



Rayakan Valentine, Apa Hukumnya Menurut Islam? Ini Penjelasan MUI
- Setiap tahun, perayaan Valentine memantik diskursus panjang di tengah masyarakat. Satu kubu melihatnya sebagai momentum universal untuk mengekspresikan kasih sayang, sementara pihak lain mengkritisinya sebagai perayaan yang sarat dengan pengaruh budaya asing dan berpotensi bertentangan dengan nilai-nilai keIslaman. Pertanyaannya, apakah cinta harus diekspresikan dalam satu hari khusus dengan cara yang mungkin tidak sejalan dengan ajaran agama dan etika sosial?
Dikutip JawaPos.com dari web mui.or.id, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof. KH. Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan bahwa Islam tidak menafikan cinta kasih sebagai bagian dari fitrah manusia. Namun, ekspresi kasih sayang harus senantiasa berada dalam bingkai syariat serta norma moral yang dijunjung tinggi oleh umat Islam.
"Islam memandang cinta kasih sebagai nilai fundamental dalam kehidupan sosial, yang diikat oleh ukhuwah islamiyah. Meskipun terdapat perbedaan dalam pendekatan fikih (mukhtalaf), esensi dari persaudaraan Islam harus tetap menjadi prioritas dalam interaksi sosial," jelas Prof. Ni’am dalam wawancara dengan MUIDigital pada 14 Februari 2025.
Sejarah dan Kontroversi Valentine
Hari Valentine memiliki akar sejarah yang berasal dari tradisi Romawi Kuno yang kemudian berkembang di Eropa pada abad pertengahan. Perayaan ini dihubungkan dengan sosok Santo Valentinus, seorang martir Kristen yang dieksekusi pada abad ke-3 Masehi. Seiring waktu, Valentine berkembang menjadi hari yang identik dengan ungkapan cinta secara romantis, terutama di dunia Barat.
Namun, dalam konteks dunia Islam, banyak negara dengan mayoritas Muslim melarang atau membatasi perayaan Valentine. Misalnya, di Arab Saudi, Komisi Amar Ma’ruf Nahi Munkar secara tegas melarang segala bentuk perayaan Valentine karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Di Pakistan dan Malaysia, otoritas keagamaan juga mengeluarkan fatwa serupa, mengingat adanya potensi perilaku yang tidak sesuai dengan norma agama.
Perspektif Islam tentang Ekspresi Kasih Sayang
Lebih lanjut, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan bahwa Islam juga menekankan pentingnya ukhuwah wathaniyah, yaitu kesatuan dalam konteks kebangsaan. Dalam perspektif ini, keberagaman etnis, bahasa, dan budaya bukan alasan untuk perpecahan, melainkan harus menjadi faktor perekat bagi harmoni sosial.
“Pluralitas yang ada di Indonesia seharusnya dimaknai sebagai kekayaan, bukan sumber konflik. Semangat persatuan dalam keberagaman harus terus digelorakan guna menjaga stabilitas sosial,” tambahnya.
Selain itu, ia menggarisbawahi konsep ukhuwah insaniyah, yakni persaudaraan berbasis nilai-nilai kemanusiaan yang melampaui batas-batas geografis dan ideologis. Menurutnya, manusia, terlepas dari latar belakang sosial atau kewarganegaraan, harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
“Perbedaan identitas, baik secara etnis maupun geopolitik, tidak boleh menjadi justifikasi untuk menumbuhkan sikap permusuhan. Sebaliknya, kita harus membangun solidaritas berbasis nilai-nilai kemanusiaan,” jelasnya.
Dampak Sosial Perayaan Valentine
Di Indonesia, perayaan Valentine kerap dikaitkan dengan gaya hidup konsumtif, di mana banyak perusahaan memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan penjualan produk bertema cinta. Menurut data dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), penjualan produk seperti cokelat, bunga, dan hadiah lainnya meningkat hingga 30% setiap Februari. Selain itu, survei dari Lembaga Kajian Sosial Keagamaan menunjukkan bahwa sebagian besar generasi muda di kota-kota besar merayakan Valentine dengan berbagai cara, meskipun tidak semua memahami asal-usul dan makna di baliknya.
Namun, di sisi lain, banyak kalangan yang mengkhawatirkan dampak negatif perayaan ini terhadap norma sosial dan agama. Beberapa studi menunjukkan bahwa di beberapa negara, perayaan Valentine sering kali dikaitkan dengan peningkatan perilaku konsumtif, hedonisme, dan pergaulan bebas yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama.
Fatwa dan Sikap MUI
Dalam konteks perayaan Valentine, Prof. Ni’am menekankan bahwa ekspresi kasih sayang harus selaras dengan ajaran Islam. Jika Valentine hanya dimaknai sebagai perwujudan cinta kasih dalam arti luas, maka prinsip tersebut seharusnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar perayaan tahunan.
Namun, apabila perayaan ini menjadi ajang untuk perilaku yang bertentangan dengan norma agama, seperti pergaulan bebas dan tindakan lain yang bertentangan dengan hukum serta moralitas Islam, maka hal itu jelas tidak dapat diterima.
“Valentine bukan bagian dari tradisi Islam. Jika hanya diambil sebagai bentuk ekspresi cinta universal, seharusnya setiap hari kita mengedepankan kasih sayang. Namun, jika perayaan ini justru mengarah pada praktik yang melanggar norma agama, hukum, dan sosial, maka itu bertentangan dengan prinsip Islam,” tegas Prof. Ni’am.
Ia mengajak masyarakat untuk lebih cermat dalam menyikapi tren budaya global agar tidak terseret dalam praktik yang berpotensi merusak nilai-nilai keislaman. Pemahaman tentang cinta kasih dalam Islam harus diletakkan dalam konteks yang lebih substansial, tidak sekadar sebagai selebrasi seremonial yang kosong makna.
“Cinta dalam Islam bukanlah sekadar ritual tahunan, melainkan manifestasi dari nilai-nilai luhur yang harus diwujudkan dalam keseharian dengan cara yang sesuai dengan ajaran agama,” pungkasnya.
Tag: #rayakan #valentine #hukumnya #menurut #islam #penjelasan