Orang yang Mementingkan Diri Sendiri Biasanya Tunjukkan 8 Perilaku Ini Menurut Psikologi
Perilaku orang yang mementingkan diri sendiri menurut psikologi (foto : Freepik/ stockking)
21:36
20 Februari 2025

Orang yang Mementingkan Diri Sendiri Biasanya Tunjukkan 8 Perilaku Ini Menurut Psikologi

– Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang lebih fokus pada kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Dalam psikologi, sikap mementingkan diri sendiri bisa muncul dalam berbagai bentuk.

Terkadang, perilaku mementingkan diri sendiri ini tidak selalu disadari oleh pelakunya, tetapi dampaknya bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya.

Beberapa tanda tertentu dapat menunjukkan bahwa seseorang memiliki kecenderungan ini, baik dalam interaksi sosial, hubungan kerja, maupun dalam lingkungan keluarga.

Dilansir dari geediting.com pada Kamis (20/2), diterangkan bahwa terdapat delapan perilaku yang kerap ditampilkan oleh orang yang mementingkan diri sendiri menurut psikologi.

1. Selalu mengembalikan percakapan ke diri sendiri

Pernahkah kamu berbagi cerita dengan seseorang, hanya untuk mendapati mereka langsung menyela dengan pengalaman serupa atau bahkan lebih dramatis? Orang-orang seperti ini sebenarnya tidak bermaksud jahat, mereka hanya mencoba menghubungkan diri dengan pengalamanmu melalui kisah pribadi.

Namun alih-alih membuatmu merasa didengarkan, sikap ini justru terkesan mengabaikan, seolah pengalamanmu tidak sepenting pengalaman mereka. Seiring waktu, kebiasaan ini membuat percakapan terasa berat sebelah, mengubah setiap diskusi menjadi monolog tentang kehidupan mereka.

2. Jarang mengajukan pertanyaan lanjutan

Pernahkah kamu bertemu teman yang bisa menumpahkan segala keluh kesah berjam-jam, tapi ketika giliranmu berbagi, mereka hanya mengangguk, berkata “Oh, gila ya,” lalu mengarahkan percakapan kembali ke topik tentang diri mereka?

Ciri khas orang seperti ini adalah mereka hampir tidak pernah menunjukkan ketertarikan dengan mengajukan pertanyaan lanjutan tentang ceritamu. Mereka tidak penasaran tentang bagaimana perasaanmu atau apa yang terjadi selanjutnya.

Meski umumnya mereka tidak sengaja mengabaikan orang lain—mereka hanya terlalu fokus pada pikiran sendiri. Dalam hubungan yang sehat, rasa ingin tahu harusnya timbal balik, dan ketika tidak demikian, bisa membuat orang lain merasa tidak dianggap.

3. Mendominasi percakapan tanpa menyadarinya

Ada orang-orang yang lebih banyak bicara daripada mendengar, dan mereka bahkan tidak menyadari kebiasaan itu. Mereka mungkin menyela, berbicara menimpa orang lain, atau bermonolog panjang tanpa memperhatikan bahwa tidak ada yang berbicara selain mereka.

Dalam situasi berkelompok, ini menciptakan ketidakseimbangan di mana satu orang mendapatkan sebagian besar waktu bicara sementara yang lain berjuang untuk menyampaikan pendapat.

Riset menunjukkan bahwa dalam percakapan, orang cenderung melebih-lebihkan seberapa besar ketertarikan orang lain pada apa yang mereka bicarakan. Ini berarti seseorang yang terlalu banyak bicara mungkin tulus percaya mereka sedang membangun percakapan menarik, bukan mendominasi.

4. Sulit merayakan keberhasilan orang lain

Ketika hal baik terjadi pada teman atau kolega, kebanyakan orang secara alami merasa bahagia untuk mereka. Namun mereka yang selalu membuat segalanya tentang diri sendiri seringkali kesulitan dengan hal ini.

