



Menanti Aksi Politik Prabowo Mengatasi Ketimpangan
DI PANGGUNG megah St Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025, di hadapan 20.000 pemimpin dan pebisnis global dari 140 negara, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pernyataan yang jujur.
Menurut Prabowo, meskipun Indonesia berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen selama 7 tahun berturut-turut, tetapi tidak menghasilkan trickle down effect.
“Kekayaan tetap berada di atas kurang dari 1 persen (kelompok masyarakat). Dan ini bukan rumus untuk mencapai kesuksesan, menurut pendapat saya," kata Prabowo, seperti dikutip Kompas.com, 20 Juni 2025.
Bagi mereka yang mengikuti jejak politik Prabowo, isu ketimpangan ekonomi memang kerap terlontar dari mulutnya. Tak terkecuali dalam kontestasi elektoral pada 2014 dan 2019.
Bahkan, ketika sudah terpilih sebagai Presiden, pernyataan semacam itu sangat sering dilontarkan oleh Presiden Prabowo.
Sekarang, sebagai Presiden RI, Prabowo tak cukup hanya mengumbar kritik di mimbar pidato. Di tangannya tersedia pena dan palu kebijakan yang bisa mengubah keadaan. Kekuasaan di tangannya sekarang bisa mengubah narasi dan retorika menjadi kebijakan politik.
Realitas ketimpangan
Selama dua dekade, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mendekati 5 persen. Itu sudah memasukkan angka pertumbuhan ekonomi pada 2020, yang minus 2,07 persen. Di Asia dan G20, Indonesia salah satu yang terbaik.
Namun, ada ironi di balik angka menakjubkan itu. Ketimpangan ekonomi juga semakin melebar.
Pada awal 2000-an, rasio gini kita masih di kisaran 0,34. Namun, satu dekade kemudian, rasio gini sudah 0,38. Bahkan, rasio gini pernah di atas 0,4 pada 2011 hingga 2015.
Laporan Credit Suisse pada 2023 menyebutkan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 66,8 persen kekayaan nasional, sementara 1 persen terkaya menguasai 37,4 persen.
Sebaliknya, 20 persen termiskin di Indonesia atau sekitar 55 juta orang hanya menguasai 0,2 kekayaan nasional.
Riset Center of Economic and Law Studies (Celios) punya hasil potret yang hampir sama: kekayaan 50 orang terkaya di indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia.
Untuk menyamai kekayaan 50 orang terkaya itu, 50 juta orang termiskin butuh bekerja keras secara kolektif selama 11,5 tahun.
Di sektor agraria, ketimpangan melebar lebih jauh lagi. Rasio gini kepemilikan tanah sudah 0,58 hingga 0,68. Itu berarti hanya 1 persen populasi menguasai 68 persen tanah.
Ketimpangan itu terkonfirmasi oleh pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid. Menurut dia, dari 170 juta tanah di Indonesia, sebanyak 70 juta hektar adalah tanah non-hutan.
Ironisnya, sebanyak 46 persen dari tanah non-hutan itu atau sekitar 30 juta hektar hanya dikuasai oleh 60 keluarga pemilik korporasi. Bahkan, ada 1 keluarga menguasai 1,8 juta hektar tanah.
Ketimpangan ini bukan tadir, bukan juga sesuatu yang muncul secara alami, melainkan turunan dari faktor struktural: kebijakan ekonomi dan politik yang tak adil.
Pertama, model ekonomi ekstraktif, yang bertumpu pada ekstraksi SDA, yang tanpa atau minim pengolahan, diekspor dalam bentuk mentah atau setengah jadi ke pasar global. Model ini berkontribusi pada melebarnya ketimpangan.
Penjelasannya sederhana. Ekstraktivisme selalu melibatkan perampasan sumber daya, baik tanah, hutan, sungai, dan-lain-lain, yang berbuah pada pemiskinan dan marginalisasi.
Ekstraktivisme juga identik dengan ekonomi tanpa nilai tambah (value added) dan berorientasi ekspor. Terakhir, ekstraktivisme identik dengan korupsi, perburuan rente, dan padat modal (penyerapan tenaga kerjanya kecil).
Kedua, kebijakan neoliberal, yang menjadi pendekatan ekonomi arus utama sejak pasca-1998 hingga sekarang, berkontribusi pada melebarnya ketimpangan.
Melalui kebijakan privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan pemangkasan subsidi sosial, neoliberalisme menciptakan apa yang disebut “redistribusi terbalik”: kekayaan lebih banyak mengalir ke si kaya ketimbang si miskin.
Urgensi politik redistribusi
Ketimpangan tak bisa dihadapi dengan gerakan amal atau program jaring pengaman sosial. Itu seperti menadah air hujan dengan gelas: kurang efektif.
Ketimpangan ekonomi yang ekstrem hanya bisa diatasi dengan politik redistribusi. Secara sederhana, politik redistribusi adalah serangkaian kebijakan yang dirancang dan diimplementasikan oleh negara secara sadar untuk mengoreksi atau mengubah distribusi kekayaan, pendapatan, dan kesempatan yang disebabkan oleh mekanisme pasar.
Di sini, ada tiga kebijakan yang mendesak. Pertama, reforma agraria untuk menata ulang kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria agar berkeadilan sosial.
Ini mendesak, mengingat data KPA pada 2023, sebanyak 60,84 persen petani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar.
Reforma agraria mendesak dilakukan untuk meredistribusi tanah dari tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya, HGU yang terlantar, atau HGU yang bermasalah; kawasan hutan yang sudah menjadi lahan garapan atau pemukiman; tanah absente, tanah yang menjadi objek konflik agraria, maupun tanah negara yang belum dimanfaatkan dan memenuhi syarat untuk dijadikan objek reforma agraria.
Kedua, mendorong pajak berkeadilan. Untuk langkah awal, pemerintah bisa mendorong pajak kekayaan berdasarkan nilai aset (asset base) dengan tarif sebesar 2-3 persen yang menyasar orang-orang super kaya Indonesia (UHNWI) yang jumlahnya sekitar 1400 orang.
Selain itu, Indonesia perlu mempertimbangkan penerapan pajak progresif. Seperti kata Montesquieu (1789), pajak progresif paling seusai dengan nilai kebebasan, sedangkan pajak regresif paling seusai dengan perbudakan.
Terakhir, redistribusi berbentuk kesetaraan kesempatan (pendekatan kapabilitas) melalui alokasi APBN yang lebih besar untuk belanja pendidikan dan kesehatan.
Targetnya, pendidikan dan kesehatan berkualitas bisa dijangkau oleh rakyat tanpa dirintangi oleh faktor biaya.
Presiden Prabowo kini berdiri di persimpangan sejarah. Pertaruhan terbesarnya bukanlah lagi memenangkan pemilu, melainkan memenangkan pertarungan melawan struktur yang selama ini ia kritik.
Ini adalah ujian pamungkas untuk menerjemahkan sila kelima Pancasila dari sekadar teks menjadi realitas yang dirasakan mayoritas rakyat.
Tag: #menanti #aksi #politik #prabowo #mengatasi #ketimpangan