



Memperbesar (Cahaya) Keadilan
PENGADILAN adalah jantung dari sistem hukum. Ia seharusnya menjadi ruang suci bagi pencarian keadilan.
Namun, bagaimana jika ruang itu berubah menjadi pasar, dan putusan hukum diperjualbelikan bak komoditas dagangan?
Kasus dugaan tindak pidana pencucian uang senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas yang menyeret mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, menjadi tamparan keras atas mirisnya institusi peradilan kita.
Investigasi Kompas (30/05/2025) menyebut bahwa sebagian besar aliran dana suap itu berkaitan dengan perkara perdata.
Kasus itu tentu hanya salah satu dari banyaknya potret pilu yang menghinggapi badan peradilan Indonesia. Ini membuka tabir bahwa korupsi di pengadilan bukanlah anomali, melainkan gejala sistemik yang mengakar.
Ironisnya, pengadilan yang semestinya menjadi benteng keadilan, justru menjadi ladang subur bagi disintegritas.
Apa yang kita hadapi bukan sekadar pelanggaran etik atau kriminalitas individu, tetapi krisis legitimasi atas institusi yang seharusnya menjaga marwah hukum dan konstitusi.
Pengadilan dalam sistem hukum
Manakala hukum diperjualbelikan, mereka yang lemah secara ekonomi akan selalu berada di pihak yang kalah. Ini bukan sekadar ironi, tetapi tragedi berulang yang menggerus kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Meminjam teori sistem hukum yang dipopulerkan Lawrence Friedman (2011) mengetengahkan bahwa penegakan hukum tidak hanya ditentukan oleh substansi hukum (legal substance), tapi juga oleh struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).
Dalam konteks ini, undang-undang, peraturan internal, regulasi etik, atau bahkan pedoman perilaku selaku legal substance hanya akan efektif jika diiringi dengan struktur kelembagaan hukum yang akuntabel dan budaya hukum yang berintegritas.
Sayangnya, struktur lembaga peradilan kita terkontaminasi suap. Pengawasan internal tidak independen, dan di saat yang sama Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal acapkali mengalami keterbatasan wewenang dan dukungan politik.
Sementara itu, budaya hukum—khususnya dalam hal ini cara pikir dan cara kerja para pengadil—terlampau lekat dengan orientasi kekuasaan dan loyalitas semu, alih-alih pada misi keadilan. Ini memprihatinkan.
Terkait itu, Niklas Luhmann (2004) menukilkan bahwa hukum bekerja sebagai sistem yang otonom dengan logika internalnya sendiri: legal/ilegal.
Dalam sistem ini, pengadilan tak ayal menjadi subsistem hukum yang seharusnya mampu menjaga diferensiasinya dari sistem lain: politik dan ekonomi.
Namun, manakala sistem hukum terlalu terbuka terhadap intervensi dari nalar politik maupun ekonomi, maka terjadi “interpenetrasi” yang merusak.
Dalam dimensi peradilan, transaksi jual beli perkara merupakan bukti konkret: sistem hukum tengah disusupi infiltrasi logika ekonomi (untung/rugi) dan kekuasaan (kuat/lemah).
Sebab itu, Luhmaan (2004) lebih lanjut mengingatkan: sistem hukum modern semestinya berjalan berdasarkan komunikasi normatif, bukan personalisasi.
Ketika putusan hakim lebih ditentukan oleh relasi transaksional, bukan oleh norma dan argumentasi hukum, maka yang menyeruak ialah sistem hukum yang menanggalkan fungsinya sebagai penjaga keadilan (the Guardian of Justice).
Cahaya keadilan
Sampai di titik ini, kita bisa bertanya seperti John Rawls dalam A Theory of Justice (1999) mengapa institusi-institusi yang dibentuk untuk mewujudkan keadilan justru sering menjadi penghambatnya?
Ia menawarkan prinsip keadilan sebagai fairness. Namun dalam praktik, fairness tidak cukup dengan prosedur, melainkan butuh aktor-aktor berintegritas.
Rawls tidak salah. Mewujudkan keadilan memang butuh prasyarat. Ketika oknum pengadilan menjadikan perkara hukum sebagai komoditas, maka upaya mewujudkan keadilan akan sangat sukar sebab realitas institusional sebagai salah satu penopangnya digerogoti korupsi.
Rawls pula menyadari, keadilan butuh sokongan kesadaran kolektif masyarakat (dan elite hukum).
Dengan begitu, meski aturan yang dibuat telah memadai, usaha ‘menghidupkan’ keadilan akan terbentur tembok tebal jika struktur dan budaya hukum tidak mendukung terwujudnya nilai keadilan itu sendiri.
Sampai di titik ini, hukum progresif yang ditawarkan Satjipto Rahardjo (2009) boleh jadi relevan. Hukum tidak bisa hanya dilihat sebagai teks, tapi sarana mewujudkan keadilan substantif.
Hakim dengan segala perangkatnya di pengadilan bukan semata “corong regulasi”, tetapi lebih dari itu: penegak keadilan.
Pada situasi seperti sekarang, integritas tidak cukup dibangun melalui regulasi administratif, tetapi harus ditanamkan sebagai etos profesi. Etika tak cukup hanya diajarkan, melainkan dibiasakan dan dicontohkan.
Dari situ, butuh keteladanan dari pucuk pimpinan kekuasaan peradilan untuk menunjukkan bahwa pengadilan ialah singgasana keadilan, bukan tempat menjual putusan.
Hal itu perlu digalakkan kembali, terlebih, tanggal 2-23 Juni 2025 tengah dibuka pendaftaran anggota Komisi Yudisial. Dari situ, Komisi Yudisial berpotensi makin diperkuat, khususnya dari aspek sumber daya.
Dan tak kalah penting, perlu mulai membangun budaya hukum baru—budaya yang tidak kompromi terhadap penyimpangan dan menjadikan integritas sebagai harga mati.
Sudah saatnya makin memperbesar, jika enggan menyebutnya menghidupkan, cahaya keadilan di pengadilan. Jika tidak, maka perlahan demokrasi kita tak hanya terluka, tapi kehilangan jiwa.
Tag: #memperbesar #cahaya #keadilan