Daya Saing yang Merosot (Bagian I)
Pekerja melakukan perakitan mobil wuling di Pabrik Wuling Motors, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (9/5/2018). Pabrik seluas 60 hektar yang terdiri dari pabrik manufaktur dan supplier park mampu memproduksi 120.000 unit kendaraan pertahun.(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)
08:32
29 Juni 2025

Daya Saing yang Merosot (Bagian I)

BEBERAPA hari lalu, kita mendengar kabar tentang anjloknya daya saing Indonesia. Berdasarkan laporan World Competitiveness Ranking (WCR) 2025 yang dirilis oleh International Institute for Management Development (IMD), Indonesia menempati posisi ke-40 dari 69 negara.

Padahal, pada tahun sebelumnya Indonesia berada di peringkat ke-27 dari 67 negara. Posisi tahun lalu bahkan sempat menjadi kebanggaan pemerintah, karena lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Filipina, bahkan Jepang dan Inggris.

Pemerintah mengklaim bahwa keberhasilan pada 2024 karena implementasi Undang-Undang Cipta Kerja, yang dianggap mampu meningkatkan kemudahan berusaha dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Namun, jika dibandingkan dengan kondisi tahun lalu, peringkat Indonesia turun sebanyak 13 posisi.

Meskipun terdapat argumentasi bahwa penurunan ini dipengaruhi penambahan jumlah negara yang disurvei, hal tersebut dinilai tidak signifikan karena hanya ada dua negara tambahan.

Merujuk pada metodologi yang digunakan dalam WCR, konsep utama yang menjadi dasar penilaian adalah kemampuan suatu negara untuk menciptakan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung daya saing dunia usaha.

Lingkungan ini mencakup berbagai aspek yang memungkinkan perusahaan, baik milik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk tumbuh, berinovasi, dan berkontribusi terhadap penciptaan kesejahteraan nasional.

Asumsi utama dalam pendekatan ini adalah bahwa perusahaan merupakan aktor utama dalam penciptaan kemakmuran suatu negara.

Oleh karena itu, daya saing perusahaan menjadi indikator kunci dalam menilai daya saing nasional secara keseluruhan.

Penilaian WCR didasarkan pada empat faktor utama, yaitu kinerja ekonomi (economic performance), efisiensi bisnis (business efficiency), efisiensi pemerintahan (government efficiency), dan infrastruktur (infrastructure).

Keempat faktor tersebut masing-masing memiliki bobot yang sama, yakni 25 persen dalam komposisi akhir skor daya saing.

Setiap faktor kemudian diuraikan ke dalam lima sub-faktor yang juga memiliki bobot setara, yaitu 5 persen per sub-faktor. Dengan demikian, terdapat total 20 sub-faktor yang menjadi dasar penilaian.

Lebih lanjut, seluruh sub-faktor ini dijabarkan ke dalam 341 kriteria yang lebih rinci, meskipun jumlah kriteria dalam setiap sub-faktor tidak selalu sama.

Sebagai contoh, sub-faktor pendidikan (bagian dari faktor pendidikan) memiliki lebih banyak indikator dibandingkan dengan sub-faktor harga (bagian dari faktor kinerja ekonomi), karena perbedaan cakupan dan kompleksitas antar dua sub-faktor tersebut.

Efisiensi bisnis penyebab penurunan ranking

Dari keempat faktor yang dinilai dalam WCR, hanya satu faktor yang menunjukkan stabilitas, yaitu kinerja ekonomi. Selama dua tahun terakhir, faktor ini konsisten berada di peringkat ke-24.

Fakta ini bisa dianggap bahwa ekonomi Indonesia cukup tangguh dalam ketidakpastian global, walaupun tidak bisa dikatakan berada di kinerja maksimal.

Sebaliknya, tiga faktor lainnya mengalami penurunan peringkat, dengan penurunan paling tajam terjadi pada faktor efisiensi bisnis.

 

Pada tahun sebelumnya, efisiensi bisnis berada di peringkat ke-14, tapi turun drastis menjadi peringkat ke-26 pada tahun ini.

Seluruh lima sub-faktor dalam komponen efisiensi bisnis mengalami penurunan peringkat. Penurunan terbesar terjadi pada sub-faktor praktik manajemen (management practices), yang turun 20 peringkat, dari posisi ke-10 menjadi posisi ke-30.

