Pekerja Migran Bisa Sumbang 1 Persen Pertumbuhan Ekonomi
Ilustrasi pekerja migran Indonesia (PMI). (SHUTTERSTOCK/HAFIZ JOHARI)
07:12
7 Februari 2025

Pekerja Migran Bisa Sumbang 1 Persen Pertumbuhan Ekonomi

DI BERBAGAI perbincangan publik, pekerja migran Indonesia sering kali dipandang sebelah mata. Ada anggapan bahwa bekerja di luar negeri, terutama di sektor-sektor yang dianggap rendah, mencerminkan kegagalan negara dalam menyejahterakan rakyatnya.

"Indonesia ini negeri kaya, penuh sumber daya alam. Seharusnya bisa menyejahterakan rakyatnya tanpa harus mengirim anak-anak bangsa ke luar negeri," begitu jargon yang kerap digaungkan dengan penuh kebanggaan.

Sejak kecil, banyak warga Indonesia tumbuh dengan keyakinan bahwa Tanah Air mereka adalah negeri yang makmur—gemah ripah loh jinawi—dengan kekayaan alam melimpah yang seolah cukup untuk semua.

Keyakinan ini melahirkan semacam nasionalisme semu, kebanggaan berlebihan tanpa didukung pemahaman kritis terhadap kondisi nyata.

Ironisnya, semangat nasionalisme ini justru menjadi bumerang, karena menutup mata dari kenyataan bahwa kemajuan bangsa tidak hanya diukur dari seberapa banyak warganya tinggal di dalam negeri, tetapi juga dari seberapa besar kontribusi mereka di panggung global.

Sudah lebih dari 79 tahun Indonesia merdeka, tetapi pertumbuhan ekonomi nasional masih stagnan di angka 5 persen per tahun.

Indonesia masih berada dalam kategori negara berpendapatan menengah ke bawah, terjebak dalam fenomena middle-income trap—kondisi di mana pertumbuhan ekonomi sulit menembus batas menuju negara berpenghasilan tinggi.

Jika terus berpegang pada kebanggaan kosong tanpa melihat kenyataan, kapan Indonesia akan benar-benar melesat?

Presiden Prabowo Subianto menargetkan zero poverty pada 2045 serta pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dalam lima tahun mendatang. Target ini menjadi acuan utama dalam kebijakan ekonomi nasional yang membutuhkan strategi matang, terukur, dan inklusif.

Di tengah tantangan ini, ada satu kekuatan besar yang kerap terlupakan, yaitu peluang kerja global atau sering disebut pekerja migran.

Mereka bekerja di berbagai penjuru dunia—di ladang, pabrik, rumah tangga, kapal, bahkan perusahaan multinasional. Mereka mengirimkan remitansi—hasil kerja keras yang setiap tahunnya mencapai miliaran dollar AS.

Namun, mereka sering kali hanya disebut sebagai “pahlawan devisa” tanpa diiringi kebijakan yang benar-benar memberdayakan mereka.

Padahal, jika belajar dari negara lain seperti Korea Selatan pada 1980-an, peran pekerja migran menjadi salah satu fondasi kemajuan ekonomi mereka.

Filipina adalah contoh nyata bagaimana negara mampu mengelola potensi pekerja migran secara strategis. Remitansi dari pekerja migran Filipina menyumbang lebih dari 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Uang itu bukan hanya menghidupi keluarga di kampung halaman, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi nasional—membiayai pendidikan, mendukung bisnis kecil, hingga menopang stabilitas ekonomi negara.

Saat ini, lebih dari 4,5 juta pekerja global Indonesia tersebar di berbagai negara, dengan remitansi yang mencapai lebih dari 10,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 160 triliun) per tahun.

Angka ini setara dengan kontribusi sekitar 1 persen terhadap PDB Indonesia. Sayangnya, potensi ini belum dikelola secara optimal.

Dengan besarnya jumlah pekerja migran, Indonesia seharusnya bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang jauh lebih signifikan.

Berbagai studi menunjukkan bahwa remitansi memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, meskipun ada penelitian yang menunjukkan hasil beragam.

Perbedaan ini bukan karena remitansi tidak bermanfaat, melainkan karena pengelolaan dan pemanfaatannya di Indonesia belum maksimal. Jika dikelola dengan baik, maka pekerja global Indonesia bisa menambah minimal 1 persen pertumbuhan ekonomi nasional.

