![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Rencana Penambahan Wewenang Lembaga Penegak Hukum](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/09/tribunnews/koalisi-masyarakat-sipil-kritik-rencana-penambahan-wewenang-lembaga-penegak-hukum-1173686.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Rencana Penambahan Wewenang Lembaga Penegak Hukum
Hal itu disampaikan Koordinator Centra Initiative Al Araf, menanggapi rencana DPR merevisi UU Polri, UU TNI, hingga RUU Kejaksaan.
Dia mencontohkan, dalam draf RUU TNI yang beredar tahun lalu, terdapat usulan pasal yang ngin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif.
"Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan dalam draft tersebut justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI dan mengembalikan Dwifungsi ABRI," kata dia dalam keterangannya, Minggu (9/2/2025).
Ia menyebut, seharusnya pemerintah dan DPR RI memperkuat semaksimal mungkin lembaga-lembag pengawas yang telah tersedia.
Misalnya Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan lainnya.
"Justru sangat salah dan keliru jika saat ini lembaga-lembaga inti (TNI, Polri, Kejaksaan), difasilitasi untuk berlomba memperluas kewenangan," ujarnya.
Ia juga menyoroti draft RUU Polri sejatinya mendapatkan krtik tajam dalam pembahasan oleh DPR periode sebelumnya bersama dengan draft RUU TNI karena mengandung beberapa pasal yang kontroversial.
Dalam draf RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional.
"Kewenangan dan tugas ini sebenarnya telah ada di kementerian terkait (Kominfo), dan dilakukan ketika ada keputusan hukum atau permintaan penyidik bahwa sebuah situs telah melanggar hukum."
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar reformasi sistem penegakan hukum ini dapat diarahkan pada dua hal.
Pertama, mengevaluasi sistem pengawasan internal bagi masing-masing lembaga penegak hukum.
Ia menilai pengawasan internal masing-masing lembaga penegak hukum ini masih cenderung melakukan praktik impunitas atas nama esprit de corps lembaga masing-masing.
"Pengawasan internal yang lemah tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing aknum anggota penegak hukum," ujarnya.
Kedua, memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM, Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran.
"Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup," pungkasnya.
Untuk diketahui, pembahasan tentang revisi UU TNI dan Polri serta Kejaksaan, sudah bergulir di DPR RI periode sebelumnya, meski belum terselesaikan hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir.
Tag: #koalisi #masyarakat #sipil #kritik #rencana #penambahan #wewenang #lembaga #penegak #hukum