidang ekspor benih lobster sampai hari ini masih terus terjadi dan eskalasinya masih besar.

Importir, eksportir, perusahaan penerbangan, pelayaran, otoritas pelabuhan dan bandar udara, konsultan perdagangan, dan mereka yang terkait dengan perdagangan internasional berkelindan dalam permainan kotor dalam lalu lintas perdagangan internasional.

Ekspor nikel dan biji nikel yang tidak tercatat di Bea Cukai Indonesia, tetapi tercatat di Bea Cukai China yang ditemukan KPK merugikan negara Rp 5,3 triliun. Contoh konkret kejahatan di Bea Cukai.

Tambang ilegal masih marak terjadi, pengerukan sumber daya alam secara ilegal telah merugikan negara, membahayakan manusia, memicu konflik dan merusak lingkungan. Namun, penegakan hukum terhadap tambang ilegal masih setengah hati.

Kalau korupsi-korupsi ini tidak diatasi, negara akan terus mengalami defisit. BUMN-BUMN akan rontok. Efisiensi yang merupakan agenda pemerintah akan menyulitkan pemerintah sendiri.

Kami percaya Presiden Prabowo memiliki cita-cita besar untuk negara. Namun, cita-cita itu akan kandas apabila presiden masih mempertahankan pejabat-pejabat yang tidak memiliki integritas dan bermoral rendah.

Tag:  #paradoks #antara #pidato #realitas #bernegara

KOMENTAR