



Dari Swasembada Beras Menuju Swasembada Baja
INDONESIA telah mencatatkan tonggak sejarah baru dengan keberhasilan mencapai swasembada beras di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Produksi beras nasional berhasil menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah, sementara cadangan pemerintah juga tercatat sebagai yang tertinggi sepanjang masa.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahkan menyampaikan bahwa Indonesia kini siap menjadi negara pengekspor beras, menandakan babak baru dalam ketahanan pangan nasional.
Keberhasilan ini tidak hanya mencerminkan kemampuan Indonesia dalam mencapai kemandirian pangan, tetapi juga menjadi bukti bahwa strategi pembangunan berbasis kolaborasi lintas sektor, insentif kebijakan, dan keberpihakan pada produksi dalam negeri dapat mendongkrak produktivitas nasional.
Kesuksesan sektor pangan dalam mencapai swasembada beras menjadi inspirasi penting bagi Indonesia untuk membangun kemandirian di sektor-sektor strategis lainnya. Salah satu sektor yang memiliki peranan vital dalam pembangunan nasional adalah industri baja.
Baja memegang peranan penting dalam pembangunan infrastruktur, termasuk jembatan, jalan tol, gedung-gedung, perumahan rakyat, serta mendukung industri otomotif dan industri pertahanan.
Ketergantungan terhadap impor baja tidak hanya melemahkan daya saing industri dalam negeri, tetapi juga meningkatkan kerentanan terhadap gejolak harga global, hambatan perdagangan, dan ketidakpastian pasokan.
Sama halnya dengan beras yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, baja adalah kebutuhan pokok bagi industri dan pembangunan nasional, karena baja merupakan the mother of all industries.
Oleh karena itu, swasembada baja menjadi sama pentingnya dengan swasembada pangan untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional dan mendukung terwujudnya visi Indonesia Emas 2045.
Pengalaman di sektor pangan ini memberikan inspirasi dan refleksi untuk menerapkan sejumlah kebijakan serupa dalam memperkuat industri baja nasional.
Pertama, dukungan harga pupuk dan benih. Di sektor pertanian, pemerintah memberikan dukungan harga pupuk dan benih agar biaya produksi petani tetap rendah.
Hal serupa telah diterapkan di industri baja melalui kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang membantu menekan biaya produksi industri baja domestik.
Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan ini masih menghadapi tantangan di lapangan sehingga manfaat HGBT bagi seluruh pelaku industri baja nasional masih dapat ditingkatkan.
Selanjutnya, kebijakan HGBT dapat diperluas agar mencakup keseluruhan industri baja nasional.
Pemerintah juga dapat meningkatkan alokasi volume gas bumi agar dapat mendukung peningkatan daya saing industri baja lebih lanjut di seluruh rantai pasok.
Selain HGBT, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kebijakan harga listrik yang lebih kompetitif bagi industri baja nasional.
Kebijakan harga listrik yang mendukung daya saing industri baja dapat dilakukan dengan skema tarif khusus untuk penggunaan listrik di luar jam puncak (off-peak).
Selain menguntungkan industri baja karena biaya produksi akan lebih rendah, kebijakan ini juga akan menguntungkan pemerintah karena pemanfaatan listrik menjadi lebih optimal dan pembangkit listrik dapat beroperasi lebih efisien.
Dengan demikian, kebijakan dukungan harga gas bumi dan listrik yang kompetitif akan menjadi fondasi penting bagi industri baja nasional agar mampu bersaing di pasar global dan mendukung pembangunan nasional.
Kedua, kebijakan harga gabah/beras. Pemerintah di sektor pertanian menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk menjaga harga gabah/beras di tingkat petani agar tidak jatuh di bawah biaya produksi.
Kebijakan ini memberikan kepastian pendapatan bagi petani dan menjaga stabilitas pasar domestik.
Di industri baja, kebijakan serupa belum ada, padahal sangat penting mengingat banyaknya impor baja murah yang masuk melalui praktik perdagangan curang.
Penetapan harga minimum (floor price) merupakan bentuk perlindungan bagi produsen baja domestik, sebagaimana HPP melindungi petani.
Penetapan harga minimum ini bukanlah kebijakan yang asing secara global. Di Uni Eropa, kebijakan harga minimum diterapkan secara efektif untuk produk baja grain-oriented electrical steel, yang mewajibkan agar produk baja impor tidak dijual di bawah harga minimum tertentu.
Jika harga jual impor lebih rendah dari harga minimum tersebut, maka Uni Eropa menerapkan bea anti-dumping agar harga produk kembali ke level wajar.
India juga pernah menerapkan kebijakan Minimum Import Price (MIP) untuk baja tertentu sebagai instrumen proteksi industri baja nasional dari banjir impor murah.