Sub-faktor produktivitas dan efisiensi (productivity and efficiency) serta sikap dan nilai-nilai prinsipil (attitudes and values) masing-masing mengalami penurunan sebesar 14 peringkat.

Sementara itu, sub-faktor keuangan (finance) turun 12 peringkat, dan sub-faktor pasar tenaga kerja (labor market) mengalami penurunan sebesar 8 peringkat.

Indikasi ini menunjukkan bahwa ada alarm bagi dunia bisnis. Ini perlu mendapatkan perhatian dari pihak manajemen perusahaan dan pemerintah.

Khusus untuk sub-faktor praktik manajemen (management practices), terdapat 14 kriteria yang digunakan dalam penilaian.

Sebagian besar data untuk kriteria ini bersumber dari hasil survei yang ditujukan kepada para eksekutif (top management), serta dilengkapi dengan data sekunder.

Salah satu pertanyaan utama dalam survei tersebut berkaitan dengan bagaimana pimpinan perusahaan menilai kapabilitas organisasinya (agility of companies) dalam merespons berbagai kemungkinan perubahan, peluang, dan tantangan di masa depan (changing market conditions dan opportunities and threats).

Sebagai contoh, merujuk pada publikasi World Economic Forum (WEF) berjudul Future of Jobs Report, dalam lima tahun ke depan diperkirakan akan terjadi banyak perubahan signifikan, khususnya terkait keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja.

Perubahan tersebut mencakup peningkatan kebutuhan akan keterampilan analisis, digital dan teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI) dan big data, serta keterampilan lain seperti kreativitas, dan kemampuan beradaptasi.

Kriteria-kriteria lain yang digunakan mencakup bagaimana tingkat kredibilitas manajemen, kualitas audit dan akuntansi, kepuasan konsumen, kewirausahaan, kewajiban sosial perusahaan, dan persentase perempuan di level senior dan menengah.

Terkait dengan sub-faktor produktivitas dan efisiensi, cakupan kriteria adalah Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan per pekerja, PDB yang dihasilkan per jam kerja, produktivitas pertanian, produktivitas manufaktur, produktivitas jasa, produktivitas perusahaan besar, serta produktivitas perusahaan kecil menengah.

Untuk sub-faktor sikap dan nilai-nilai prinsipil, beberapa hal yang menjadi penilaian adalah pandangan terhadap nilai globalisasi, citra negara terhadap dunia luar, daya adaptasi dan fleksibilitas, pemahaman terhadap transformasi digital, dan sistem nilai yang mendukung daya saing.

Sub-sektor keuangan mencakup efisiensi perbankan, efisiensi pasar modal, dan efisiensi manajemen keuangan.

Dari berbagai ulasan kriteria di atas, kita bisa melihat bahwa memang masih banyak indikator yang harus diperbaiki. Khusus untuk kinerja ekonomi dan efisiensi bisnis, terlihat bahwa perbaikan ini tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak.

Sebagai penutup, penurunan drastis dalam peringkat efisiensi bisnis seharusnya menjadi alarm bagi kita semua.

Sebagai referensi tambahan, McKinsey Global Institute pada April lalu merilis laporan berjudul “The Enterprising Archipelago: Propelling Indonesia’s Productivity.”

Laporan tersebut menekankan bahwa untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), Indonesia harus secara signifikan meningkatkan produktivitas perusahaan.

Pertama, proporsi tenaga kerja yang bekerja di perusahaan skala besar perlu ditingkatkan. Saat ini, hanya 15 persen tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di perusahaan besar, angka yang jauh lebih rendah dibandingkan Brasil (37 persen), Polandia (35 persen), Meksiko (28 persen), dan Portugal (24 persen).

Kedua, produktivitas internal perusahaan besar juga masih relatif rendah. Saat ini, produktivitasnya diperkirakan sekitar 27.000 dollar AS per pekerja.

Angka ini masih tertinggal dibandingkan dengan Meksiko (36.000 dollar AS), Polandia (42.000 dollar AS), dan Portugal (52.000 dollar AS).

Dengan demikian, produktivitas harus menjadi perhatian utama dalam agenda reformasi ekonomi Indonesia. Tanpa transformasi di tingkat perusahaan, maka Indonesia akan sulit untuk meningkatkan daya saing, serta mendorong pertumbuhan ekonomi berkesinambungan.

Tag:  #daya #saing #yang #merosot #bagian

KOMENTAR