Raja Ampat, Ekstraktivisme, dan Oligarki Pertambangan
Danau Cinta (Love Lake) tampak dari puncak bukit di Pulau Karawapop, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (21/10/2023).(KOMPAS.COM/ FARID ASSIFA)
06:02
9 Juni 2025

Raja Ampat, Ekstraktivisme, dan Oligarki Pertambangan

RAJA Ampat, sering disebut sebagai “surga terakhir di bumi,” bukan hanya mahakarya alam ciptaan Tuhan yang menakjubkan dengan 75 persen spesies terumbu karang dunia dan ratusan spesies flora-fauna endemik, melainkan juga ‘ladang pertempuran’ ekologi dan sosial yang mencerminkan wajah gelap dari kapitalisme ekstraktif dan oligarki tambang di Indonesia.

Di balik citra pariwisata hijau dan keindahan baharinya, tersembunyi praktik-praktik ekstraktivisme yang menggerogoti fondasi ekosistem dan tatanan sosial masyarakat adat serta lokal.

Dalam konteks ini, Raja Ampat adalah laboratorium kegagalan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan. Kita kaya sumber daya alam, tetapi mengapa harus “miskin’ akal sehat dan hati begini?

Ekstraktivisme tambang nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat, seperti Gag, Kawe, dan Manuran, telah melampaui sekadar perusakan lingkungan.

Aktivitas tambang yang merusak lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami bukan hanya mengancam keberlanjutan hayati, tetapi juga mengikis sistem sosial ekonomi yang selama ini bertumpu pada kelestarian alam.

Ekosistem terumbu karang yang rusak, sedimentasi yang menghancurkan habitat laut, dan pencemaran limbah beracun bukan hanya menghancurkan keindahan visual, tapi juga menimbulkan efek domino pada mata pencaharian (bahkan boleh jadi kesehatan) nelayan dan masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada laut.

 

Kerusakan tersebut bukan kebetulan, melainkan konsekuensi dari pola ekstraktivisme yang bertumpu pada logika akumulasi modal tanpa batas, yang dijalankan oleh oligarki tambang yang menguasai akses izin dan sumber daya strategis.

Pemerintah yang semestinya menjadi pengayom dan pelindung lingkungan serta masyarakat malah berperan sebagai fasilitator ekspansi industri tambang, bahkan kerap mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan hak masyarakat adat.

Paradoks ini menegaskan pergeseran fungsi negara dari pelayan publik menjadi agen kapital, di mana kepentingan oligarki tambang mendominasi kebijakan publik.

Pendekatan yang digunakan oleh oligarki tambang di Raja Ampat dapat dibaca sebagai bentuk neokolonialisme dalam konteks domestik. Mereka memonopoli sumber daya alam strategis dan mereduksi wilayah hidup masyarakat adat menjadi objek eksploitasi.

Keberadaan tambang nikel yang beroperasi puluhan tahun tanpa pengawasan efektif menciptakan ketimpangan struktur sosial yang dalam.

Saya menyaksikan di masa lalu, nelayan dengan mudah mendapatkan hasil laut, maka kini harus menempuh jarak lebih jauh dan mengeluarkan biaya tinggi untuk hasil yang justru jauh menurun.

Ini adalah manifestasi bagaimana ekstraktivisme menumbangkan kedaulatan pangan dan ekonomi lokal.

Lebih jauh, kerusakan ekologis yang ditimbulkan tidak dapat dilepaskan dari ketergantungan terhadap model pembangunan ekstraktif yang menggusur keseimbangan alam.

Sedimentasi hasil pengerukan tanah di pesisir; kata aktivis konservasionis, tidak hanya telah merusak karang, tetapi juga melemahkan fungsi ekosistem sebagai penyokong kehidupan laut.

Pencemaran limbah tambang mengganggu siklus biologis, menyebabkan kematian ikan, dan mengancam kesehatan masyarakat. Ini bukan sekadar kerusakan lingkungan teknis, melainkan disfungsi sistemik yang memunculkan krisis ekologis dan sosial secara simultan.

Dari segi sosial politik, keberadaan oligarki tambang membentuk pola dominasi yang mengekang partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan wilayahnya sendiri.

Perubahan fungsi lahan, penguasaan sumber daya air, dan akses terhadap ruang hidup menjadi arena perebutan kuasa yang timpang.

Privatisasi air sungai sebagai sumber kehidupan dan produksi dalam wilayah tambang memperlihatkan bagaimana logika pasar dan kepentingan modal mengambil alih hak-hak dasar masyarakat.

Dalam hal ini, pengelolaan tambang yang eksploitatif memperkuat ketimpangan struktural dan menciptakan kondisi sosial yang rentan terhadap konflik dan marginalisasi.

Kegagalan pemerintah dalam mengendalikan dan mengatur industri tambang di Raja Ampat bukan sekadar persoalan teknis pengawasan, melainkan cerminan dari dominasi oligarki yang menjadikan sektor tambang sebagai sumber pendapatan jangka pendek negara, tanpa memperhitungkan biaya lingkungan dan sosial jangka panjang.