Brasil menerapkan sistem kuota dan tarif progresif untuk mengendalikan impor baja, yang pada dasarnya berfungsi sebagai pengaman harga domestik.
Sementara Amerika Serikat menggunakan tarif tinggi dan trade remedies yang ketat untuk menjaga produk baja impor agar tidak dijual dengan harga rendah yang merugikan produsen domestik.
Ketiga, pengendalian impor oleh Bulog. Dalam sektor pertanian, pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan impor beras melalui penunjukan Bulog sebagai satu-satunya off-taker resmi, sehingga pemerintah memiliki kendali penuh terhadap volume impor, distribusi, dan harga.
Dengan kebijakan ini, stabilitas harga di tingkat petani terjaga, keseimbangan antara produksi dalam negeri dan kebutuhan pasar dapat diatur, serta pendapatan petani terlindungi.
Berbeda dengan beras, impor baja di Indonesia tidak dilakukan oleh satu lembaga tunggal. Saat ini, baja dapat diimpor oleh banyak pelaku usaha swasta.
Untuk mengendalikan impor baja agar tidak mengganggu pasar domestik, pemerintah menerapkan mekanisme Larangan dan/atau Pembatasan (Lartas) yang mewajibkan importir memperoleh Persetujuan Teknis (Pertek).
Namun demikian, mekanisme impor ini masih dapat ditingkatkan efektivitasnya agar lebih optimal dalam mendukung penguasaan pangsa pasar domestik oleh produsen baja nasional.
Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan adaptasi kebijakan distribusi yang lebih terpusat, mirip seperti Bulog di sektor pangan.
Kebijakan importir tunggal Bulog untuk beras sesungguhnya dapat diadopsi dalam industri baja melalui pembentukan Pusat Logistik Baja Nasional (PLBN) yang berfungsi sebagai pusat distribusi baja bagi proyek-proyek strategis nasional (PSN).
Selain sebagai pusat distribusi, PLBN juga dapat berperan sebagai cadangan strategis nasional untuk mengantisipasi gejolak harga global dan gangguan pasokan.
Dengan perannya tersebut, PLBN dapat membantu menjaga kestabilan harga baja domestik, memenuhi kebutuhan proyek strategis nasional secara efisien, serta membatasi impor.
Selain itu, PLBN dapat meningkatkan efisiensi pengadaan baja melalui koordinasi distribusi yang lebih baik, perencanaan pasokan yang terpusat, dan integrasi rantai pasok yang lebih baik.
Keempat, pembiayaan murah untuk modal kerja. Dalam sektor pertanian, pemerintah menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah sekitar 3 persen per tahun untuk membantu petani mengakses pembiayaan modal kerja yang terjangkau.
Skema ini diperlukan agar petani dapat menjaga biaya produksinya sehingga dapat menjual hasil panen secara menguntungkan.
Industri baja nasional juga membutuhkan dukungan pembiayaan yang kompetitif agar memiliki daya saing biaya yang lebih baik.
Saat ini, industri baja di Indonesia masih mengandalkan kredit komersial dengan tingkat bunga yang relatif tinggi.
Berdasarkan data Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dari lima bank besar nasional per awal Juni 2025, suku bunga kredit korporasi berkisar antara 7,8 persen hingga 8,76 persen per tahun .
Tingginya suku bunga ini berdampak pada beban biaya produksi dan daya saing industri baja nasional.
Sebagai perbandingan, pemerintah China menyediakan suku bunga pinjaman bagi industri strategis (termasuk baja) yang lebih rendah, yaitu sekitar 3,1persen per tahun, dibandingkan dengan suku bunga komersial di China yang rata-rata berkisar antara 4–6 persen per tahun (CEIC Data).
Kebijakan ini memungkinkan produsen baja di China mendapatkan daya saing biaya yang lebih baik sehingga dapat menjual produk baja dengan harga lebih kompetitif di pasar internasional.
Kelima, infrastruktur produksi dan logistik. Dalam sektor pertanian, pemerintah mendukung pembangunan infrastruktur penunjang seperti jaringan irigasi, jalan desa, dan akses distribusi untuk memudahkan transportasi hasil panen ke pasar.
Infrastruktur ini membantu menekan biaya distribusi, meningkatkan efisiensi produksi, dan menjaga stabilitas harga di tingkat petani.
Industri baja nasional juga memerlukan dukungan infrastruktur produksi dan logistik yang memadai agar dapat meningkatkan efisiensi distribusi produk dan menekan biaya produksi.
Saat ini, distribusi produk baja domestik masih menghadapi tantangan karena lokasi pabrik yang tersebar, sehingga menyulitkan dukungan logistik yang optimal.
Kondisi ini dapat menjadi tantangan bagi biaya logistik dan pada akhirnya berpengaruh terhadap daya saing produk baja nasional.
