Komunitas Kretek Lebih Setuju Aturan Beli Rokok Tunjukkan KTP Ketimbang Plain Packaging
Plain packaging atau kemasan polos pada produk tembakau. (Tobacco Asia)
00:09
11 Februari 2025

Komunitas Kretek Lebih Setuju Aturan Beli Rokok Tunjukkan KTP Ketimbang Plain Packaging

– Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diminta menimbang kembali penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Salah satu kebijakan yang menuai sorotan adalah penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Juru bicara Komunitas Kretek, Khoirul Atfifudin, menyatakan bahwa penyusunan kebijakan itu dinilai berpotensi merugikan konsumen secara luas. Konsumen seharusnya mendapatkan informasi dengan jelas dan detail seputar produk yang dibeli dan dikonsumsi sesuai hak yang sudah dilindungi oleh Undang-Undang (UU) yang berlaku.

Rancangan Permenkes akan menyeragamkan seluruh kemasan rokok yang dijual di pasar untuk menggunakan identitas kemasan yang sama. Dengan penyusunan kebijakan ini, konsumen terhalang mendapatkan hak atas informasi yang sudah diatur pada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

"Konsumen nantinya tidak bisa mengajukan keberatan kalau tidak jelas merek dan perusahaannya, dan mereka jadi tidak terlindungi karena memang membingungkan," katanya, Senin (10/2).

Berbagai pihak terus memberikan penolakan terhadap aturan ini, termasuk dari dalam pemerintahan sendiri. Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian juga telah menyampaikan keberatan atas penyusunan kebijakan terbaru dari Kemenkes.

Khoirul mengatakan bahwa kondisi tersebut menunjukkan bahwa rencana aturan ini memiliki dampak buruk yang bisa mempengaruhi banyak sektor. Selain itu, Khoirul juga melihat bahwa penyusunan Rancangan Permenkes tidak menjadi solusi untuk menurunkan prevalensi merokok. Justru malah membuka keran untuk peredaran rokok ilegal semakin besar dan luas.

"Kalau semua rokok sama, ini akan membuat rokok ilegal semakin gampang ditiru dan peredarannya semakin marak. Ada kerugian negara dari kebijakan ini karena permintaan rokok legal akan turun," kata Khoirul.

Saat ini saja, menurut Khoirul, sudah muncul perilaku konsumen memilih produk dengan harga lebih murah. Jika diberlakukan, Rancangan Permenkes malah semakin mendorong perubahan konsumen mengonsumsi rokok ilegal, bukan mengurangi jumlah perokok yang sebelumnya diharapkan oleh Kemenkes.

Khoirul menilai Kemenkes malah membuat kebijakan yang mengerikan terhadap produk berstatus legal yang diperjualbelikan. Ketimbang mengeluarkan kebijakan kontroversial yang menuai banyak polemik di masyarakat, Khoirul menyarankan agar pemerintah lebih fokus terhadap pengawasan aturan yang sudah dibuat.

Ia mencontohkan kebijakan batas usia minimum untuk membeli rokok adalah 21 tahun sesuai PP 28/2024. Dan aturan ini seharusnya diterapkan dengan pengawasan yang tepat seperti pemberlakuan pembelian rokok menggunakan KTP.

"Kami kaji pemerintah terlalu sering menekan industri tembakau. Kalau terus ditekan, ini pemerintah menjadi terlalu kejam padahal, industri tembakau sudah banyak sumbangannya," katanya.

Seperti diketahui, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) mengalami koreksi sejak beberapa tahun belakangan. Misalnya pada 2023, di mana pemerintah mengantongi Rp 210,29 triliun dari CHT.

Angka ini turun 3,81 persen secara tahunan (year-on-year) dari Rp 218,6 triliun pada tahun sebelumnya. Ini adalah penurunan yang pertama dalam satu dekade terakhir.

Sedangkan dalam Undang-undang APBN 2025, target CHT pada tahun ini mencapai Rp 230 triliun. Di samping itu, industri juga telah memberikan kontribusi pada penyerapan tenaga kerja di Indonesia, sebagai negara produsen rokok.

 

"Kalau Prabowo bilang mau jaga kedaulatan, ya kretek juga harus dijaga. Bukan malah ingin menghancurkannya," tutupnya.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #komunitas #kretek #lebih #setuju #aturan #beli #rokok #tunjukkan #ketimbang #plain #packaging

KOMENTAR