8 Tipe Kepribadian Orang yang Berisiko Alami Burnout Menurut Psikologi
Kepribadian berisiko burnout menurut psikologi. (Freepik/ freepik)
09:34
13 Februari 2025

8 Tipe Kepribadian Orang yang Berisiko Alami Burnout Menurut Psikologi

 

 

 Burnout bukan sekadar rasa lelah biasa, melainkan kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional yang bisa mengganggu produktivitas serta kesejahteraan seseorang.

Dalam psikologi, ada beberapa tipe kepribadian yang lebih rentan mengalami burnout karena pola pikir, kebiasaan, atau cara mereka menangani tekanan. Jika tidak diantisipasi, hal ini bisa berdampak serius pada kesehatan dan kualitas hidup.

Dilansir dari geediting.com pada Kamis (13/2), diterangkan bahwa terdapat tujuh tipe kepribadian orang yang berisiko tinggi untuk menderita burnout menurut psikologi.

  1. Si perfeksionis yang tak pernah puas

Individu dengan karakteristik perfeksionis memiliki kecenderungan kuat untuk selalu mengejar kesempurnaan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Mereka kerap menetapkan standar yang sangat tinggi dan hampir mustahil dicapai, yang pada akhirnya menciptakan tekanan besar pada diri sendiri.

Ketika hasil yang didapat tidak sesuai dengan ekspektasi mereka yang terlampau tinggi, dampak emosionalnya bisa sangat berat dan menguras energi mental. Perfeksionis juga memiliki kebiasaan untuk terus-menerus mencari kesalahan atau kekurangan dalam setiap pencapaian mereka, bahkan ketika orang lain menganggap hasilnya sudah sangat baik.

Tekanan konstan yang mereka ciptakan untuk diri sendiri ini seringkali berujung pada kelelahan fisik dan mental yang berkepanjangan. Kondisi ini akhirnya dapat memicu terjadinya burnout yang serius jika tidak segera disadari dan diatasi.

  1. Si penyenang semua orang

Orang-orang dengan karakter people pleaser memiliki kesulitan besar untuk mengatakan “tidak” ketika dimintai bantuan atau diberi tanggung jawab tambahan. Mereka mendapatkan kepuasan batin ketika bisa membantu dan membahagiakan orang lain, namun seringkali mengabaikan kapasitas dan batas kemampuan diri sendiri.

Hal ini kerap membuat mereka terjebak dalam situasi kelebihan beban kerja atau tanggung jawab yang sebenarnya di luar kemampuan mereka. Mereka cenderung mengorbankan kesejahteraan pribadi demi memenuhi harapan dan kebutuhan orang lain.

Beban mental dan fisik yang terakumulasi dari kebiasaan ini sangat berisiko memicu burnout. Diperlukan pembelajaran untuk bisa mengatakan “tidak” secara bijak demi menjaga kesehatan mental mereka.

  1. Si pengejar prestasi tanpa henti

Para high achiever adalah individu yang selalu memiliki ambisi tinggi dan dorongan kuat untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar. Mereka kerap mendorong diri mereka melampaui batas normal dalam mengejar tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Fokus yang terlalu intens pada pencapaian target seringkali membuat mereka mengabaikan kebutuhan istirahat dan relaksasi yang sebenarnya sangat penting. Tekanan konstan untuk terus berprestasi dapat menguras energi mental mereka secara signifikan.

Ada kalanya mereka perlu diingatkan bahwa mengambil waktu untuk beristirahat sama pentingnya dengan mengejar kesuksesan. Tanpa keseimbangan yang baik, burnout akan menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan bagi mereka.

  1. Si perawat yang selalu siaga

Kaum caregiver atau perawat merupakan sosok yang selalu siap sedia memberikan bantuan dan dukungan kepada orang lain yang membutuhkan. Mereka memiliki naluri kuat untuk mengutamakan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan pribadi mereka sendiri.

Kebiasaan memberikan perhatian dan bantuan tanpa henti ini seringkali membuat mereka lupa untuk merawat diri sendiri. Beban emosional dan fisik dari aktivitas merawat orang lain secara terus-menerus dapat sangat menguras energi mereka.

Penting bagi para caregiver untuk menyadari bahwa merawat diri sendiri bukanlah tindakan egois, melainkan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi. Tanpa perawatan diri yang cukup, mereka berisiko tinggi mengalami kelelahan mental dan fisik yang berujung pada burnout.

  1. Si serba bisa yang tak kenal batas

Karakter “I can do it all” adalah mereka yang percaya bisa menangani berbagai tugas dan tanggung jawab sekaligus tanpa bantuan orang lain. Mereka tampak seperti memiliki energi tak terbatas dan kemampuan multitasking yang luar biasa.

Keyakinan kuat bahwa mereka mampu mengatasi segala hal sendiri seringkali membuat mereka enggan meminta bantuan ketika dibutuhkan.

Tekanan untuk selalu tampil sempurna dalam menjalankan berbagai peran sekaligus dapat sangat menguras energi mental dan fisik mereka. Perlu disadari bahwa meminta bantuan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kebijaksanaan dalam mengelola energi dan kemampuan diri.

  1. Si optimis yang terlalu percaya diri

Kaum optimis memang dikenal dengan pandangan positif mereka terhadap berbagai situasi, namun justru ini bisa menjadi bumerang. Sikap “can-do” yang mereka miliki seringkali membuat mereka terlalu percaya diri dalam mengambil tanggung jawab atau tugas baru.

Mereka cenderung menerima berbagai tantangan tanpa perhitungan matang tentang kapasitas diri. Energi positif yang mereka miliki bisa terkuras habis karena terus-menerus dipaksa menghadapi berbagai tantangan tanpa jeda.

Keyakinan bahwa mereka bisa mengatasi segala hal terkadang membuat mereka lupa akan pentingnya istirahat dan pemulihan. Sikap optimis memang baik, namun perlu diimbangi dengan kesadaran akan batas kemampuan diri.

  1. Si pecandu kerja tanpa jeda

Para workaholic memiliki dedikasi luar biasa terhadap pekerjaan mereka hingga seringkali melewati batas wajar. Mereka adalah orang-orang yang selalu datang paling awal dan pulang paling akhir dari kantor, bahkan sering membawa pekerjaan ke rumah.

Keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi sangat timpang karena obsesi mereka terhadap pekerjaan. Hubungan sosial, hobi, dan bahkan kebutuhan dasar seperti istirahat yang cukup sering terabaikan.

Pola hidup yang tidak seimbang ini sangat berisiko memicu burnout yang serius. Diperlukan kesadaran untuk menetapkan batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi.

  1. Si online yang selalu terhubung

Di era digital ini, banyak orang yang terjebak dalam kondisi “always connected” atau selalu terhubung dengan dunia digital. Mereka terus-menerus memeriksa email, media sosial, dan berbagai platform komunikasi digital lainnya tanpa jeda yang berarti.

Ketergantungan pada konektivitas ini membuat mereka sulit menemukan waktu untuk benar-benar bersantai dan memulihkan energi. Stimulasi konstan dari berbagai informasi dan interaksi digital dapat mengakibatkan kelelahan mental yang serius.

Otak mereka jarang mendapatkan kesempatan untuk beristirahat dan memproses informasi dengan tenang. Penting untuk memberikan waktu bagi diri sendiri untuk lepas dari perangkat digital dan menikmati ketenangan tanpa gangguan notifikasi atau panggilan.

 

***

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #tipe #kepribadian #orang #yang #berisiko #alami #burnout #menurut #psikologi

KOMENTAR