Pemerintah perlu mendorong pembangunan kawasan industri baja terintegrasi yang terhubung dengan pelabuhan laut dalam, rel kereta api, dan jalan tol agar distribusi bahan baku dan produk baja menjadi lebih efisien.
Infrastruktur logistik yang baik akan membantu menekan biaya distribusi dan mempercepat pengiriman bahan baku ke pabrik baja serta produk baja ke konsumen.
Dengan demikian, industri baja dapat meningkatkan keseluruhan efisiensi di rantai pasok, yang pada akhirnya memperkuat daya saingnya.
Keenam, sinergi lintas sektor. Keberhasilan swasembada beras di sektor pertanian tidak lepas dari kuatnya sinergi lintas sektor yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Bulog, BUMN pangan, swasta, asosiasi petani, dan lembaga riset.
Kolaborasi ini memungkinkan kebijakan subsidi input, kebijakan harga, infrastruktur distribusi, dan akses pembiayaan dapat berjalan efektif secara terintegrasi.
Industri baja nasional juga memerlukan sinergi lintas sektor yang kuat agar kebijakan swasembada baja dapat terimplementasi secara optimal.
Sinergi lintas sektor ini mencakup peran pemerintah pusat sebagai perumus kebijakan strategis; pemerintah daerah yang mendukung kawasan industri baja dan infrastruktur logistik; BUMN baja yang menjadi motor pembangunan industri baja nasional; swasta nasional dan asing yang terlibat dalam investasi dan produksi; asosiasi industri yang menjadi jembatan komunikasi antara industri dan pemerintah; serta lembaga riset yang mendukung pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Dalam konteks ini, Pusat Logistik Baja Nasional (PLBN) juga menjadi bagian penting dari sinergi lintas sektor, sebagaimana peran Bulog untuk beras.
PLBN berfungsi sebagai pusat distribusi strategis bagi proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan dapat membantu mengoptimalkan rantai pasok baja domestik melalui perencanaan yang lebih terkoordinasi.
Dengan keterlibatan PLBN, distribusi baja nasional akan semakin terintegrasi dengan industri hilir dan proyek-proyek pemerintah, sehingga mendukung peningkatan penggunaan produk baja dalam negeri.
Ketujuh, penelitian dan pengembangan (R&D). Dalam sektor pertanian, pemerintah mendorong penelitian varietas unggul, mekanisasi, dan teknologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing petani melalui berbagai pusat penelitian dan pengembangan.
Pemerintah telah memiliki Balai Penelitian Tanaman Pangan (Balitbangtan), Balai Penelitian Tanaman Perkebunan, dan Balai Penelitian Padi yang berfungsi sebagai pusat R&D di sektor pertanian.
Lembaga-lembaga ini memainkan peran penting dalam pengembangan varietas unggul, teknologi budidaya, serta peningkatan produktivitas tanaman pangan dan perkebunan.
Dalam konteks industri baja, Indonesia memiliki lembaga riset seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM), serta Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Logam dan Mesin (BBSPJILM) yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan secara luas.
Hingga saat ini, pusat riset nasional yang secara khusus menangani pengembangan teknologi dan inovasi di bidang baja masih perlu terus dibangun dan diperkuat.
Hal yang berbeda kita temui di China, yang memiliki berbagai pusat R&D khusus baja seperti China Iron & Steel Research Institute Group (CISRI), Collaborative Innovation Center of Steel Technology (CICST), International Welding Technology Center (IWTC), Research Institute of Technology milik Shougang Group, dan China Metallurgical Industry Planning and Research Institute (MPI).
Keberadaan pusat-pusat riset baja ini menunjukkan komitmen pemerintah Tiongkok dalam mendukung industri baja mereka agar tetap kompetitif di pasar global.
Keberhasilan sektor pertanian telah menjadi bukti bahwa kebijakan yang tepat, dukungan harga sarana produksi, kebijakan harga, perlindungan pasar, pembangunan infrastruktur, pembiayaan murah, sinergi lintas sektor, serta penguatan penelitian dan pengembangan (R&D) dapat menjadi landasan dalam menciptakan swasembada beras.
Kebijakan di sektor pertanian ini dapat menjadi contoh yang sangat relevan untuk diterapkan di sektor baja agar mampu menciptakan kemandirian industri baja nasional.
Dengan keberpihakan kebijakan yang konsisten dan sinergi lintas sektor yang kuat, Indonesia dapat mewujudkan swasembada baja nasional yang berdaya saing, mendukung pembangunan ekonomi, dan memperkuat ketahanan industri strategis untuk menyongsong visi Indonesia Emas 2045.
Baja adalah bahan pokok bagi keberlangsungan hidup industri nasional, sebagaimana beras bagi masyarakat.