10 Mitos Tentang Bunuh Diri yang Harus Diketahui
Hingga saat ini, kasus bunuh diri itu menduduki peringkat keempat untuk kematian di seluruh dunia terutama untuk usia 15-29 tahun. Di tengah angka bunuh diri yang masih tinggi, masih banyak mitos yang ditemukan.
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dari RSUD Tarakan, dr Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ menyebut jika ada 10 mitos tentang bunuh diri yang masih beredar di tengah masyarakat.
Pertama, orang yang berbicara tentang bunuh diri hanya mencari perhatian. "Pernah dengar 'ah dia paling cari perhatian' doang itu. Faktanya, orang yang berbicara ingin bunuh diri, itu sering kali benar-benar memikirkan untuk melakukannya," ujarnya pada Seminar Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia Tahun 2024 secara virtual, Selasa (17/9/2024).
Mungkin bisa saja ide bunuh diri diucapkan secara bercanda. Namun menurut dr Zulvia tetap harus ditanggapi serius. Mitos kedua, orang yang benar-benar ingin bunuh diri tidak akan memberi tanda peringatan.
Menurut Zulvia ini merupakan pemahaman yang salah. Faktanya, orang yang ingin bunuh diri selalu menunjukkan tanda-tanda.
"Kadang-kadang kita tahu tandanya setelah kejadian. Semua itu bisa dicegah. Kadang-kadang orang tua dan orang sekitar (malah) memaksakan ketika seseorang tidak dalam keadaan tidak baik-baik saja. Jangan paksakan orang break down untuk lari," tegasnya.
Ketiga, berbicara tentang bunuh diri akan mendorong orang lain untuk melakukannya. Masyarakat masih takut jika ada yang membicarakan bunuh diri.
Ketakutan ini muncul karena khawatir orang-orang akan ikut-ikutan melakukan bunuh diri. "Tidak (benar) kita tidak akan memasukkan ide bunuh diri jika tidak punya ide itu sebelumnya. Jadi dia sudah ada depresi atau kerentanannya," imbuhnya.
Berikutnya mitos mengenai orang yang mencoba bunuh diri lemah atau pengecut. Zulvia menegaskan jika anggapan ini adalah mitos. Kelima, jika seseorang sudah memutuskan untuk bunuh diri, tidak ada yang bisa menghentikannya. Anggapan ini, kata Zulvia adalah tidak benar.
"Walau berkali-kali bilang yakin, tidak ingin hidup lagi, kita masih punya peluang dia untuk bertahan," tambahnya.
Keenam, setelah krisis bunuh diri berlalu orang tersebut sudah aman. Terkait hal ini, Zulvia menganjurkan agar orang tersebut tetap harus dipantau dan dipandu untuk dirujuk ke psikolog.
Ketujuh, bunuh diri hanya terjadi pada orang punya masalah besar. "Mitos. Besar atau kecilnya masalah itu subjektif," lanjutnya.
Kedelapan, orang yang melakukan bunuh diri pasti mengalami gangguan mental. Sebagian besar kasus bunuh diri memang terjadi karena adanya gangguan mental. Tapi, ada pula karena tindakan impulsif akibat terlalu stres menghadapi kondisi kehidupan.
Selanjutnya mitos kesembilan, bunuh diri terjadi tanpa peringatan. "Itu juga mitos, karena banyak tandanya. Kesepuluh upaya bunuh diri tiba-tiba impulsif. Memang ada impulsif, tapi sering kali ada perencanaan," tutupnya.