Wartawan Bohemian
Ilustrasi wartawan yang sedang melakukan wawancara dengan narasumber(Freepik.com/Freepik)
16:30
17 Oktober 2025

Wartawan Bohemian

DI kalangan pers di Indonesia, banyak di antara wartawan yang berpakaian nyeleneh, nyentrik, nyeni. Potongannya kasual, tidak resmi. Berbeda dengan potongan pakaian yang dikenakan pada umumnya aparatur sipil negara atau guru sekolah yang selalu menjaga kesopanan dalam berpakaian.

Ada sebagian wartawan atau jurnalis yang mengenakan baju dan celana berkantung banyak, model kargo, dan rompi. Bahkan ada yang mengenakan baju longgar dan celana komprang, seperti seniman. Tidak peduli orang yang melihatnya akan berkata apa. Yang penting nyaman di badan, nyeni, merasa bebas, dan percaya diri.

Penampilan yang berani beda macam itu secara perlahan-lahan membentuk citra wartawan. Watawan itu ya seperti itu, bukan orang yang mengenakan pakaian yang biasa digunakan oleh kalangan guru. Rapi.

Entah siapa yang menularkan wartawan berpakaian nyentrik, bergaya bohemian (boho). Sejak saya mulai kenal dunia wartawan, ketika mengikuti kursus jurnalistik di Balai Wartawan Jakarta tahun 1981 saya sudah melihat wartawan-wartawan berpakaian nyentrik.

Ketika kami mendapat tugas meliput berita di luar negeri juga melihat wartawan berpakaian nyentrik. Rupanya wartawan yang berpakaian nyentrik bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Eropa, Amerika, dan bahkan di belahan bumi lainnya.

Soal wartawan bohemian, Profesor H. Eugene Goodwin guru besar jurnalisme yang pernah menjadi wartawan dan kolumnis The Washington Star, menjelaskan, “Saya telah mengamati wartawan di tempat kerja dan bermain selama bertahun-tahun”. Bohemian, kata Eugene, memang gaya wartawan.

Terkesan mereka manusia bebas, tidak disiplin. Diberi pendidikan tata krama dan aturan dalam jurnalisme sekeras apapun, tak dapat sepenuhnya menggoyahkan tradisi bohemian kalangan wartawan. “Orang-orang yang gemar minum alkohol, merokok berat, hidup keras, dan keras kepala masih menganggap pekerjaan wartawan sesuai dengan kebiasaan buruk mereka,” tulis Eugene memandang lebih ke belakang.

Eugene telah mewawancarai 150 wartawan dan sejumlah pemantau media di Amerika. Wawancara itu untuk menyiapkan bahan penulisan buku Groping for Ethics in Journalism yang kemudian diterbitkan Iowa State University Press tahun 1983.

Eugene profesor jurnalisme yang pernah mengajar dan menjadi direktur sekolah jurnalisme (1957- sampai 1969) di Pennsylvania State University, University Park, merasa sakit hati kalau ada yang menjelek-jelekkan wartawan.

Ketika menyiapkan bahan etika untuk penulisan bukunya, ia ditertawakan oleh orang-orang di sekelilingnya, teman-temannya. Ada yang bereaksi sinis dan setengah bergurau. “Etik macam apa?”, “Memang ada yang mau baca?”, “Berbentuk buku komik ya?”. Demikian antara lain reaksi orang-orang dengan setengah bercanda.

Eugene Goodwin yang “ber-DNA” wartawan itu tidak terima terhadap reaksi yang dianggapnya tidak menghargai jurnalisme. “Saya tidak setuju sikap orang-orang terhadap jurnalisme yang diungkapkan dalam reaksi-reaksi setengah bercanda. Tetapi saya memahaminya,” kata Eugene.

Jurnalisme, kata Eugene, saat itu belum dihargai oleh banyak orang di Amerika, beberapa di antaranya adalah wartawan sendiri. “Banyak yang memandang jurnalisme sebagai profesi yang tidak tepat, yang seringkali dipraktikkan oleh orang-orang kasar yang tidak berprinsip,” tulis Eugene dalam bukunya tersebut.

Belakangan ini, kata Eugene, profesi wartawan sudah mulai dihargai di Amerika, terutama wartawan televisi yang berpenampilan menarik dan wangi. Di redaksi, ada ruang rias. “Saya suka wartawan, baik yang kurang ajar maupun yang saleh. Mereka melakukan hal-hal menarik, beberapa di antaranya berkaitan dengan pekerjaan mereka, dan mereka menceritakan kisah-kisah menarik untuk konsumsi publik,” kata Eugene.

Eugene menyukai sikap kurang ajar dan skeptisisme wartawan, dan sekaligus ia mengagumi kemampuan mereka dalam mengungkap inti permasalahan yang tidak jelas dan ruwet. Kemampuan ini lah lebih dihormati dan dijunjung tinggi.

