8 Kebiasaan Orang Dewasa yang Dibesarkan dengan Rasa Takut dan Kritik Negatif Menurut Psikologi
Kebiasaan orang dewasa yang dibesarkan dengan rasa takut dan kritik negatif menurut psikologi. (Freepik/ teksomolika)
13:32
25 Februari 2025

8 Kebiasaan Orang Dewasa yang Dibesarkan dengan Rasa Takut dan Kritik Negatif Menurut Psikologi

 

 Masa kecil yang dipenuhi dengan rasa takut dan kritik negatif dapat membentuk pola perilaku tertentu hingga dewasa. Orang dewasa yang tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan sering kali mengembangkan kebiasaan yang mencerminkan pengalaman masa lalu mereka.

Menurut psikologi, ada delapan kebiasaan umum yang sering ditemukan pada orang dewasa yang dibesarkan dalam lingkungan seperti ini. Hal ini bisa menjadi penghalang dalam kehidupan sosial dan emosional mereka, bahkan tanpa mereka sadari.

Dilansir dari geediting.com pada Selasa (25/2), diterangkan bahwa terdapat delapan kebiasaan orang dewasa yang dibesarkan dengan rasa takut dan kritik negatif menurut psikologi.

  1. Selalu meragukan diri sendiri

Bagi mereka yang tumbuh dalam lingkungan penuh kritik, membuat keputusan sekecil apapun bisa terasa sangat melelahkan. Ketika sejak kecil terbiasa dikatakan salah atau tidak cukup baik, keraguan menjadi teman setia yang mengikuti di setiap langkah kehidupan.

Pertanyaan seperti “Apakah yang kukatakan sudah benar?” atau “Bagaimana jika aku gagal?” terus berputar di kepala tanpa henti. Bahkan setelah keputusan dibuat, pikiran akan terus memutar ulang kejadian tersebut, bertanya-tanya apakah ada hal yang seharusnya dilakukan dengan cara berbeda.

  1. Meminta maaf meski tidak bersalah

Orang-orang yang dibesarkan dalam lingkungan penuh kritik sering kali meminta maaf secara refleks, bahkan untuk hal-hal yang bukan kesalahan mereka. Mereka bisa meminta maaf ketika seseorang menabrak mereka, saat mengajukan pertanyaan sederhana, atau ketika mengambil bagian dalam percakapan.

Kebiasaan ini berakar dari masa kecil dimana mereka belajar bahwa menjaga kedamaian berarti harus siap disalahkan. Dengan berjalannya waktu, pola ini tertanam kuat sehingga sebagai orang dewasa, mereka terus meminta maaf untuk hal-hal yang bahkan tidak memerlukan permintaan maaf.

  1. Kesulitan menerima pujian

Respons pertama mereka ketika mendapat pujian bukanlah ucapan terima kasih—melainkan merendahkan diri sendiri. Ungkapan seperti “Oh, itu bukan apa-apa” atau “Aku hanya beruntung” menjadi jawaban otomatis karena pujian terasa tidak wajar bagi mereka.

Ketika masa kecil jarang mendapatkan penghargaan, mereka terbiasa fokus pada kekurangan diri, meyakini bahwa sekeras apapun usaha yang dilakukan tidak pernah cukup. Seiring waktu, hal ini berkembang menjadi bias negatif, dimana otak lebih mudah mengingat kritik daripada pujian, sehingga menerima kata-kata positif menjadi sesuatu yang tidak nyaman

  1. Sulit menetapkan batasan

Mereka yang tumbuh dalam lingkungan dimana perasaan dan kebutuhan mereka diabaikan akan mengalami kesulitan besar dalam menetapkan batasan. Sejak kecil, baik secara langsung maupun tidak langsung, mereka diajarkan bahwa nilai diri bergantung pada seberapa banyak mereka menyenangkan orang lain.

Akibatnya, sebagai orang dewasa, mereka berjuang untuk memprioritaskan diri sendiri karena takut ditolak, mengecewakan orang lain, atau menimbulkan konflik. Alih-alih mengatakan “Aku tidak bisa melakukan ini” atau “Hal itu membuatku tidak nyaman,” mereka justru mendorong batas diri sendiri, seringkali dengan mengorbankan kesehatan mental dan emosional mereka.

  1. Terlalu menganalisis kata-kata dan tindakan orang lain

Orang-orang dengan latar belakang ini tidak bisa menerima ucapan orang lain begitu saja. Ketika seseorang berkata “Aku baik-baik saja,” mereka langsung mulai bertanya-tanya, apakah orang itu benar-benar baik? Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah mereka marah padaku tapi tidak mengatakannya? Tumbuh dalam lingkungan kritis mengajarkan mereka untuk selalu waspada terhadap perubahan suasana hati orang lain.

Satu saat semuanya tenang, dan saat berikutnya, mereka bisa dikritik atau merasa direndahkan. Mereka belajar membaca di antara baris, menganalisis setiap kata, perubahan nada, bahkan perubahan kecil dalam bahasa tubuh.

  1. Keras pada diri sendiri namun juga mudah melepaskan tanggung jawab

Tampak bertentangan, namun hal ini masuk akal bagi mereka yang tumbuh dengan kritik tanpa henti. Mereka menginternalisasi kritik tersebut, mendorong diri untuk mencapai standar mustahil, menyalahkan diri atas kesalahan, dan merasa tidak pernah cukup baik.

Pada saat yang sama, tekanan konstan tersebut bisa sangat mencekam—sedemikian rupa sehingga alih-alih menghadapi kesalahan atau tanggung jawab secara langsung, mereka terkadang malah menutup diri sepenuhnya. Penundaan, penghindaran, dan bahkan sabotase diri menjadi cara untuk melarikan diri dari beban ekspektasi yang mereka ciptakan sendiri.

  1. Merasa bertanggung jawab atas emosi orang lain

Jika seseorang di sekitar mereka tampak kesal, mereka tidak hanya menyadarinya—mereka merasakannya. Lebih dari itu, mereka merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki situasi tersebut.

Hal ini berasal dari bertahun-tahun merasa bertanggung jawab atas suasana hati orang lain, terutama pengasuh. Jika orang tua marah, itu adalah kesalahan mereka. Jika seseorang kecewa, pasti mereka telah melakukan sesuatu yang salah.

Seiring waktu, mereka belajar bahwa menjaga orang lain tetap bahagia adalah pilihan teraman. Sebagai orang dewasa, ini berubah menjadi upaya terus-menerus untuk menenangkan situasi, menawarkan permintaan maaf tanpa henti, atau menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri.

  1. Sulit percaya bahwa diri mereka cukup berharga

Sebanyak apapun yang mereka capai, sebanyak apapun yang mereka berikan, atau sekeras apapun mereka berusaha, selalu ada suara di belakang pikiran yang membisikkan bahwa itu tidak cukup—bahwa mereka tidak cukup baik. Keyakinan ini tidak muncul begitu saja.

Ia ditanamkan sejak awal, di saat-saat ketika kasih sayang terasa bersyarat, ketika kesalahan dihadapi dengan kekerasan daripada bimbingan, ketika tidak ada yang mereka lakukan tampak cukup baik.

Bahkan sebagai orang dewasa, bahkan ketika mereka tahu lebih baik, perasaan itu tetap ada. Mereka mengejar kesempurnaan, terlalu memaksakan diri, atau menyusut ke latar belakang—apa pun untuk menenangkan keraguan yang terus menerus hadir.

 

***

 

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #kebiasaan #orang #dewasa #yang #dibesarkan #dengan #rasa #takut #kritik #negatif #menurut #psikologi

KOMENTAR