Di Balik Laju Mobil Listrik, Bagaimana Adopsinya di Indonesia?
(Dok: ID COMM)
14:07
11 Desember 2025

Di Balik Laju Mobil Listrik, Bagaimana Adopsinya di Indonesia?

Diana, bukan nama sebenarnya, belakangan ini memulai pagi dengan kebiasaan baru. Sebelum matahari terbit, ia rutin mengecek dan mengisi baterai mobil listriknya, sesuatu yang tak pernah ia lakukan ketika masih mengandalkan mobil berbahan bakar fosil. “Sejak memiliki mobil listrik, saya menjadi disiplin,” ujarnya.

Di tempat lain, Bobby juga membangun kebiasaan baru. Dengan mobilitas kerja yang tinggi, ia kini memasukkan perencanaan rute ke dalam rutinitas hariannya seperti menghitung kebutuhan daya, memastikan titik SPKLU, dan menghindari kejutan kehabisan baterai di tengah jalan. Baginya, beralih ke mobil listrik bukan sekadar mencoba teknologi baru, tetapi mengatur ulang cara ia mengelola waktu dan perjalanan.

Keduanya merupakan contoh dari kelompok early adopter (pengadopsi awal) mobil listrik di Indonesia. Mereka berani mengambil risiko, menjadi pelopor, serta bersedia merombak kebiasaan harian demi sebuah inovasi. Perubahan perilaku konsumen seperti ini terjadi di tengah pasar yang bergerak cepat.

Namun di tengah tren positif tersebut, pemerintah justru tengah mempertimbangkan penghentian insentif bagi industri otomotif karena menilai sektor ini sudah cukup kuat. Jika kebijakan ini diterapkan, harga mobil listrik dan mobil hybrid bisa melonjak tanpa sokongan fiskal, khususnya bagi yang belum memenuhi syarat tingkat komponen dalam negari (TKDN) minimal 40 persen. Meski begitu, keputusan belum final. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut insentif akan dihentikan pada 2026, sementara Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita berpendapat pemerintah justru perlu menyiapkan insentif untuk tahun depan.

Data menunjukkan bahwa penjualan mobil listrik melonjak, menguasai 18,27% pangsa pasar pada 2025. Investasi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) pun menembus Rp 5,66 triliun tahun ini. Dalam tiga tahun terakhir, penjualan mobil listrik berkembang signifikan. Menurut GAIKINDO, jumlah battery electric vehicle (BEV) naik dari 15.318 unit pada 2023 menjadi 43.188 unit pada 2024, dan sudah menembus 51.191 unit hanya dalam delapan bulan pertama 2025. Kenaikan ini terjadi di tengah target ambisius pemerintah untuk mencapai 2 juta unit mobil listrik pada 2030 sebagai bagian dari agenda transisi energi nasional.

Namun, kondisi pasar yang masih didominasi oleh early adopter dan sebagian early majority (pengikut dini) menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat umum masih terbatas dan membutuhkan dukungan lebih kuat agar pasar dapat berkembang lebih luas.

Riset ID COMM, sebuah firma PR berbasis isu SDGs, menunjukkan bahwa adopsi mobil listrik di Indonesia masih digerakkan oleh pertimbangan ekonomi, mulai dari hematnya biaya operasional hingga adanya insentif fiskal. Penggunanya pun didominasi kalangan menengah atas di wilayah urban yang sebelumnya telah memiliki mobil konvensional. Melalui laporan Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap, riset ini memetakan hambatan dan peluang utama dalam adopsi mobil listrik sebagai masukan strategis bagi para pemangku kepentingan. Temuan ini menegaskan bahwa pertumbuhan pasar tidak hanya ditentukan oleh dorongan kebijakan, tetapi juga bergantung pada bagaimana ekosistem mampu menjawab kebutuhan dan kekhawatiran konsumen.

Di balik upaya pemerintah dalam mendorong percepatan program bermotor listrik itu, terdapat dinamika lain yang tidak kalah penting yaitu kesiapan ekosistem dan kepercayaan publik.

Kebijakan pemerintah

Terlepas dari pertimbangan untuk mencabut insentif mobil listrik dan mobil hybird, terutama kategori completely built up (CBU) tahun depan, kebijakan kendaraan listrik di Indonesia berkembang sejak 2019, bergerak dari tahap perintisan menuju penguatan ekosistem. Perpres No. 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai menjadi pijakan awal percepatan program kendaraan listrik, yang kemudian diperkuat oleh berbagai aturan turunan di tingkat kementerian hingga pemerintah daerah.

Secara umum, regulasi-regulasi ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan menekan emisi gas rumah kaca. Untuk membaca arah kebijakan secara utuh, tim riset juga memetakan regulasi di sepanjang rantai pasok industri mobil listrik, yaitu mulai dari penambangan bahan baku hingga daur ulang komponen.

Keseluruhan kebijakan tersebut dirancang untuk membangun sistem kendaraan listrik yang terintegrasi dari hulu ke hilir, mencakup aspek fiskal, industri, infrastruktur, hingga pengelolaan akhir masa pakai. “Kebijakan menjadi simpul yang menghubungkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga tidak hanya berperan sebagai alat pengatur, tetapi juga katalis yang mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menghadirkan solusi yang adaptif bagi kebutuhan sosial dan ekonomi,” menurut studi ID COMM.

Wawancara dengan pemilik mobil listrik menunjukkan bahwa keputusan membeli tidak hanya didorong faktor ekonomi, seperti hemat biaya operasional, tetapi juga motivasi sosial dan emosional. Banyak responden merasa bangga menjadi pengguna awal dan menikmati pengalaman berkendara yang lebih halus, senyap, dan modern. Meski demikian, mereka masih menghadapi sejumlah kekhawatiran, mulai dari jarak tempuh dan ketersediaan SPKLU hingga layanan purnajual.