Alih-alih merayakan momen bahagia, mereka mungkin meremehkan prestasi tersebut, mengalihkan fokus ke perjuangan mereka sendiri, atau bahkan mencari cara untuk menjadikan diri mereka pusat perhatian.

Misalnya, jika kamu memberi tahu tentang promosimu, mereka mungkin merespons dengan, “Enak ya. Aku sudah bekerja sangat keras dan masih belum diperhatikan.” Sikap ini tidak selalu disengaja—seringkali berasal dari rasa tidak aman atau kebutuhan akan validasi.

5. Jarang mengakui perasaan orang lain

Semua orang ingin merasa didengar dan dipahami, terutama ketika sedang menghadapi kesulitan. Sayangnya, orang yang selalu berfokus pada diri sendiri sering kesulitan mengakui emosi orang lain.

Mereka mungkin mengabaikan perasaan, membandingkannya dengan pengalaman pribadi, atau mengalihkan fokus kembali ke masalah mereka sendiri.

Ketika seseorang membuka diri tentang kesulitannya, mereka tidak selalu membutuhkan nasihat atau cerita serupa sebagai balasan – terkadang mereka hanya butuh seseorang yang berkata, “Itu pasti berat. Aku ada untukmu.” Ketika seseorang terus-menerus mengabaikan emosi orang lain, hal ini menciptakan jarak dalam hubungan.

6. Menyela tanpa menyadarinya

Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada mencoba berbagi pemikiran, hanya untuk dipotong di tengah kalimat. Ini bukan hanya soal kehilangan alur pikiran—ini tentang perasaan bahwa apa yang ingin kamu sampaikan tidak sepenting apa yang ada di pikiran orang lain.

Terkadang, interupsi terjadi karena kegembiraan, tetapi ketika seseorang terus-menerus memotong pembicaraan orang lain, ini mengirimkan pesan: kata-kata mereka lebih penting. Percakapan seharusnya terasa seperti memberi dan menerima, di mana semua orang memiliki ruang untuk mengekspresikan diri.

7. Hanya menghubungi saat membutuhkan sesuatu

Hubungan baik dibangun atas dasar kepedulian dan koneksi timbal balik, namun beberapa orang tampaknya hanya muncul ketika mereka membutuhkan bantuan.

Mereka mungkin tidak berkomunikasi selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, tetapi begitu membutuhkan nasihat, dukungan, atau bantuan dengan sesuatu, tiba-tiba mereka teringat untuk menghubungi. Awalnya, ini mudah dimaklumi karena kehidupan memang sibuk. Tetapi ketika setiap percakapan mulai terasa transaksional, menjadi jelas bahwa hubungan itu berat sebelah.

Koneksi sejati tidak hanya tentang ada selama masa sulit—ini juga tentang hadir untuk momen-momen kecil, merayakan keberhasilan, dan sekadar mengecek kabar tanpa mengharapkan imbalan.

8. Tidak menyadari dampaknya pada orang lain

Sebagian besar orang yang membuat segalanya tentang diri mereka sendiri tidak melakukannya dengan sengaja. Mereka tidak melihat bagaimana tindakan mereka memengaruhi orang-orang di sekitar, bagaimana percakapan mulai terasa melelahkan, atau bagaimana orang lain perlahan berhenti terbuka.

Mereka berasumsi bahwa jika tidak ada yang mengatakan apa-apa, semuanya pasti baik-baik saja. Tetapi seiring waktu, hubungan yang dibangun atas perhatian sepihak mulai memudar.

Teman-teman berhenti menghubungi, koneksi melemah, dan mereka bertanya-tanya mengapa orang-orang tampak menjauh. Kesadaran diri adalah kunci perubahan, dan memahami pola-pola ini bukan tentang menyalahkan—ini tentang memahami bahwa hubungan berkembang ketika kedua belah pihak merasa didengar, dihargai, dan dilihat.

Editor: Setyo Adi Nugroho

Tag:  #orang #yang #mementingkan #diri #sendiri #biasanya #tunjukkan #perilaku #menurut #psikologi

KOMENTAR