Hari Lahir Bung Karno: Di Mana Trisakti Kini?
Foto Sukarno di Gelora Bung Karno.(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)
07:02
10 Juni 2025

Hari Lahir Bung Karno: Di Mana Trisakti Kini?

TANGGAL 6 Juni bukan sekadar tanggal di kalender. Ia adalah pengingat tentang kelahiran seorang manusia yang tidak hanya melahirkan republik, tetapi juga melahirkan gagasan tentang arah.

Bung Karno, sang proklamator, lahir pada 6 Juni 1901. Ia tidak hanya menyuarakan kemerdekaan, tetapi memetakannya dalam visi yang tajam dan jauh melampaui zamannya.

Hari ini, Bung Karno masih dipuja di mimbar, dipasang di poster, dikutip dalam pidato. Namun, ketika kita menyusuri arah bangsa hari ini, satu pertanyaan mencuat dengan getir: Di mana Trisakti kini?

Apakah bangsa ini masih berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan?

Warisan

Trisakti adalah buah dari kematangan pemikiran Bung Karno. Ia bukan sekadar slogan, tetapi strategi pembangunan bangsa yang merdeka seutuhnya.

Dalam pidatonya menjelang pertengahan dekade 60-an, Bung Karno mengingatkan bahwa merdeka secara politik saja tidak cukup. Republik ini harus mandiri secara ekonomi dan tegak dengan kepribadian budaya sendiri.

Trisakti adalah jawaban Bung Karno terhadap kolonialisme baru—bentuk-bentuk penindasan yang tidak lagi datang dengan senapan dan seragam, tetapi dengan utang, pasar bebas, dan mentalitas inferior.

Trisakti adalah doktrin keteguhan bangsa untuk berjalan di atas kaki sendiri, menolak ketundukan, dan membangun dengan cara yang sesuai jati diri bangsa.

Namun kini, ketika kita merayakan kelahirannya, gagasan itu justru seperti fosil dalam buku pelajaran. Namanya hidup, tapi pikirannya dikaburkan.

Bung Karno berbicara tentang kedaulatan politik dalam konteks Indonesia yang tidak boleh tunduk pada tekanan asing, kekuatan modal, dan dominasi negara besar.

Ia ingin bangsa ini menentukan arah sendiri, mengambil sikap dalam percaturan dunia berdasarkan kepentingan nasional, bukan kepentingan asing.

Namun, hari ini kita menyaksikan wajah kedaulatan yang pudar. Diplomasi sering dijalankan dengan sikap yang inferior.

Kebijakan luar negeri kita lebih banyak bersifat reaksioner daripada proaktif. Lebih sering mengikuti arus, daripada menciptakan arus.

Bahkan dalam urusan dalam negeri, elite politik lebih tunduk pada logika pemilu dan kalkulasi elektoral dibanding suara rakyat. Demokrasi prosedural telah menggantikan demokrasi substansial.

Dalam doktrin Trisakti, berdikari dalam ekonomi adalah syarat mutlak agar bangsa ini tidak terus menjadi sapi perah dalam sistem global yang timpang.

Bung Karno mengutuk praktik eksploitasi sumber daya oleh korporasi asing. Ia menekankan pentingnya industrialisasi nasional, penguasaan teknologi, dan keberpihakan pada ekonomi kerakyatan.

Namun realitas hari ini begitu kontras. Utang luar negeri makin menumpuk. Kegiatan ekonomi kita masih bergantung pada ekspor bahan mentah.

Alih-alih mengembangkan industri strategis, negara lebih sibuk memfasilitasi proyek-proyek raksasa yang menguntungkan segelintir elite.

Buruh masih berjuang mendapatkan upah layak. Petani masih terlilit harga pupuk dan nasib pasar. Nelayan kehilangan lautnya karena privatisasi.

Sementara itu, pemerintah berbicara tentang pertumbuhan ekonomi tanpa menyentuh soal distribusi.

Bung Karno pernah berkata, “Pembangunan tanpa keberpihakan kepada rakyat adalah pembangunan yang tak bermoral”. Dan kini, imoralitas itu menjadi kenormalan baru.

Aspek ketiga Trisakti adalah berkepribadian dalam kebudayaan. Ini bukan berarti menutup diri dari budaya asing, tetapi membangun kepercayaan diri bangsa untuk tidak menjadi peniru.

Bung Karno menginginkan bangsa ini tumbuh dengan karakter sendiri, rasa estetik sendiri, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.

Namun, apa yang kita lihat hari ini? Anak muda lebih mengenal budaya pop luar negeri ketimbang tokoh-tokoh pergerakan nasional.

Bahasa ibu ditinggalkan. Sastra dipinggirkan. Pendidikan karakter dibungkus menjadi proyek birokrasi. Identitas budaya dilipat ke dalam etalase pariwisata.

Negara pun kerap gagal membedakan antara pelestarian budaya dan komodifikasi budaya. Kita lebih bangga menjual tari-tarian dan tenun sebagai aset ekonomi ketimbang memeliharanya sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap dominasi global.

Setiap tahun, nama Bung Karno dielu-elukan. Pidatonya dibacakan. Lukisannya dipajang, tapi gagasannya tak hidup. Yang dijadikan simbol adalah wajahnya, bukan pikirannya. Yang dirayakan adalah trahnya, bukan ideologinya.

Kita hidup dalam zaman di mana nama besar Soekarno dijadikan pelumas kekuasaan, tapi warisannya tak dijalankan. Bahkan Trisakti pun hari ini lebih sering dijadikan narasi kampanye daripada rencana kerja nasional. Bung Karno tak pernah mengajarkan kultus. Ia mengajarkan keberpihakan. Dan itulah yang hilang.

Refleksi

Memperingati hari lahir Bung Karno mestinya bukan hanya soal nostalgia. Ia adalah pengingat bahwa bangsa ini pernah dipimpin oleh seorang pemikir besar yang menawarkan arah, bukan sekadar ambisi.

Bung Karno mengajarkan bahwa politik bukan soal memenangkan kekuasaan, tetapi menegakkan martabat.

Hari ini, kita berada dalam arus besar globalisasi yang seringkali tidak adil. Kita menghadapi krisis ekologi, ketimpangan sosial, dan kegamangan identitas.

Justru pada saat seperti inilah Trisakti menjadi relevan kembali. Syaratnya, negara harus punya keberanian untuk berdiri tegak, bukan berjongkok di hadapan pasar dan modal.

Hari ini, kita tidak sedang kekurangan ingatan tentang Bung Karno. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk menghidupkan pikirannya.

Trisakti bukan kenangan. Ia adalah kompas. Kompas untuk arah politik yang berdaulat, ekonomi berdikari, dan budaya berkarakter.

Jika hari lahir Bung Karno hanya menjadi perayaan simbolik, maka kita sedang mengkhianati sejarah. Jika Trisakti hanya menjadi hiasan pidato, maka kita sedang kehilangan arah.

Saatnya kita tidak hanya bertanya “Siapa Bung Karno?”, tapi “Mengapa kita menjauhi jalannya?”

Sebab negeri ini tidak bisa dibangun dengan nostalgia, tapi dengan keberanian menyalakan kembali nyala api Trisakti dalam setiap kebijakan.

Tag:  #hari #lahir #bung #karno #mana #trisakti #kini

KOMENTAR