Dapatkah Kunjungan Prabowo ke India Mengubah Diplomasi Indo-Pasifik?
Presiden Prabowo Subianto berjabat tangan dengan Perdana Menteri (PM) India, Narendra Modi di Hyderabad House, New Delhi, India, Sabtu (25/1/2025). (Dok. Tim Media Presiden Prabowo)
07:58
27 Januari 2025

Dapatkah Kunjungan Prabowo ke India Mengubah Diplomasi Indo-Pasifik?

KUNJUNGAN kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke India pada 25 Januari 2025, adalah langkah strategis yang menandai tidak hanya perayaan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-India, tetapi juga pergeseran signifikan dalam cara Indonesia memosisikan dirinya di tengah sistem internasional yang semakin multipolar.

Dengan meningkatnya rivalitas antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China, serta dinamika internal dalam BRICS, hubungan bilateral Indonesia-India tidak dapat dipandang hanya melalui lensa diplomasi konvensional.

Sebaliknya, hubungan ini harus dilihat sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk membentuk ulang keseimbangan kekuatan di Indo-Pasifik dan mengamankan kepentingan strategis jangka panjang masing-masing negara.

Pada dasarnya, kunjungan ini adalah respons terhadap tantangan geopolitik yang semakin kompleks.

India, sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama dunia, memainkan peran penting dalam upaya menyeimbangkan pengaruh China di kawasan.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan mencapai 6,3 persen pada 2025 menurut IMF, serta posisinya dalam Quad bersama Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, India telah memantapkan diri sebagai aktor kunci dalam tatanan Indo-Pasifik.

Bagi Indonesia, yang telah bergabung dalam BRICS Plus, memperkuat hubungan dengan India adalah langkah strategis untuk menjaga keseimbangan dalam kelompok yang sering kali didominasi oleh pengaruh China.

Namun, hubungan ini bukan tanpa tantangan. Sebagaimana dikemukakan Kenneth Waltz dalam Theory of International Politics (1979), negara-negara bertindak untuk memaksimalkan keamanan mereka dalam sistem internasional yang anarkis.

Dalam konteks ini, India dan Indonesia menghadapi dilema strategis yang berbeda, tetapi saling terkait.

India, meskipun skeptis terhadap pengaruh Tiongkok, tidak dapat mengabaikan kepentingannya dalam BRICS. Sementara Indonesia harus menavigasi hubungan eratnya dengan China yang telah menjadi mitra dagang dan investor terbesar di negara ini.

Dalam situasi ini, kunjungan Prabowo ke India menjadi lebih dari sekadar diplomasi seremonial; ini adalah upaya untuk menegosiasikan posisi Indonesia dalam sistem global yang dinamis.

Hubungan ekonomi menjadi salah satu dimensi utama dalam kunjungan ini. Nilai perdagangan bilateral antara Indonesia dan India mencapai 30 miliar dollar AS pada 2024, tetapi perdagangan ini masih sangat didominasi oleh komoditas primer seperti batu bara, minyak sawit, dan hasil pertanian.

Ketergantungan pada ekspor komoditas semacam ini menciptakan kerentanan struktural terhadap fluktuasi harga pasar global.

Untuk itu, salah satu fokus utama dalam kunjungan ini adalah diversifikasi perdagangan ke sektor-sektor bernilai tambah tinggi seperti teknologi informasi, energi terbarukan, dan manufaktur canggih.

Pendekatan ini mencerminkan logika kompleksitas antardependensi yang diuraikan oleh Keohane dan Nye dalam Power and Interdependence (1977), di mana hubungan ekonomi yang lebih terintegrasi dapat menciptakan stabilitas dan saling ketergantungan yang lebih kuat.

Namun, diversifikasi ini membutuhkan lebih dari sekadar retorika. Indonesia, dengan visi membangun Ibu Kota Negara Nusantara sebagai pusat inovasi, membutuhkan investasi asing yang besar, termasuk dari India.

Dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Narendra Modi, Prabowo secara eksplisit mengundang investor India untuk berpartisipasi dalam proyek infrastruktur strategis Indonesia.

Namun, keberhasilan langkah ini akan sangat bergantung pada kemampuan Indonesia untuk menyederhanakan birokrasi dan menciptakan ekosistem investasi yang kondusif.

Tanpa reformasi struktural mendalam, undangan semacam ini berisiko menjadi sekadar simbolisme politik tanpa dampak nyata.