Saat ini, remitansi yang dikirimkan oleh pekerja migran Indonesia setiap tahun, mencapai lebih dari 10,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 160 triliun), berkontribusi sekitar 1 persen terhadap PDB Indonesia.

Namun, dengan pengelolaan yang lebih efektif, kontribusi ini dapat meningkat menjadi 2-3 persen. Bahkan, dengan pemanfaatan yang lebih baik, multiplier effect dari remitansi dapat memperbesar kontribusinya hingga mencapai 3-5 persen PDB Indonesia.

Mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih signifikan dari sektor tenaga kerja migran Indonesia sebesar 1 persen bukanlah hal mustahil.

Kunci utama ekonomi Indonesia bisa tumbuh adalah dengan cara membentuk masyarakat produktif. Sekitar 96 persen penduduk Indonesia bergantung sebagai pekerja, sementara ketersediaan lapangan pekerjaan masih minim.

Solusi efektif mengatasi minimnya lapangan pekerjaan di dalam negeri adalah merebut peluang kerja di pasar kerja global.

Berdasarkan konsultan Kom Ferry dan Randstad, dunia mengalami krisis tenaga kerja, sekitar 85 juta tenaga kerja dibutuhkan di berbagai negara yang sampai sekarang belum terpenuhi.

Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Eropa lainnya menawarkan peluang kerja sangat besar kepada SDM Indonesia.

Meskipun SDM Indonesia sekitar 60 persen hanya berpendidikan SMP dan SD ke bawah, mereka sangat dibutuhkan oleh dunia, terutama di sektor manufaktur, konstruksi, pertanian, pekerja rumah tangga, dan perawatan lansia—pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan tinggi, tetapi hanya mensyaratkan keterampilan umum, kedisiplinan, dan ketahanan kerja.

Indonesia memiliki sumber daya manusia melimpah, sementara dunia butuh tenaga kerja. Dua pertemuan ini sangat terbuka untuk Indonesia menuju ekonomi maju. Masyarakat produktif dengan penghasilan yang layak dan zero unemployment bisa terwujud.

Pemerintah seharusnya hadir memfasilitasi para pencari kerja untuk mengakses pasar kerja global. Pemerintah juga memfasilitasi pekerja migran Indonesia agar tidak terjebak menjadi pekerja migran ilegal.

Selain itu, pengelolaan remitansi juga harus diarahkan untuk tujuan yang lebih produktif. Saat ini, sebagian besar remitansi digunakan untuk konsumsi rumah tangga.

Jika dana ini lebih difokuskan untuk investasi produktif di sektor UMKM, pengembangan infrastruktur lokal, serta pendidikan dan pelatihan SDM, efek berlipat yang positif bisa tercipta. Hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di daerah asal pekerja migran.

Dengan mengoptimalisasi pasar kerja global di berbagai sektor dan memperbaiki sistem pengelolaan remitansi, maka kontribusi mereka terhadap perekonomian nasional akan melonjak drastis.

Peningkatan 1 persen pertumbuhan ekonomi mungkin terdengar kecil di atas kertas. Namun, dalam skala ekonomi negara, angka itu berarti ratusan triliun rupiah tambahan untuk perekonomian nasional.

Namun, kontribusi pekerja global tidak hanya tentang remitansi atau angka pertumbuhan ekonomi. Mereka membawa lebih dari itu.

Setiap pekerja global yang kembali ke Indonesia membawa pengalaman internasional, jaringan global, serta wawasan tentang etos kerja dan budaya ekonomi yang lebih maju.

Inilah modal sosial tak ternilai, yang bisa menjadi sumber inspirasi untuk inovasi, kewirausahaan, dan perubahan sosial di tingkat lokal.

Semua itu hanya akan menjadi potensi yang terpendam jika cara pandang terhadap pekerja global tidak diubah.

Indonesia harus beralih dari melihat pekerja global sebagai jalan praktis menjadi strategi ekonomi yang efektif.

Pekerja migran bukan lagi dipandang sebagai korban keadaan, tetapi sebagai agen perubahan global.

Jika dikelola dengan bijak, maka pekerja global Indonesia bukan hanya bisa menambah 1 persen pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi fondasi kuat dalam mewujudkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi dunia.

Bukan sekadar mimpi, ini adalah peluang nyata.

Tag:  #pekerja #migran #bisa #sumbang #persen #pertumbuhan #ekonomi

KOMENTAR