Dalam konteks ini, paradoks pembangunan muncul: promosi pariwisata yang berkelanjutan berjalan beriringan dengan pembiaran aktivitas tambang yang destruktif.

Kebijakan publik yang inkonsisten ini mengandung risiko besar bagi masa depan wilayah yang sangat berharga secara ekologis dan sosial itu.

Pembelajaran dari megaproyek industri tambang seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Weda Industrial Park (IWIP) menjadi relevan untuk memahami dinamika ekstraktivisme di Raja Ampat.

Kedua kawasan ini menampilkan skenario ekstraksi sumber daya yang masif dengan dampak sosial-ekologis serius, mulai dari pengalihan sungai, penggunaan air secara rakus, pencemaran limbah, hingga hilangnya kawasan perikanan dan akses masyarakat terhadap sumber daya alam.

 

Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah antisipatif di Raja Ampat, skenario serupa dapat berulang dan bahkan bisa lebih parah.

Di IMIP dan IWIP, oligarki tambang mempraktikkan model kapitalisme ekstraktif yang mengabaikan hak masyarakat lokal dan merusak ekosistem yang menopang kehidupan.

Privatisasi sumber daya vital, degradasi lingkungan, serta ketimpangan ekonomi yang mengakar menjadi ciri khas megaproyek ini.

Hal ini menegaskan bahwa tanpa reformasi radikal dalam tata kelola sumber daya alam dan penguatan peran masyarakat, tambang akan terus menjadi alat penindasan ekologis dan sosial.

Melampaui aspek teknis dan ekonomi, persoalan ekstraktivisme di Raja Ampat harus dipandang dalam konteks kekuasaan dan struktur politik yang memungkinkan oligarki tambang mempertahankan dominasinya.

Pengaturan izin tambang, mekanisme pengawasan yang lemah, serta relasi ekonomi-politik yang tidak transparan menciptakan ruang bagi perusakan alam dan marginalisasi sosial.

Reformasi tata kelola sumber daya alam harus diarahkan pada pembongkaran oligarki tambang dan penguatan kontrol masyarakat adat melalui prinsip hak atas tanah dan lingkungan yang adil.

Dalam perspektif ini, solusi yang efektif tidak hanya bersifat teknis seperti penguatan regulasi lingkungan atau rehabilitasi ekosistem, tetapi juga harus melibatkan transformasi struktural yang melibatkan demokratisasi pengelolaan sumber daya alam, desentralisasi kewenangan, dan pemberdayaan masyarakat adat sebagai aktor utama.

Pengakuan kedaulatan masyarakat adat dan pengelolaan berbasis kearifan lokal yang peduli dengan keberlangsungan lingkungan menjadi kunci untuk membendung ekstraktivisme yang merusak.

Raja Ampat menghadapi dilema besar: apakah akan menjadi korban dari ekstraktivisme dan dominasi oligarki tambang, ataukah menjadi contoh sukses konservasi dan pembangunan berkelanjutan yang menghormati hak masyarakat adat dan kelestarian alam?

Kerusakan ekologis dan sosial yang terjadi akibat tambang nikel di Raja Ampat adalah bagian dari pola sistemik yang juga tampak di megaproyek pertambangan seperti IMIP dan IWIP.

Solusi yang komprehensif dan berlapis adalah kunci untuk menyelamatkan Raja Ampat. Pemerintah harus berani mengambil keputusan tegas menolak perluasan tambang, menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, dan memberdayakan masyarakat adat.

Bersama-sama, menggalang berbagai pihak harus membangun tata kelola yang transparan dan demokratis serta mengembangkan ekonomi alternatif yang berorientasi pada konservasi dan kesejahteraan lokal.

Semestinya, jika industri ekstraktif tidak menaati prinsip good mining practice (termasuk abai dengan rakyat dan lingkungan hidup), maka tidak usah lagi ditutup sementara, tetapi hendaknya ditutup permanen saja karena sudah bertentangan dengan seluruh hirarki perundang-undangan kita, mulai dari UUD 1945 Pasal 28H dan Pasal 33, hingga Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Masyarakat Adat.

Gagasan menutup secara permanen tambang di Raja Ampat bukanlah sikap anti-investasi, melainkan protes dan koreksi atas arah pembangunan nasional agar tidak menyimpang dan terus-menerus dikendalikan oleh oligarki ekstraktif.

Wilayah Raja Ampat harus menjadi simbol perlawanan terhadap ‘ketamakan’ ekonomi yang mengorbankan bumi, air, dan masa depan anak cucu pemilik masa depan bangsa ini.

Jika negara tetap membiarkan logika ekstraktivisme melanjutkan penghancuran di tanah surgawi itu, maka sesungguhnya negara sedang gagal menjalankan mandat konstitusi.

Sebaliknya, jika negara berani menegakkan aturan dan segera mengatasinya (termasuk mungkin harus menutup tambang secara permanen), itu berarti Indonesia memilih untuk berdiri bersama bumi dan rakyatnya, pilihan moral, ekologis, dan konstitusional yang layak diperjuangkan bersama.

Dan saya sungguh berharap negara mau memilih mendukung sikap yang terakhir itu.

Tag:  #raja #ampat #ekstraktivisme #oligarki #pertambangan

KOMENTAR