



Bersiap Menghadapi Efek Contagion Perang Israel-Iran
KONFLIK bersenjata antara Iran dan Israel yang kembali memanas pada pertengahan 2025, bukan sekadar berita luar negeri biasa. Ketegangan ini memiliki potensi besar mengguncang perekonomian global, termasuk Indonesia.
Di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan pelemahan konsumsi domestik, ketidakstabilan geopolitik di kawasan Timur Tengah membawa efek domino ke berbagai lini kehidupan nasional.
Salah satu istilah kunci yang kini banyak dibahas para ekonom adalah contagion effect—yakni efek penularan ekonomi yang timbul akibat eskalasi krisis di satu wilayah, yang kemudian menjalar ke berbagai belahan dunia.
Apa sebenarnya efek contagion dari perang Iran–Israel terhadap dompet rakyat dan stabilitas ekonomi Indonesia?
Makna contagion dalam perekonomian global
Contagion effect menggambarkan fenomena ketika kejadian negatif di satu negara atau kawasan menyebar ke negara lain melalui transmisi ekonomi dan keuangan.
Dalam konteks konflik Iran–Israel, efek penularan ini berpotensi menyebar melalui tiga jalur utama: pasar energi, arus modal, dan ekspektasi pelaku ekonomi global.
Karena Iran merupakan salah satu produsen minyak terbesar dunia, dan Selat Hormuz menjadi jalur vital pengangkutan sekitar 20 persen pasokan minyak global, setiap ketegangan yang mengancam kelancaran suplai energi di kawasan ini akan mengguncang harga minyak dunia.
Ketika harga melonjak, efeknya tidak hanya dirasakan oleh negara-negara barat, tetapi juga oleh Indonesia, yang masih sangat bergantung pada impor minyak mentah.
Sejak konflik memuncak pada awal Juni 2025, harga minyak dunia melonjak signifikan. Minyak mentah Brent menembus angka 97 dollar AS per barel, tertinggi sejak awal tahun (Bloomberg, 2025).
Kenaikan ini menjadi pukulan langsung bagi Indonesia yang harus mengimpor sekitar 700.000 barel per hari (SKK Migas, 2025).
Ketika harga minyak naik, beban subsidi bahan bakar dalam APBN pun menggelembung. Pemerintah menghadapi dilema: menaikkan harga BBM dan memicu inflasi, atau mempertahankan harga dengan konsekuensi defisit fiskal yang lebih lebar.
Keduanya akan menghantam daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.
Kementerian Keuangan mencatat, setiap kenaikan 10 dollar AS per barel dalam harga minyak dapat menambah beban subsidi energi hingga Rp 30 triliun per tahun (Kemenkeu, 2025).
Artinya, efek contagion langsung menyusup ke jantung konsumsi rumah tangga dan struktur fiskal negara.
Efek lanjutan dari perang ini juga muncul di pasar keuangan. Ketika konflik berskala internasional meletus, investor global cenderung mengalihkan aset mereka ke instrumen yang dianggap aman seperti dollar AS dan emas.
Akibatnya, mata uang negara berkembang seperti rupiah terdepresiasi. Hingga pertengahan Juni 2025, rupiah telah melemah dari Rp 15.800 menjadi Rp 16.250 per dolar AS (BI, 2025).
Tekanan nilai tukar ini membuat impor makin mahal dan mendorong inflasi impor (imported inflation), yang lagi-lagi mempersempit ruang fiskal dan konsumsi domestik.
Bank Indonesia pun harus mengimbangi volatilitas dengan menjaga suku bunga tetap tinggi demi menjaga stabilitas nilai tukar.
Namun, suku bunga tinggi berarti bunga kredit naik, membebani dunia usaha dan rumah tangga dalam mengakses pembiayaan produktif.
Dalam kondisi krisis geopolitik seperti Iran–Israel, suku bunga 5,50 persen saat ini adalah angka yang ideal — mencerminkan keseimbangan antara menjaga stabilitas mata uang dan memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi.
BI perlu melanjutkan kehati-hatian, memantau pergerakan rupiah serta transmisi kebijakan ke sektor riil, sebelum memutuskan pelonggaran lebih lanjut.
Jika inflasi tetap rendah (di bawah 2 persen), rupiah tidak terlalu volatile, dan transmisi suku bunga ke kredit berjalan efektif, BI bisa mempertimbangkan penurunan suku bunga ke 5,25 persen pada kuartal ketiga 2025.
Sektor industri nasional juga ikut menanggung beban. Kenaikan harga energi memperbesar ongkos produksi dan distribusi. Industri padat energi seperti semen, logam, dan transportasi menjadi kelompok paling rentan.
Sementara itu, prospek ekspor ke kawasan Timur Tengah bisa terganggu akibat disrupsi logistik dan ketidakpastian pasar.
Kementerian Perindustrian memperkirakan biaya logistik naik 12–15 persen selama Juni ini akibat lonjakan tarif pelayaran dan asuransi kargo dari kawasan Teluk (Kemenperin, 2025). Ini mengancam daya saing produk ekspor nasional di pasar global.
Bagaimana masyarakat harus bersiap?
Efek contagion dari perang Iran–Israel bukan sekadar retorika politik internasional. Dampaknya nyata dan perlahan menjalar ke struktur harga, daya beli, dan kestabilan ekonomi nasional.
Masyarakat perlu mulai bersiap dengan meningkatkan efisiensi konsumsi energi, memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga, dan menyesuaikan strategi investasi serta pengelolaan utang pribadi.
Pemerintah juga dituntut lebih sigap dalam mitigasi risiko eksternal ini, baik memperkuat program bantuan sosial berbasis data yang akurat, menyesuaikan kebijakan fiskal dengan skenario minyak tinggi, hingga mendorong diversifikasi energi nasional.
Di tengah segala ketidakpastian dan potensi krisis ekonomi yang membayangi akibat konflik Iran–Israel, masyarakat dunia—termasuk Indonesia—berharap agar ketegangan ini tidak berlarut.
Perang tidak pernah membawa kesejahteraan jangka panjang, hanya meninggalkan luka, ketakutan, dan beban ekonomi yang terus menjalar.
Semoga para pemimpin dunia dapat menahan ego politik dan memilih jalan diplomasi demi mencegah kehancuran yang lebih luas.
Damai bukan hanya kebutuhan moral, tetapi juga fondasi utama bagi stabilitas harga, investasi, lapangan kerja, dan masa depan ekonomi masyarakat global.
Indonesia, sebagai bagian dari komunitas dunia yang saling terhubung, tentu mendambakan satu hal: agar konflik ini segera mereda sebelum dampaknya benar-benar melumpuhkan harapan rakyat kecil yang selama ini sudah cukup diuji oleh gejolak zaman.
Tag: #bersiap #menghadapi #efek #contagion #perang #israel #iran