



Cukai Minuman Berpemanis, Apa Dampaknya?
– Pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sebesar Rp 3,8 triliun pada tahun 2025.
Meski angka ini tergolong kecil dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan secara keseluruhan di tahun 2025, kebijakan ini tetap menjadi sorotan karena dampaknya yang luas terhadap industri dan menambah beban ekonomi masyarakat.
Menurut pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, tujuan utama pengenaan cukai minuman berpemanis adalah untuk pengendalian konsumsi, sebagaimana tertulis dalam nota keuangan APBN 2025. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa aspek penerimaan negara juga menjadi pertimbangan.
Ilustrasi minuman berpemanis, minuman manis. Minuman pantangan untuk penderita asam urat tinggi.
Terlebih, kata Fajry, penerimaan cukai dari industri hasil tembakau terus menurun, sehingga pemerintah mencari sumber pendapatan baru yang lebih berkelanjutan.
"Kalau merujuk pada nota keuangan APBN 2025, pemerintah mengenakan cukai MBDK untuk pengendalian. Tetapi, tidak bisa kita pungkiri juga kalau ada aspek budgetair atau penerimaan," ujar Fajry dalam keterangannya, Kamis (20/2/2025).
Fajry juga menekankan pentingnya masa transisi dalam penerapan kebijakan ini. Menurutnya, perlu ada grace period, di mana tarif cukai masih nol persen agar produsen memiliki waktu untuk mengembangkan produk dengan kadar gula lebih rendah.
Selain itu, penerapan tarif awal sebaiknya tidak terlalu tinggi agar dampaknya terhadap industri dapat terpantau dengan baik. Ia juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan kondisi ekonomi tahun 2025, termasuk daya beli masyarakat.
"Dan di awal implementasi pemerintah perlu hati-hati. Tarifnya jangan tinggi. Kita lihat dampak pengenaan tarif terhadap industri maupun efektivitasnya dalam pengendalian," kata dia.
Penampampakan minuman berpemanis di Superindo yang ditempelkan indikator gula
Menurutnya, jika kebijakan ini diterapkan secara tergesa-gesa, dikhawatirkan akan berdampak negatif pada daya beli dan menambah beban ekonomi masyarakat, terutama di tengah tingginya risiko politik di awal pemerintahan.
"Kita dapat lihat dari banyak kebijakan yang ditarik kembali. Dari kenaikan tarif PPN, gas 3 Kg, sampai efisiensi anggaran. Niatnya baik tapi malah backfire ke pemerintah. Jadi perlu hati-hati. Waktunya perlu tepat, caranya juga perlu tepat," kata dia.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menyoroti polemik cukai minuman berpemanis dalam konteks pemulihan daya beli.
Menurutnya, kebijakan ini memang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi gula demi kesehatan masyarakat, namun harus diterapkan secara bertahap agar tidak mengganggu industri makanan dan minuman.
"Itu memang masih jadi polemik ya. Memang terutama di industri minuman punya implikasi kepada harga makanan dan minuman, sehingga harusnya juga mempertimbangkan kemampuan, masih bisa dibeli lah," kata dia.
Eko juga menekankan bahwa kebijakan cukai seharusnya tidak semata-mata untuk menambah penerimaan negara, melainkan lebih berfokus pada pengendalian konsumsi yang berlebihan. Jika gula terbukti berkontribusi terhadap masalah kesehatan seperti diabetes dan obesitas, maka perlu adanya regulasi.
"Namanya cukai itu kan tujuan utamanya untuk pembatasan, bukan penerimaan. Jadi kalau arahnya penerimaan negara, ya itu kurang tepat," kata Eko.
Jika tarif cukai terlalu tinggi sejak awal, dikhawatirkan juga akan mendorong munculnya pasar gelap dan produk ilegal, sebagaimana yang terjadi pada industri hasil tembakau.
"Selama ini itu memang kelemahan kebijakan cukai kita itu hanya menyasar pada produk-produk yang sedikit, padahal ketidaksehatan dari produk itu tidak hanya itu," katanya.
Dalam praktiknya, penerapan cukai MBDK akan berdampak pada harga produk di pasaran. Oleh karena itu, studi mengenai daya beli masyarakat dan elastisitas harga perlu dilakukan agar kebijakan ini tidak menimbulkan resistensi yang berlebihan.
Konsumen yang merasa harga minuman berpemanis meningkat tajam bisa saja mengurangi konsumsi mereka, yang pada akhirnya dapat berdampak pada sektor industri.
"Jadi penerapannya harus bertahap, jangan kemudian sampai mematikan industri. Apalagi industri makanan dan minuman merupakan salah satu yang juga penting di kita. Bahwa akan ada kenaikan harga itu tidak bisa dihindari," kata Eko.
Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat juga menjadi elemen penting dalam keberhasilan kebijakan ini. Banyak konsumen yang mungkin belum sepenuhnya memahami bahaya konsumsi gula berlebihan, sehingga edukasi kesehatan menjadi langkah yang tidak kalah penting dibandingkan dengan penerapan cukai itu sendiri.
Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan masyarakat dapat lebih sadar dalam mengontrol konsumsi gula tanpa harus bergantung sepenuhnya pada regulasi pemerintah.
"Yang harus diperhatikan industrinya jangan sampai jatuh. Caranya gimana? Ya harus selektif. Dan harus ada sosialisasi juga terkait konsumsi gula supaya tidak berlebihan. Karena jangan-jangan masyarakat konsumsi gula banyak karena nggak tahu bahaya-nya gula kalau berlebihan," kata Eko.