Namun, dalam waktu yang lama Eugene merasa terganggu oleh beberapa hal yang dilakukan jurnalis dan pemilik media berita. “Mereka tampaknya tidak selalu memiliki rasa moralitas yang kuat, tentang apa yang benar dan salah. Bahkan wartawan yang saya kenal sebagai orang jujur dan baik, melakukan hal-hal yang salah dalam mengejar sebuah cerita. Saya sendiri melakukan hal yang sama dan merasa malu sampai hari ini,” tuturnya.

Dari apa yang ia alami dan ia lihat sendiri, serta hasil wawancara, ia menulis buku dengan harapan menjadi pedoman etika bagi jurnalis dan pemilik media. 

Mungkin yang menjadikan wartawan terkesan tidak disiplin, dan berpenampilan sesuka hati dipengaruhi oleh gaya hidup bohemianisme atau bohemian (kata sifat). Apa itu bohemian dan apa pula bohemianisme? Keduanya sudah banyak diceritakan panjang lebar dalam media dan buku-buku literatur.

Menurut berbagai sumber, istilah "bohemia" pada awalnya digunakan untuk menggambarkan orang-orang Perancis-Romani atau orang Romani yang tinggal di Perancis. Sebelumnya, seperti diceritakan dalam Encyclopedia Bergambar Comton’s edisi tahun 1966, separuh penduduk Cekoslowakia dulu tinggal di Provinsi Bohemia yang bergunung-gunung. Bohemia kaya akan mineral dan kota utamanya, Praha ibu kota Cekoslowakia.

Bohemia berarti "rumah orang Boii," dari orang-orang yang tidak diketahui asal-usulnya. Di bawah raja yang kuat, Bohemia memperluas batas-batas wilayahnya, dan pada abad ke-14 menjadi salah satu kerajaan paling makmur di Eropa.

Pada abad itu terjadi pemberontakan di Bohemia akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan Katolik, sehingga terjadi peperangan panjang. Orang-orang Bohemia mengembara secara berkelompok. Mereka mulanya hidup tanpa kewarganegaraan. Mereka sering disebut "gipsi". Mereka tidak terikat kewajiban konvensi, dan tidak punya hak-hak hukum.

Akan tetapi setelah menghadap kerajaan Bohemia (bagian barat Republik Ceko modern), mereka diberi dokumen oleh raja Bohemia. Dokumen itu berisi orang lain agar mengakui komunitas ini. Setibanya di Perancis sekitar abad ke-15, mereka menunjukkan dokumen itu dan kemudian disebut sebagai para bohemia (les bohemiens).

Dalam perjalanan waktu dan pergaulan dunia, orang-orang bohemia menemukan kesamaan prinsip dan kemiripan perjuangan hidup bangsa lain, dan mereka saling memberi dorongan. Muncullah bohemianisme yang tidak berdiri sendiri.

Bohemianisme menjadi gerakan-gerakan lain di abad ke-19. Gerakan ini juga didorong oleh non-konformitas, nilai-nilai anti-borjuis, anti-materialisme, anti- kemapanan, dan seni sebagai kehidupan. Bohemianisme menjadi gerakan sosial dan budaya yang pada dasarnya merupakan cara hidup yang menjauh dari norma dan ekspektasi konvensional masyarakat.

Istilah bohemian juga digunakan untuk menggambarkan gaya hidup non-tradisional, terutama di kalangan seniman, penulis, wartawan, musisi, dan aktor di kota-kota besar Eropa. Ada beberapa tokoh publik pada awal 1900-an yang mewujudkan semangat Bohemian yang perlu dicatat. Mereka antara lain, Isadora Duncan (koreografer yang menekankan tarian bebas), Colette (novelis, aktris, dan jurnalis), dan Dora Maar (fotografer surealis, pelukis, penyair).

Di Indonesia bohemianisme wartawan seringkali tampak pada sikap dan gaya berpakaian yang tidak formal. Ketidak-formalan ini dirasakan sebagai pantulan rasa kebebasan. Tetapi dalam kenyataan situasi dan kondisi yang dihadapi wartawan Indonesia dituntut berpakaian fleksibel, luwes.

Tidak ngotot bohemian terus. Di setiap redaksi media punya aturan sendiri-sendiri, ada yang membebaskan wartawan berpakaian, dan ada yang mengharuskan berpakaian seragam dengan nama dan logo medianya di dada atau di lengan.

Bahkan di tempat liputan acara tertentu wartawan diminta mengenakan baju tertentu sebagai dress code-nya. Seperti di istana negara RI, wartawan tidak boleh mengenakan celana panjang berbahan jeans. 

Tag:  #wartawan #bohemian

KOMENTAR