Di sektor pertahanan, ratifikasi perjanjian kerja sama antara Indonesia dan India adalah pencapaian penting yang mencerminkan ambisi kedua negara untuk memperkuat otonomi strategis mereka.

Kesepakatan ini mencakup kerja sama manufaktur militer dan pengembangan rantai pasok pertahanan regional, langkah yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada negara-negara Barat atau Rusia.

Namun, keberhasilan langkah ini akan sangat ditentukan oleh implementasi yang efektif, termasuk transfer teknologi, pelatihan personel, dan integrasi kapasitas industri pertahanan domestik.

Dalam dimensi geopolitik, kerja sama ini juga relevan untuk keamanan maritim. Sebagai negara dengan garis pantai yang panjang dan lokasi strategis di jalur perdagangan global, Indonesia dan India memiliki kepentingan bersama untuk menjaga stabilitas Indo-Pasifik.

Kerja sama keamanan maritim yang mencakup pertukaran intelijen dan latihan militer bersama adalah langkah yang diperlukan untuk menghadapi tantangan seperti pembajakan, kejahatan lintas negara, dan eskalasi ketegangan di Laut China Selatan.

Namun, Indonesia harus berhati-hati agar tidak terlihat memihak salah satu pihak dalam rivalitas antara Quad dan China.

Sebaliknya, Indonesia harus memanfaatkan posisinya sebagai negara nonblok untuk mendorong dialog dan stabilitas di kawasan.

Salah satu elemen yang sering kali diabaikan dalam diskusi ini adalah posisi Indonesia di BRICS Plus dan bagaimana hal ini memengaruhi dinamika hubungan dengan India.

BRICS, yang awalnya dimaksudkan sebagai kelompok ekonomi untuk menantang dominasi Barat, telah berubah menjadi arena rivalitas internal antara India dan China.

China, dengan pengaruh ekonominya yang besar, sering kali mendominasi agenda BRICS, sementara India berusaha membangun koalisi dengan anggota lainnya untuk menyeimbangkan dominasi tersebut.

Dalam konteks ini, Indonesia dapat memainkan peran penting sebagai penyeimbang. Dengan memperkuat hubungan dengan India, Indonesia dapat mendorong agenda yang lebih inklusif dalam BRICS, sambil tetap menjaga hubungan strategisnya dengan China.

Namun, posisi ini juga membawa risiko. Jika India melihat hubungan Indonesia-China terlalu dekat, hal ini dapat merusak kepercayaan yang telah dibangun melalui kunjungan ini.

Sebaliknya, jika Indonesia terlihat terlalu condong ke India, hal ini dapat memicu respons negatif dari China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.

Dalam situasi ini, Indonesia harus memainkan diplomasi yang cermat, menjaga keseimbangan antara kedua kekuatan besar ini sambil tetap memprioritaskan kepentingan nasionalnya.

Pada akhirnya, kunjungan Presiden Prabowo ke India adalah langkah strategis yang mencerminkan upaya Indonesia untuk memanfaatkan multipolaritas sistem internasional.

Namun, keberhasilan hubungan ini akan sangat bergantung pada kemampuan kedua negara untuk menerjemahkan komitmen politik menjadi tindakan nyata.

Sebagaimana dikatakan oleh Joseph Nye dalam konsep "smart power," kekuatan negara dalam politik internasional tidak hanya ditentukan oleh kapabilitas militer atau ekonomi, tetapi juga kemampuan untuk membangun aliansi yang berdasarkan kepentingan bersama dan saling percaya.

Jika Indonesia dan India mampu memanfaatkan potensi ini, hubungan ini tidak hanya akan menguntungkan kedua negara, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas dan kemakmuran kawasan Indo-Pasifik.

Namun, tantangan ke depan tetap signifikan. Indonesia harus melakukan reformasi domestik yang mendalam untuk memastikan bahwa semua peluang yang muncul dari hubungan ini dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Di sisi lain, India harus melihat Indonesia sebagai mitra strategis jangka panjang, bukan hanya sebagai elemen dalam strategi penyeimbangnya terhadap China.

Dalam dunia yang semakin multipolar, keberhasilan hubungan ini dapat menjadi model bagi kemitraan strategis yang inklusif dan saling menguntungkan.

Tag:  #dapatkah #kunjungan #prabowo #india #mengubah #diplomasi #indo #pasifik

KOMENTAR