Warna Kulit Bukan Diagnosis Sosial
Tahun 2025 menjadi era baru bagi dunia kecantikan, dengan tren perawatan kulit yang menitikberatkan pada teknologi canggih dan pendekatan alami.(Shutterstock/PeopleImages.com - Yuri A)
13:54
4 Juni 2025

Warna Kulit Bukan Diagnosis Sosial

DI NEGARA negara tropis yang kaya akan keragaman genetik dan cahaya matahari, warna kulit terang masih menjadi standar kecantikan yang dominan.

Bukan karena mutasi genetik atau adaptasi ekologis, tapi karena konstruksi sosial yang diam-diam mengubah warna kulit menjadi indikator status. Seolah semakin terang kulit seseorang, semakin “layak dipandang”, dihargai, bahkan dianggap sukses.

Sebagai praktisi kesehatan, saya sering melihat bagaimana standar kecantikan ini tidak lagi berdiri pada ranah estetika, tetapi telah menyusup ke ranah kesehatan mental dan pilihan gaya hidup.

Pasien muda datang tidak hanya dengan jerawat atau hiperpigmentasi, tapi dengan rasa malu atas kulit mereka sendiri.

Sebagian orang bahkan secara obsesif menggunakan krim pemutih yang tak terdaftar, mengandung hidrokuinon atau merkuri yang secara klinis terbukti merusak ginjal dan sistem saraf.

Ini bukan sekedar masalah kosmetik. Ini epidemi sosial.

Warisan kolonial

Penelitian antropologi telah lama menunjukkan bahwa kolonialisme tidak hanya mewariskan sistem ekonomi yang timpang, tapi juga preferensi estetika yang menjajah cara kita memandang tubuh sendiri.

 

Di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, kulit terang diasosiasikan dengan kelas atas, pekerjaan dalam ruangan, dan status sosial.

Sementara kulit sawo matang, atau lebih gelap, dikaitkan dengan kerja lapangan, kemiskinan, dan “tidak terurus.”

Padahal, kalau kita bicara biologi, kulit orang Indonesia sangatlah adaptif. Melanin yang lebih tinggi bukan hanya memberi warna sawo matang yang khas, tapi juga merupakan proteksi alami terhadap paparan ultraviolet yang ekstrem di garis khatulistiwa.

Dalam bahasa medis, ini adalah evolutionary advantage, bukan kekurangan. Mengapa keunggulan biologis ini kita sembunyikan?

Tak bisa dipungkiri, industri kecantikan ikut berperan dalam mengamplifikasi standar ini. Sebagian besar iklan di televisi, media sosial, hingga skin analysis apps secara halus mengasumsikan bahwa cerah adalah lebih baik.

Kulit yang “bersih” bukan diukur dari kesehatannya, tetapi dari warnanya.

Dalam dunia medis, kulit dinilai berdasarkan parameter klinis seperti tingkat hidrasi, elastisitas, dan ada tidaknya kelainan seperti dermatitis, infeksi, atau tanda gangguan sistemik.

Di luar ruang praktik, penilaian kulit kerap bergeser dari aspek kesehatan menjadi soal persepsi visual, semakin jauh dari warna coklat alaminya, semakin dianggap ideal.

Ketika algoritma dan pasar lebih dipercaya daripada dokter atau fisiologi tubuh sendiri, kita sedang menghadapi krisis epistemik.

Menggeser narasi

Saya tumbuh di antara para perempuan hebat yang bekerja di luar ruangan, tenaga kesehatan yang menempuh perjalanan jauh di bawah matahari.

Mereka memiliki kulit yang tidak “putih bersinar”, tapi sehat, kuat, dan menua dengan penuh martabat.

 

Mereka adalah wajah asli Indonesia, tahan banting, penuh daya hidup, dan tidak punya waktu untuk mengejar krim pemutih yang menjanjikan hal semu.

Sudah waktunya kita berhenti menyembah pantulan cahaya pada kulit, dan mulai merayakan keberagaman pigmen sebagai cermin karakter, bukan kelas sosial.

Dalam ruang praktik, saya tidak akan pernah merekomendasikan pasien untuk memutihkan kulitnya. Namun, saya akan selalu mendorong mereka untuk merawatnya, membersihkan, melembapkan, melindungi dari sinar UV, dan menghargai tiap lapis warna yang mereka miliki.

Karena sehat itu tidak selalu putih. Dan cantik itu bukan pantulan budaya luar, tapi bagaimana kita merawat diri dengan baik.

Perubahan standar kecantikan tidak akan datang dari serum atau influencer, tapi harus dibangun di ruang dialog yang jujur antara dokter, pasien, media, dan masyarakat.

Kita perlu lebih banyak kampanye yang merayakan warna kulit Indonesia, dari kuning langsat, sawo matang hingga gelap eksotis. Semua indah, selama dirawat dengan sehat dan diterima dengan rasa bangga.

Barangkali semua dimulai dari cara kita bercermin. Bukan untuk mencari kekurangan, tapi untuk mengakui bahwa tubuh ini sudah cukup, bahwa kulit ini, warnanya, teksturnya, dan sejarahnya adalah warisan yang tidak perlu diputihkan.

Memiliki kulit gelap bukanlah suatu kekurangan. Tidak masalah kalau kulit kita tidak masuk standar iklan. 

Paling penting adalah tubuh yang terjaga, kesadaran diri yang utuh, dan keputusan untuk tidak tunduk pada validasi eksternal yang dibentuk oleh narasi industri yang tidak benar-benar berpihak pada perempuan Indonesia.

Tag:  #warna #kulit #bukan #diagnosis #sosial

KOMENTAR