Persepsi Tionghoa dalam Keindonesiaan
Warga keturunan Tionghoa melaksanakan persembahyangan pembuka Tahun Baru Imlek di Wihara Dharma Cattra, Tabanan, Bali, Rabu (29/1/2025). Persembahyangan tersebut digelar pada pukul 00.15 Wita dengan menyalakan lilin berukuran besar sebagai simbol penerangan kehidupan untuk merayakan Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
10:20
29 Januari 2025

Persepsi Tionghoa dalam Keindonesiaan

KASUS pagar laut sepanjang 30 Km di sekitar Pantai Indah Kapuk yang kemudian terkait dengan HGB di wilayah perairan tersebut mengusik rasa keadilan masyarakat karena dilakukan secara ilegal.

Maka disebutlah dalam kasus ini nama Aguan pemilik PIK sebagai salah satu dari Sembilan Naga.

Tidak jelas sebetulnya konglomerat mana saja yang termasuk Sembilan Naga. Namun, istilah itu berkonotasi negatif. Kasus ini akan menimbulkan persepsi buruk terhadap pengusaha besar Tionghoa.

Dalam penelitian tentang penyebab kerusuhan dan penjarahan seputar tahun 1998 yang terjadi di beberapa daerah, Benny Subianto mengungkapkan ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya.

Pertama, kesenjangan ekonomi. Kedua, orang Tionghoa bersikap eksklusif. Ketiga, mereka tidak punya andil dalam pembentukan negara ini, termasuk perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Faktor yang ketiga ini dapat ditolak. Orang-orang Tionghoa yang pertama mendirikan sekolah tahun 1900 (THHK TiongHoa Hwe Koan), disusul keturunan Arab yang membuat sekolah Jamiatul Khair tahun 1905.

Ini salah satu pendorong elite Jawa untuk mendirikan Budi Utomo tahun 1908 yang salah satu tujuannya memajukan pendidikan.

Sudah ada beberapa orang Tionghoa ikut Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda tahun 1928.

Bahkan asrama yang menjadi salah satu tempat berlangsungnya Kongres tersebut adalah milik seorang Tionghoa (Sie Kong Lian).

Orang Tionghoa berpartisipasi dalam penyusunan Pancasila dan UUD 1945: empat orang Tionghoa menjadi anggota BPUPK dan seorang pada PPKI tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, etnik Tionghoa juga punya andil dalam mempertahankannya. John Lie yang beberapa kali menerobos blokade Belanda untuk menukar hasil bumi dari Sumatera dengan senjata dari semenanjung Malaya dan Thailand telah diangkat menjadi pahlawan nasional tahun 2009.

Faktor kedua, eksklusivitas tergantung dari etnik Tionghoa itu sendiri. Dari aspek pemukiman apakah mereka kembali membentuk “Pecinan baru” atau perumahan mewah yang eksklusif atau menyebar dan membaur dengan masyarakat non-Tionghoa.

Apakah perusahaan mereka terbuka sampai level menengah ke atas atau cuma disediakan beberapa posisi direktur/komisaris bagi mantan petinggi sipil/militer.

Dalam kaitan dengan ini perlu dibuka ruang perjumpaan dan dialog yang lebih banyak antara Tionghoa dengan non-Tionghoa. Saling mengenal budaya adalah kata kuncinya.

Apa yang dilakukan oleh Eddie Lembong dengan Yayasan Nabil sejak era reformasi merupakan contoh nyata dari pendekatan ini.

Mereka menerbitan buku-buku, penyelenggaraan seminar dan pemberian penghargaan kepada figur yang berjasa dalam menjembatani hubungan baik antara kedua belah pihak.

Sayang agenda tersebut, yang perlu dilanjutkan, terhenti setelah Eddie Lembong meninggal.

Unsur ketiga, kesenjangan ekonomi yang sulit diubah karena proses pembentukannya sudah berlangsung lama sehingga berurat-berakar. Apa jalan keluarnya?

