Kerapuhan Rupiah: Menggugat Pengawasan dalam Kasus Uang Palsu di Marketplace
INDONESIA, negara dengan populasi yang masif dan pasar ekonomi digital yang berkembang pesat, dihadapkan pada ironi besar: uang palsu kini dengan mudah ditemukan di marketplace daring.
Fenomena ini tak hanya mengguncang rasa kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah sebagai alat tukar resmi, tetapi juga mencerminkan kerapuhan mendalam dalam sistem pengawasan dan tata kelola digital di negeri ini.
Dalam konteks ini, pertanyaan mendasar yang harus kita jawab bersama adalah: mengapa situasi ini bisa terjadi, dan apa implikasinya bagi kedaulatan ekonomi Indonesia?
Marketplace, sebagai wajah baru perdagangan modern, telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, platform ini juga menjadi ladang subur bagi aktivitas ilegal, termasuk peredaran uang palsu.
Ketika kita berbicara tentang uang palsu, isu yang muncul tidak sekadar kriminalitas, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas ekonomi, kredibilitas mata uang, dan legitimasi pemerintah dalam mengelola sistem keuangan.
Lemahnya pengawasan digital
Kasus uang palsu yang dijual di marketplace mengindikasikan lemahnya pengawasan di ranah digital. Platform e-commerce, yang seharusnya menjadi tempat transaksi yang aman, ternyata memiliki celah besar dalam menyaring produk-produk ilegal.
Menurut laporan dari Kementerian Perdagangan, setidaknya 10 persen barang yang dijual di marketplace Indonesia memiliki potensi melanggar hukum, termasuk uang palsu dan barang imitasi lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa algoritma pengawasan dan tim kurasi konten di platform tersebut belum mampu mendeteksi transaksi ilegal secara efektif.
Selain itu, kurangnya koordinasi antara regulator keuangan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika memperburuk situasi ini.
Regulasi yang ada belum mampu mengejar dinamika teknologi, sehingga celah hukum menjadi tempat berlindung bagi pelaku kejahatan.
Ironisnya, ancaman ini terjadi di tengah klaim pemerintah tentang transformasi digital dan penerapan ekonomi berbasis teknologi.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan platform e-commerce perlu bekerja sama secara intensif.
Penerapan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan dan penggunaan data analitik untuk melacak pola transaksi ilegal adalah langkah yang mendesak.
Selain itu, penguatan regulasi dan pemberian sanksi tegas kepada platform yang gagal mencegah penjualan barang ilegal juga harus menjadi prioritas.
Krisis kepercayaan terhadap Rupiah
Uang palsu yang beredar bebas di marketplace membawa dampak psikologis yang serius bagi masyarakat.
Ketika uang yang mereka gunakan diragukan keasliannya, kepercayaan terhadap Rupiah sebagai simbol kedaulatan ekonomi menjadi terganggu.
Menurut survei yang dilakukan oleh lembaga riset independen tahun 2024, sekitar 35 persen masyarakat Indonesia mengaku khawatir akan keaslian uang yang mereka terima dalam transaksi sehari-hari.
Ketakutan ini, meskipun tidak sepenuhnya beralasan, menciptakan tekanan psikologis yang dapat memengaruhi pola konsumsi dan preferensi masyarakat.
Selain itu, peredaran uang palsu juga dapat mendorong masyarakat untuk semakin beralih ke sistem transaksi non-tunai, seperti e-wallet atau mata uang kripto.
Meskipun ini dapat dianggap sebagai percepatan menuju ekonomi digital, perpindahan yang didasari ketakutan justru dapat menciptakan ketimpangan baru, terutama bagi kelompok masyarakat yang belum memiliki akses penuh ke layanan keuangan digital.
Bank Indonesia sebagai otoritas penerbit Rupiah perlu meningkatkan upaya edukasi publik tentang ciri-ciri uang asli.
Kampanye masif melalui media sosial, televisi, dan aplikasi mobile dapat membantu masyarakat lebih percaya diri dalam mengenali uang palsu.
Di sisi lain, pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan teknologi keamanan yang lebih canggih pada uang kertas, seperti fitur micro-optics technology yang telah diadopsi oleh beberapa negara maju.
Perdagangan uang palsu di marketplace tidak hanya menciptakan kerugian langsung bagi individu yang tertipu, tetapi juga memiliki dampak sistemik yang jauh lebih luas.
Secara ekonomi, keberadaan uang palsu dapat mengacaukan stabilitas moneter. Ketika uang palsu beredar, nilai tukar Rupiah dapat tertekan, terutama jika pasar mulai kehilangan kepercayaan terhadap mata uang tersebut. Hal ini bisa memicu inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat.
Dari sisi hukum, peredaran uang palsu di marketplace menunjukkan lemahnya penegakan aturan.
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang sebenarnya telah mengatur sanksi tegas bagi pelaku pemalsuan uang, termasuk penjara maksimal 15 tahun.
Namun, implementasi aturan ini sering kali terhambat kurangnya koordinasi antara aparat penegak hukum, regulator keuangan, dan platform digital. Akibatnya, para pelaku kriminal sering kali lolos dari jerat hukum.
Untuk mengatasi dampak ini, penegakan hukum harus lebih tegas dan konsisten. Pemerintah perlu membentuk satuan tugas khusus untuk menangani kejahatan digital, termasuk perdagangan uang palsu di marketplace.
Selain itu, kerja sama internasional juga penting, mengingat banyak platform e-commerce besar yang beroperasi lintas negara.
Menghadapi fenomena ini, langkah-langkah strategis yang bersifat holistik sangat diperlukan. Pemerintah dan Bank Indonesia harus terus berinovasi dalam meningkatkan teknologi keamanan Rupiah.
Misalnya, dengan menambahkan fitur-fitur baru yang lebih sulit dipalsukan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap uang kertas tetap terjaga.
Di sisi lain, regulasi digital yang lebih ketat perlu diterapkan untuk memastikan bahwa marketplace tidak menjadi tempat bagi aktivitas ilegal.
Program edukasi dan literasi keuangan juga menjadi elemen penting. Masyarakat harus diberi pemahaman yang lebih baik tentang ciri-ciri uang asli dan pentingnya bertransaksi melalui platform yang terpercaya.
Kampanye ini dapat dilakukan melalui berbagai saluran, seperti media sosial, televisi, atau bahkan melalui aplikasi berbasis teknologi yang mudah diakses oleh masyarakat.
Penegakan hukum yang tegas juga harus menjadi prioritas. Aparat hukum memerlukan dukungan sumber daya yang memadai untuk menindak tegas pelaku kejahatan, baik di dunia nyata maupun di ruang digital.
Dalam jangka panjang, kerja sama internasional juga penting untuk menangani platform e-commerce yang beroperasi lintas negara dan memiliki potensi menjadi medium bagi perdagangan ilegal.
Pada akhirnya, uang palsu bukan sekadar ancaman bagi individu, tetapi juga bagi stabilitas ekonomi dan kredibilitas negara.
Sebagai bangsa, kita harus melihat fenomena ini sebagai peringatan untuk terus memperkuat sistem keuangan dan digital kita.
Dengan kerja sama yang baik antara semua pemangku kepentingan, kita dapat memastikan bahwa Rupiah tetap menjadi simbol kedaulatan yang tak tergoyahkan.
Tag: #kerapuhan #rupiah #menggugat #pengawasan #dalam #kasus #uang #palsu #marketplace