Raja Ampat: Surga yang Dicemari Negara
Direksi PT Gag Nikel, Aji Priyo Anggoro mengambil gambar di lokasi terbuka penambangan yang sementara berhenti beroperasi di Pulau Gag Distrik Waigeo Barat Kepulauan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Minggu (8/6/2025). PT Gag Nikel memastikan bahwa operasional pertambangan dijalankan sesuai prinsip pertambangan berkelanjutan dan kaidah lingkungan hidup yang berlaku dengan melakukan upaya reklamasi pasca penambangan serta pengolahan limbah yang telah melalui uji baku mutu sehingga tidak m
09:48
9 Juni 2025

Raja Ampat: Surga yang Dicemari Negara

DI SUATU pagi yang tenang di perairan Misool, gugusan karang tersaput sinar matahari, menampakkan surga tropis yang selama ini menjadi kartu pos pariwisata Indonesia.

Namun di balik panorama yang memesona itu, gema alat berat dan peta konsesi tambang mulai menggeliat.

Di salah satu ujung paling Timur Indonesia itu, perusahaan milik negara, anak usaha PT Aneka Tambang (Antam), menggelar investasi tambang nikel yang pelan-pelan menggoyahkan sendi kawasan konservasi Raja Ampat.

Publikasi resmi dari Kementerian ESDM menyebutnya sebagai bagian dari upaya hilirisasi, integrasi nikel, dan peningkatan nilai tambah nasional.

Namun, Greenpeace menyebutnya dengan istilah yang lebih telanjang: perampasan ruang hidup ekologis.

Dalam laporan tahun 2024, organisasi lingkungan internasional ini mencatat bahwa konsesi tambang nikel yang diajukan oleh anak usaha Antam mencaplok lebih dari 13.000 hektare kawasan yang bersinggungan langsung dengan hutan mangrove, terumbu karang, dan kawasan endemik laut yang berperan besar sebagai carbon sink—penyerap karbon alami yang vital dalam menahan laju pemanasan global.

Dalam konteks ekonomi hijau, gugus pulau Raja Ampat bukan sekadar bentangan keindahan; ia adalah mesin ekologis yang bekerja diam-diam, namun menentukan.

Menurut kajian LIPI dan Pusat Riset Kelautan 2023, setiap hektare terumbu karang aktif di Raja Ampat mampu menyerap hingga 4,5 ton karbon dioksida per tahun.

Jika dikalikan dengan luas ekosistem yang berpotensi terganggu akibat rencana tambang, berarti kita berbicara tentang hilangnya kapasitas serapan karbon setara dengan 58.500 ton CO2 per tahun.

Valuasi konservatif dari kerugian ini—menggunakan standar harga karbon internasional sekitar 40 dollar AS per ton—berarti Indonesia berpotensi kehilangan valuasi lingkungan senilai lebih dari 2,3 juta dollar AS per tahun.

Namun, angka hanya sebagian dari cerita. Pemerintah daerah Raja Ampat—melalui Perda No. 13 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah—telah menetapkan bahwa sebagian besar wilayah darat dan laut Raja Ampat masuk kategori zona konservasi dan ekowisata terbatas.

Masuknya konsesi tambang ini tak hanya berseberangan dengan tata ruang, tapi juga dengan logika ekologi.

Persoalan ini kemudian menimbulkan pertanyaan klasik, tapi genting: bagaimana izin bisa diterbitkan?

Sorotan pun mengarah kepada Menteri Investasi dan Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia. Dalam beberapa kesempatan, Bahlil menegaskan bahwa pemerintah mendorong investasi strategis nasional, termasuk di sektor tambang, sepanjang menguntungkan daerah.

Namun di balik kata-kata normatif itu, sejumlah penggiat lingkungan mencium aroma pengabaian terhadap prinsip kehati-hatian ekologis.

 

Dalam investigasi Greenpeace, muncul nama-nama konsultan lingkungan yang sebelumnya juga terlibat dalam proyek reklamasi Jakarta—sebuah indikasi tentang berulangnya pola: menormalisasi kerusakan sebagai pertumbuhan.

Tak bisa dipungkiri, Antam adalah wajah dari BUMN yang berorientasi pada profitabilitas sekaligus legitimasi nasional. Namun dalam kasus ini, entitas negara itu justru tampil sebagai pelaku yang membiaskan fungsi konservasi menjadi ajang eksploitasi berselimut jargon hijau.

Yang lebih tragis, pendekatan ekonomi hijau tak tampak dalam dokumen AMDAL yang beredar terbatas di kalangan LSM.

Tidak ada skema kompensasi karbon, tidak ada peta detail jalur transmigrasi biota laut yang terdampak, dan tidak ada mekanisme partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.

Masyarakat lokal, seperti yang dikemukakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Misool (AMAM), mengaku tak pernah dilibatkan secara utuh.

Dalam forum dengar pendapat yang berlangsung di Sorong akhir 2024, beberapa kepala kampung menyatakan bahwa konsultasi berlangsung sepihak dan hanya menghadirkan perwakilan pemerintah distrik yang telah “didekati” oleh investor.

“Kami tidak anti pembangunan,” ujar Marthen Kalami, tokoh adat dari Kampung Fafanlap.

“Tapi ini bukan pembangunan. Ini perampasan atas tanah dan laut yang kami rawat ratusan tahun,” tegasnya.

Dicemari negara

Raja Ampat.Dok. Kemenpar Raja Ampat.Proyek tambang di Raja Ampat mencerminkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar tumpang tindih izin. Ia adalah potret bagaimana narasi ekonomi hijau kerap dijadikan fig leaf, daun ara penutup malu dari agenda lama: ekstraksi atas nama kemajuan.

Dalam konstelasi kebijakan saat ini, BUMN seperti Antam tampak lebih tunduk pada dorongan pertumbuhan makro ekonomi ketimbang prinsip pembangunan berkelanjutan.

Yang belum terjawab hingga kini adalah siapa dalang sesungguhnya di balik kelonggaran ini?

Di balik nama-nama pejabat kementerian, terselip pula peran “broker” politik lokal dan nasional—beberapa di antaranya adalah mantan tim sukses pemilu yang kini menjabat di badan pengelola investasi daerah.

 

Hubungan itu belum cukup bukti untuk penegakan hukum, tapi cukup untuk menimbulkan kecurigaan publik.

Jika Raja Ampat adalah cermin masa depan tata kelola ruang dan ekologi Indonesia, maka apa yang terjadi hari ini bisa jadi pramuka untuk tragedi yang lebih besar. Kerusakan bukan lagi akibat ketidaktahuan, melainkan hasil kalkulasi.

Dalam dunia yang dihantui krisis iklim, nilai sejati dari suatu wilayah bukan hanya yang bisa ditambang, tapi yang bisa diselamatkan.

Raja Ampat telah menyelamatkan kita selama ini dengan karbon yang ia simpan diam-diam. Kini saatnya kita bertanya: siapa yang akan menyelamatkan Raja Ampat?

Tag:  #raja #ampat #surga #yang #dicemari #negara

KOMENTAR