Paradoks Bonus Demografi dan Ancaman Migrasi Talenta
Karyawan menyeberang Jalan Prof Dr Satrio di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, saat jam makan siang, Selasa (27/2/2024). Para karyawan ini adalah potret kelas menengah Indonesia. Kelas menengah dengan gaji terbatas bersiasat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk masa depan.(HARIAN KOMPAS/PRIYOMBODO )
11:20
21 April 2025

Paradoks Bonus Demografi dan Ancaman Migrasi Talenta

DI TENGAH kompleksitas tata kelola kebijakan publik, dari ketidakpastian ekonomi, konflik geopolitik, hingga krisis iklim, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengangkat kembali isu bonus demografi.

Ia menyatakan bahwa Indonesia saat ini tengah berada dalam momen penentu, saat jumlah penduduk usia produktif sedang memuncak.

Isu ini kembali menjadi perbincangan publik dan trending di X, platform media sosial yang ramai dibicarakan netizen (20/04/2025). Mengapa Wapres tiba-tiba kembali menyinggung isu demografi? Masihkah bonus demografi kita menjadi berkah?

Sayangnya, data global menunjukkan bahwa transisi demografi tidak selalu berujung pada pertumbuhan ekonomi.

Laporan terbaru IMF mengungkapkan, sejak 1990-an, negara-negara dengan pendapatan menengah dan tinggi justru mengalami perlambatan ekonomi secara jangka panjang.

Negara-negara maju bahkan kehilangan lebih dari dua poin pertumbuhan per tahun dalam dua dekade terakhir.

Cooley (2024) menyebutkan bahwa penyebabnya bukan semata krisis keuangan atau stagnasi produktivitas, melainkan struktur usia penduduk yang semakin menua (bahkan nonproduktif).

Antara 1975 hingga 2015, transisi demografi menurunkan pertumbuhan PDB per kapita negara-negara berpendapatan menengah hingga 0,64 poin per tahun. Proyeksi ke depan bahkan menunjukkan tekanan lebih besar pada periode 2020–2040.

Fenomena ini menandakan bahwa usia harapan hidup yang semakin panjang tidak otomatis berarti masa kerja akan semakin panjang pula.

Ini bukan sekadar soal angka. Ini adalah tentang bagaimana struktur sosial dan ekonomi kita tidak siap menyambut populasi yang hidup lebih lama, tetapi justru tidak bekerja lebih lama. 

Artinya, bonus demografi akan didominasi oleh mereka yang memiliki harapan hidup menengah hingga tinggi, tetapi tidak memiliki kualitas penghidupan dan ekonomi yang layak.

Konsekuensinya jelas, jika populasi usia produktif yang besar tidak dibarengi dengan kualitas hidup dan pekerjaan layak, maka bonus demografi hanya akan menjadi beban struktural. 

Kita bukan sedang memanen usia produktif, tetapi menumpuk jumlah populasi yang sehat, namun tidak berdaya secara ekonomi.

Henriksen (2024) kemudian menjelaskan, yang dikhawatirkan adalah mereka yang merasa tidak puas akan mencari penghidupan baru di negara lain yang menawarkan harapan kehidupan lebih baik.

Dalam model neoklasik, individu akan berpindah ke negara dengan human capital return of investment (HCROI) lebih tinggi.

HCROI merupakan nilai tambah yang dihasilkan dari investasi dalam sumber daya manusia, baik dalam bentuk pendidikan, pelatihan, pengalaman, maupun kesejahteraan tenaga kerja.

Pendekatan ini relevan dalam kasus Indonesia, di mana ketidakpastian kebijakan ekonomi, regulasi investasi, dan kestabilan politik berdampak pada ekspektasi keuntungan jangka panjang bagi tenaga profesional.

Artinya, jika di dalam negeri dirasa tidak berkembang, maka secara natural mereka akan mencari di tempat atau negara lain yang lebih menjanjikan secara ekonomi.

Lebih jauh, fenomena ini berpotensi memicu migrasi profesional. Ketika peluang investasi dalam sumber daya manusia lebih tinggi di luar negeri, maka secara rasional, para tenaga kerja terampil akan memilih keluar dari sistem domestik.

HCROI bukan sekadar soal gaji, tetapi menyangkut ekosistem produktivitas: dari kualitas pendidikan dan pelatihan, sistem insentif tenaga kerja, stabilitas politik, hingga kepastian regulasi.

Jika Indonesia gagal memperbaiki aspek-aspek ini, maka kita akan menyaksikan paradoks: bonus demografi di atas kertas, tapi defisit produktivitas di lapangan.

Saat ini, lebih dari 4,5 juta pekerja global Indonesia tersebar di berbagai negara, dengan remitansi yang mencapai lebih dari 10,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 160 triliun) per tahun.

Angka ini setara dengan kontribusi sekitar 1 persen terhadap PDB Indonesia. Sayangnya, potensi ini belum dikelola secara optimal.

Dengan besarnya jumlah pekerja migran, Indonesia seharusnya bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang jauh lebih signifikan.

Menurut laporan World Bank (2023), Indonesia masih menghadapi stagnasi dalam produktivitas tenaga kerja, dengan pertumbuhan PDB per kapita lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam.

Faktor lain seperti depresiasi rupiah dan kebijakan pajak yang tidak kompetitif memperparah insentif untuk bermigrasi.

Terlebih, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa per Agustus 2024, terdapat 7,47 juta penduduk usia produktif yang masih menganggur, dengan rata-rata gaji pekerja hanya Rp 3,27 juta per bulan.

