



Kenapa AS Selalu Dukung Israel?
Keputusan Amerika Serikat (AS) ikut melancarkan serangan ke situs nuklir Iran, Sabtu (21/6/2025), mempertegas posisi Negeri Paman Sam sebagai sekutu paling setia Israel.
Dalam operasi tersebut, militer AS menggempur tiga fasilitas utama nuklir Iran, yakni Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Presiden AS Donald Trump menyampaikan langsung klaim keberhasilan operasi itu.
“Kami telah sukses menyerang tiga target penting milik Iran,” ujarnya lewat unggahan di media sosial. Ia bahkan menegaskan, “Fordow sudah lenyap,” seraya menyebut momen ini sebagai titik balik besar bagi AS, Israel, dan dunia.
Langkah tersebut menjadi bukti nyata bahwa hubungan strategis kedua negara bukan sekadar retorika. Namun, apa yang membuat Washington begitu setia membela Israel, bahkan dalam konflik bersenjata?
Dari Truman hingga Trump: Sejarah panjang hubungan AS-Israel
Hubungan erat antara AS dan Israel telah terbentuk sejak negara itu diproklamasikan pada 1948.
Saat itu, Presiden AS Harry S. Truman menjadi pemimpin dunia pertama yang mengakui kemerdekaan Israel.
Keputusan tersebut dipengaruhi oleh faktor pribadi, seperti kedekatannya dengan Edward Jacobson, mitra bisnisnya yang berlatar belakang Yahudi, serta kepentingan strategis AS di Timur Tengah.
Wilayah Timur Tengah kala itu menjadi ajang kompetisi geopolitik karena kekayaan sumber daya minyak dan lokasi vital seperti Terusan Suez.
Seiring waktu, dukungan AS semakin menguat, terutama setelah Israel memenangkan Perang Enam Hari pada 1967, mengalahkan tiga negara Arab sekaligus dan merebut wilayah yang sebelumnya dikuasai Palestina.
Dukungan Washington berlanjut saat perang kembali pecah pada 1973. Israel yang kembali unggul atas Mesir dan Suriah menjadi titik krusial dalam strategi AS memecah blok Arab dan mengurangi pengaruh Uni Soviet di kawasan.
Lobi politik dan dana kampanye
Di balik konsistennya kebijakan luar negeri AS terhadap Israel, ada peran besar dari kelompok-kelompok lobi politik pro-Israel, seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee).
Organisasi ini dikenal sebagai salah satu kekuatan pelobi paling berpengaruh di Washington.
AIPAC secara rutin menggelar pertemuan tahunan besar yang dihadiri oleh para pemimpin AS dan Israel, serta puluhan anggota Kongres.
Mereka juga memiliki jaringan akar rumput yang kuat, serta rajin menggalang dana politik, terutama dari komunitas Yahudi-Amerika dan kelompok Evangelis.
Menurut situs OpenSecrets, pada pemilu 2020, donasi dari kelompok pro-Israel mencapai lebih dari 30 juta dollar AS (sekitar Rp 494 miliar), yang diberikan kepada kandidat Partai Demokrat sebesar 63 persen dan 36 persen untuk Republik.
Opini publik AS dan simpati terhadap Israel
Sentimen publik AS pun banyak berpihak kepada Israel. Dalam survei Gallup terbaru, hampir 6 dari 10 warga AS mengaku lebih bersimpati kepada Israel dibanding Palestina.
Meski dukungan terhadap Palestina belakangan meningkat, persepsi lama tentang Israel sebagai sekutu demokratis dan korban serangan teror masih sangat kuat.
Tragedi seperti pembantaian atlet Israel di Olimpiade Munich 1972 memperkuat simpati itu.
Sebaliknya, aksi kelompok pro-Palestina yang dinilai ekstrem turut mempengaruhi opini publik di AS hingga kini.
Konsensus politik
Tak hanya publik, para politisi di AS juga konsisten menyuarakan dukungan untuk Israel.
Tokoh-tokoh seperti Ketua DPR Nancy Pelosi, Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer, hingga Steny Hoyer kerap menegaskan pentingnya keamanan Israel bagi stabilitas kawasan.
“Keamanan Israel adalah bagian dari keamanan nasional Amerika Serikat,” kata Pelosi dalam satu kesempatan.
Bahkan Presiden Donald Trump, yang dikenal dekat dengan kelompok konservatif dan Evangelis, kerap memberikan dukungan politik dan simbolis besar, Termasuk di antaranya adalah pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, yang sempat menuai kecaman internasional.
Bentuk nyata hubungan istimewa: Bantuan militer
Sejak Perang Dunia II, Israel menjadi penerima terbesar bantuan luar negeri dari AS.
Salah satu paket bantuan terbesar ditandatangani Presiden Barack Obama pada 2016, dengan nilai mencapai 38 miliar dollar AS (sekitar Rp 626 triliun) selama satu dekade.
Dana itu antara lain digunakan untuk membiayai sistem pertahanan udara Iron Dome, yang terbukti efektif menghadang serangan roket. Padahal, secara ekonomi, Israel tergolong negara maju dengan industri teknologi yang berkembang pesat.
“Israel secara teknis tidak terlalu membutuhkan bantuan tersebut. Tapi faktor geopolitik dan dinamika politik domestik AS membuat bantuan itu terus mengalir,” kata Aaron David Miller, pakar kebijakan Timur Tengah dari Carnegie Endowment for International Peace.