Kami di LIPI/BRIN sudah melakukan penelitian tentang Tionghoa dalam Keindonesiaan selama tujuh tahun di berbagai daerah di Indonesia.

Penelitian ini diawali tentang sejarah dan masalah diskriminasi yang dialami orang Tionghoa dalam peraturan dan praktik. Telah terjadi perbaikan peraturan kependudukan dan kewarganegaraan.

IKI Institut Kewarganegaraan Indonesia menerbitkan risalah tentang proses kelahiran Undang-Undang mengenai Kewarganegaraan.

Kini orang Tionghoa bisa menjadi presiden, karena istilah orang Indonesia asli itu sudah dihapus dari UUD 1945.

Tahun terakhir kami melakukan survei terbatas pada tiga kota mengenai perkembangan (perubahan dan keajekan) persepsi non-Tionghoa terhadap etnik Tionghoa.

Pandangan tentang karakter orang Tionghoa yang ulet, gigih berusaha, tidak berubah. Ini karakter positif dari golongan ini.

Yang sudah berubah adalah persepsi orang Tionghoa itu kaya, golongan elite dan kelas menengah ke atas.

Orang memahami bahwa ada juga orang Tionghoa yang biasa saja, bahkan miskin seperti di Tangerang dan Singkawang.

Namun, persepsi yang sama dari dulu sampai sekarang tentang pengusaha Tionghoa yang menguasai ekonomi Indonesia.

Seandainya persepsi yang terakhir ini tidak bisa berubah dalam tempo cepat, maka upaya apa yang mesti dilakukan agar tidak menimbulkan gejolak politik dan sosial?

Walau kolongmerat Tionghoa itu menguasai ekonomi, citra mereka tidak sangat buruk asal mereka membantu UMKM, membangun perumahan rakyat, membantu orang miskin, tidak melakukan penggusuran secara semena-mena.

Kebangkitan ekonomi dan politik Tiongkok membawa dampak terhadap orang Tionghoa Indonesia.

Seharusnya dibedakan antara Tiongkok atau negara China dengan Tionghoa Indonesia. Istilah “asing dan aseng” justru diciptakan pihak tertentu untuk menggabungkan atau membaurkan keduanya jadi kesatuan.

Masuknya modal dan pekerja dari China diberitakan secara negatif dalam media sosial, bahkan China konon akan mencaplok Indonesia.

Perkembangan media sosial ini perlu diwaspadai karena sangat rawan dipolitisasi. Pengalaman semasa 1965, media itu jadi ajang pertempuran antara negara blok Barat dan Timur.

AS, Inggris dan Australia bersekutu di kubu yang berlawanan dengan Uni Soviet dan RRC. Misalnya dalam kampanye pemberantasan komunisme pasca-G30S 1965.

Penerbitan biografi tokoh pengusaha Tionghoa serta jaringan perusahaannya akan membuat semuanya menjadi terbuka termasuk untuk dikritik. Walaupun tentu ada yang bisa dikagumi, misalnya, keuletan orang Tionghoa yang jatuh bangun dalam membangun bisnisnya.

Seyogianya perusahaan besar itu melakukan kampanye media tentang apa yang dilakukannya dalam membantu masyarakat kebanyakan di Indonesia.

Daripada membangun markas tentara/polisi, lebih afdol membangun puskesmas/rumah sakit gratis bagi masyarakat sekitar.

Di Pantai Indah Kapuk, misalnya, terdapat universitas dan sekolah internasional. Sebaiknya juga disediakan sekolah untuk anak-anak dari masyarakat tidak mampu.

Akhirnya, menurut pandangan saya, etnik Tionghoa itu bagian integral dari bangsa Indonesia, dan peristiwa Mei 1998 yang berdampak buruk (penjarahan dan perkosaan) terhadap etnik Tionghoa tidak boleh terulang lagi.

Tag:  #persepsi #tionghoa #dalam #keindonesiaan

KOMENTAR