Dalam kerangka push and pull factors, pendorong migrasi talenta dari Indonesia meliputi berbagai spektrum.

Dari sisi faktor pendorong (push factors), ketidakpastian hukum dan institusi, inflasi yang menggerus daya beli, serta keterbatasan jalur mobilitas karier menjadi penentu.

Sedangkan dari sisi faktor penarik (pull factors), insentif ekonomi lebih tinggi, ekosistem inovasi lebih maju, serta kebebasan akademik dan profesional di negara tujuan menjadi pemikat para imigran.

Pada dasarnya, brain drain tidak sepenuhnya negatif, justru dapat berdampak positif pada negara asal.

Kehilangan tenaga kerja terampil memang dapat menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, remitansi dari pekerja migran juga berkontribusi pada perekonomian domestik. 

Pada 2018, misalnya, remitansi dari migran Indonesia bahkan mencapai 11,2 miliar dollar AS, rekor tertinggi bagi negara ini.

Padahal, jika belajar dari negara lain seperti Korea Selatan pada 1980-an, peran pekerja migran menjadi salah satu fondasi kemajuan ekonomi mereka.

Filipina adalah contoh nyata bagaimana negara itu mampu mengelola potensi pekerja migran secara strategis. Remitansi dari pekerja migran Filipina menyumbang lebih dari 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Uang itu bukan hanya menghidupi keluarga di kampung halaman, tetapi juga telah menggerakkan roda ekonomi nasional, membiayai pendidikan, mendukung bisnis kecil, hingga menopang stabilitas ekonomi negara.

Brain drain berpotensi mereduksi kapasitas inovasi dan daya saing ekonomi domestik. Berdasarkan riset De Fraja (2023), negara dengan tingkat migrasi akademik tinggi mengalami stagnasi dalam pertumbuhan produktivitas jangka panjang.

Di sisi lain, brain drain juga dapat menciptakan efek positif melalui remitan dan transfer keterampilan, tetapi hanya jika terdapat strategi re-integrasi talenta yang memadai.

Jika fenomena seperti ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin Indonesia menghadapi risiko kehilangan segmen populasi dengan keterampilan tinggi, yang mencakup talenta di bidang STEM (science, technology, engineering and mathematics) dan industri berbasis teknologi, akademisi dan peneliti dengan spesialisasi tinggi, serta profesional keuangan dan manajer strategis.

Jika tidak juga dikelola, maka tren ini akan mengarah pada peningkatan ketergantungan pada tenaga kerja asing dalam industri bernilai tambah tinggi, memperparah defisit keterampilan (skills gap) di semua sektor strategis.

Untuk menjawab tantangan migrasi talenta, pemerintah dan sektor swasta perlu mengadopsi strategi multi-dimensi yang mencakup kebijakan ekonomi, regulasi pasar tenaga kerja, serta pengelolaan insentif. 

Beberapa langkah strategis bisa dilakukan untuk menghalau dampak negatif yang lebih besar.

Pertama, reformasi institusi dan kualitas kebijakan publik. Menjaga stabilitas hukum dan regulasi sangat penting dalam membangun kepercayaan jangka panjang bagi tenaga kerja dan profesional domestik.

Kebijakan yang diperlukan mencakup harmonisasi kebijakan pajak untuk meningkatkan daya saing gaji bersih profesional.

Kepastian hukum bagi inovasi dan investasi SDM dalam industri berbasis pengetahuan. Tidak kalah penting, peningkatan transparansi dalam kebijakan ekonomi dan pendidikan tinggi.

Kedua, insentif talenta dan program retensi SDM. Mengembangkan kebijakan insentif untuk menahan talenta berkualitas, termasuk paket kompensasi berbasis produktivitas bagi profesional di sektor strategis.

Ini bisa melalui skema re-integrasi akademisi dan tenaga ahli dengan memberi kemudahan izin tinggal dan kepemilikan aset bagi diaspora yang ingin kembali sekaligus mengakomodasi semua keterampilan mereka. 

Pengelolaan remitansi juga harus diarahkan untuk tujuan yang lebih produktif tentunya.

Ketiga, meningkatkan ekosistem inovasi dan mobilitas karier melalui peningkatan ekosistem inovasi domestik. 

Kebijakan perlu difokuskan pada penguatan kolaborasi antara universitas, industri, dan startup teknologi. Peningkatan investasi dalam riset dan pengembangan (R&D) sekaligus memfasilitasi mobilitas intra-regional dalam pasar tenaga kerja ASEAN.

Keempat, strategi manajemen diaspora dan sirkulasi talenta (talent circulation). Alih-alih menahan talenta, kebijakan harus diarahkan pada talent circulation dengan cara membangun konektivitas dengan diaspora melalui program startup dan mentorship.

Insentif fiskal bagi individu yang membawa modal dan teknologi kembali ke Indonesia. Jika diperlukan, kebijakan dual citizenship untuk memfasilitasi mobilitas profesional.

Jika Indonesia gagal memperbaiki kualitas demografi, maka arus migrasi talenta akan semakin sulit dikendalikan.

Oleh karena itu, solusi jangka panjang memerlukan pendekatan sistemik dengan kombinasi reformasi kebijakan, insentif ekonomi, serta strategi re-integrasi talenta yang berkelanjutan. Semoga!

Tag:  #paradoks #bonus #demografi #ancaman #migrasi #talenta

KOMENTAR