Suara konsumen

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumen dalam pembelian mobil listrik. Menurut riset ini, hal yang paling menentukan adalah aspek ekonomi dimana biaya operasional jauh lebih hemat, terutama bagi konsumen dengan mobilitas tinggi. Insentif pajak juga memperkuat minat karena pajak tahunan mobil listrik jauh lebih rendah, yaitu sekitar Rp150.000.

Selain alasan finansial, ada pula faktor psikologis. Responden pemilik mobil listrik merasa bangga menjadi bagian dari early adopter dimana mereka menikmati peran sebagai trend setter dan diasosiasikan dengan gaya hidup modern. Sementara, aspek lingkungan masih bersifat tambahan.

Proses pengambilan keputusan untuk pembelian mobil listrik sebenarnya tidak jauh berbeda dari konsumen mobil berbahan bakar fosil. Biasanya mereka dipengaruhi oleh orang di sekitarnya. Selain itu, media sosial dan influencer otomotif menjadi rujukan awal mereka untuk mencari informasi, mulai dari ulasan produk, perbandingan merek hingga harga yang berkisar antara Rp189 juta dan Rp1,59 miliar.

Sedangkan dari sisi usia, terdapat tiga kelompok utama yaitu usia 25–35 tahun yang sedang membangun karier; usia 36–50 tahun yang sudah mapan secara keluarga dan pekerjaan; serta usia 50 tahun ke atas yang ingin tetap bermobilitas nyaman tanpa biaya operasional tinggi, terutama saat memasuki masa pensiun.

(Dok: IDCOMM) Perbesar(Dok: ID COMM)

Pelaku industri

Pelaku industri menilai transisi ini berada di simpang jalan: pasar tumbuh cepat, tetapi belum cukup kuat tanpa dukungan kebijakan yang stabil. Di sisi lain, analisis regulasi menunjukkan bahwa pemerintah membangun kerangka besar dari hulu ke hilir, mulai dari penambangan bahan baku, industri baterai, manufaktur kendaraan, hingga daur ulang. Meski begitu, tantangannya terletak pada harmonisasi antar sektor agar kebijakan tidak saling tumpang tindih.

Saat ini, persaingan industri mobil listrik tengah memasuki fase price–performance war yang dipimpin produsen asal Tiongkok dengan efisiensi rantai pasok dan agresivitas harga yang ditawarkan setiap pabrikan. Sementara itu, produsen mobil listrik sekaligus menghadapi tekanan margin, siklus model yang kian pendek, dan ketidakpastian insentif. Pasar yang masih terkonsentrasi di wilayah urban dan didominasi kelas menengah atas menegaskan bahwa fase ini lebih merupakan masa penyesuaian daripada pertumbuhan inklusif.

Selama tiga tahun pertama, pertumbuhan mobil listrik lebih mencerminkan perpindahan konsumen daripada perluasan pasar. Lonjakan penjualan mobil listrik terjadi saat total penjualan mobil nasional justru menurun. Ini menunjukkan adanya kanibalisme pasar, yaitu konsumen bergeser dari mobil ICE ke mobil listrik, bukan menambah jumlah pembeli baru.

Peran media

Media arus utama pun memainkan peran penting sebagai penerjemah informasi: menyaring hype, menjembatani perspektif publik, dan menjaga agar perbincangan mobil listrik tidak sekadar menjadi narasi elit, melainkan diskusi yang relevan bagi masyarakat luas.

Di tengah lanskap komunikasi yang makin terfragmentasi yang dipenuhi influencer, key opinion leader, dan kanal komunitas, media arus utama diharapkan dapat menjaga kredibilitas sekaligus memastikan publik menerima informasi yang edukatif dan kontekstual, bukan sekadar promosi. Dalam ekosistem transisi kendaraan listrik, media berperan sebagai penerjemah dan mediator yang menjembatani kepentingan pemerintah, industri, dan masyarakat.

“Diharapkan, narasi media seharusnya tidak hanya berfokus pada kemajuan teknologi, tetapi juga menyertakan perspektif kritis sebagai bentuk edukasi dan mitigasi risiko publik,” ungkap studi ID COMM.

Di tengah perubahan besar ini, pertanyaannya bukan lagi apakah masyarakat siap beralih ke mobil listrik, melainkan bagaimana ekosistem dapat dibangun lebih inklusif agar adopsi tidak berhenti pada kelompok early adopter saja. Infrastruktur pengisian yang lebih merata, kepastian layanan purnajual, serta komunikasi publik yang jujur dan edukatif menjadi kunci agar transisi ini berjalan mulus.

Pada akhirnya, perjalanan Diana dan Bobby menunjukkan bahwa transisi ke mobil listrik bukan hanya soal teknologi, tetapi tentang perubahan perilaku, keputusan sehari-hari, dan keberanian mengambil langkah lebih dulu. Mereka dan ribuan pengguna awal lainnya telah ikut menggerakkan pertumbuhan positif kendaraan listrik di Indonesia, bahkan sebelum ekosistemnya benar-benar matang.

Namun di balik kemajuan itu, wacana penghentian insentif terus membayangi. Tahun depan bisa menjadi titik balik: apakah pemerintah akan menarik insentif karena menilai industri sudah kuat, atau justru mempertahankannya untuk menjaga momentum dan memberi ruang bagi lebih banyak orang mengikuti jejak para early adopter? ***

Editor: Fabiola Febrinastri

Tag:  #balik #laju #mobil #listrik #bagaimana #adopsinya #indonesia

KOMENTAR