VIDEO Kisah Perjuangan Dua Pengrajin Terakhir Caping Kalo: Bertahan demi Warisan Budaya Kudus
19:20
10 Februari 2025

VIDEO Kisah Perjuangan Dua Pengrajin Terakhir Caping Kalo: Bertahan demi Warisan Budaya Kudus

 Caping Kalo merupakan penutup kepala perempuan khas Kudus, Jawa Tengah.

Berbeda dengan caping pada umumnya yang berbentuk kerucut, Caping Kalo memiliki bentuk bulat datar yang unik.

Pada masa lalu, Caping Kalo sering digunakan oleh perempuan Kudus saat pergi ke sawah, ke pasar, hingga menghadiri hajatan.

Namun, seiring perkembangan zaman, penggunaan Caping Kalo mulai berkurang dan tergeser oleh penutup kepala yang lebih praktis.

Selain itu, proses pembuatannya yang rumit juga menjadi faktor semakin langkanya Caping Kalo.

Saat ini, hanya tersisa dua pengrajin yang masih bertahan di Desa Gulang, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, yakni Kamto dan Rudipah.

ILUSTRASI CAPING KALO ILUSTRASI CAPING KALO - Pentas budaya Caping Kalo lewat seni tari Cahya Nojorono dari Kudus yang dibawa ke Pentas Duta Seni 2024 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Sabtu - Minggu (11-12/5/2024).

Lantas, apa yang membuat Caping Kalo tetap bertahan hingga kini? Bagaimana keberadaannya di era modern?

Warisan Budaya yang Terus Diperjuangkan

Kamto mengisahkan keterampilannya dalam membuat Caping Kalo diwariskan dari orang tuanya.

Meskipun proses pembuatannya tidak mudah, ia bertekad terus melestarikan tradisi ini selama masih mampu.

"Saya tahu persis sistem pengerjaan caping ini memang sulit."

"Berhubung saya dikasih wasiat sama orangtua saya agar caping ini tidak punah," ucap Kamto pada Sabtu (9/11/2024) lalu, seperti diberitakan Tribun Jateng.

Pembuatan Caping Kalo membutuhkan waktu sekitar satu minggu, bahkan lebih, dan melalui beberapa tahap.

Tahap pertama adalah menganyam bagian atas caping menggunakan anyaman bambu yang telah dipotong tipis seperti benang.

Teknik ini tidak bisa dilakukan sembarang orang. Saat ini, hanya Rudipah yang masih menguasai keahlian tersebut.

Rudipah bersedia mengajarkan keterampilan ini kepada siapa saja yang ingin belajar membuat anyaman benang bambu ini.

"Siapa pun yang mau belajar, saya siap mengajari," ucap Rudipah.

Setelah bagian atas selesai dianyam, Kamto melanjutkan proses dengan membuat kerangka dan menyusun bagian-bagian lain.

Kerumitan dalam pembuatannya membuat harga Caping Kalo cukup tinggi, berkisar antara Rp 600 ribu hingga Rp 2 juta per satuannya.

ILUSTRASI CAPING KALO - Para peserta perlombaan the beauty of caping kalo di Pendopo Kudus memperagakan busananya. ILUSTRASI CAPING KALO - Para peserta perlombaan the beauty of caping kalo di Pendopo Kudus memperagakan busananya. (DOK Tribun Jateng/Rezanda Akbar)

Dari Sawah ke Panggung Fashion

Meski mulai ditinggalkan sebagai penutup kepala sehari-hari, Caping Kalo kini menemukan tempat baru di dunia fashion.

Caping ini kerap digunakan dalam peragaan busana di Kudus dan beberapa acara budaya lainnya.

Bahkan, sutradara asal Kudus, Asa Jatmiko, terinspirasi untuk menciptakan Tari Caping Kalo.

"Ternyata ada banyak cerita tentang Caping Kalo yang tidak bisa berkembang dan sulit diwariskan kepada generasi muda saat ini."

"Sehingga muncul keprihatinan, atau semacam kepengen membantu, apa yang bisa dikembangkan."

"Kami menggagas satu bentuk tarian, tentang proses pembuatan Caping Kalo," ucap Asa Jatmiko pada Senin (11/11/2024).

Tari Caping Kalo dibawakan oleh tujuh perempuan dan dua laki-laki. Dalam pertunjukan, para perempuan mengenakan baju adat lengkap dengan Caping Kalo

Tak hanya itu, Caping Kalo juga pernah dipesan oleh Ibu Negara dari Presiden Ketujuh RI, Iriana Jokowi, dan digunakan dalam upacara HUT RI beberapa tahun lalu.

Potensi ini mendorong Asa untuk mengajak masyarakat umum turut serta dalam melestarikan Caping Kalo.

"Ayo kita bergerak untuk mengangkat ini menjadi berdaya lagi. Industri yang bisa dijual secara ekonomi, tetapi juga kita sambil menguri-uri menyelamatkan ini," kata Asa.

Tantangan dan Peran Pemerintah dalam Melestarikan Caping Kalo

Edi Supratno, seorang dosen sekaligus penulis buku Caping Kalo, mengungkapkan keberadaan caping ini telah tercatat dalam dokumen Belanda sejak tahun 1900-an.

"Ada buku yang diterbitkan pada tahun 1880-an yang memuat gambar Caping Kalo. Hanya gambarnya saja. Jelas-jelas mengatakan itu dari Kudus," ungkapnya.

Menurutnya, meskipun sudah berupaya memperkenalkan Caping Kalo ke masyarakat, pemerintah masih belum ada dukungan teknologi yang bisa membantu dan mempercepat proses pembuatannya.

"Kalau saat ini terlibat iya terlibat, tetapi menurut saya belum menawarkan dari sisi teknologi."

"Dengan teknologi, akan mempermudah yang rumit-rumit dan alat itu bisa dimiliki banyak orang, maka akan melahirkan UMKM-UMKM pembuatan Caping Kalo di Mejobo," jelasnya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Kudus, Mutrikah, memastikan pemerintah terus berupaya melestarikan Caping Kalo melalui berbagai program dan festival budaya.

"Kami dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata selalu membuat program-program untuk memperkenalkan caping kalo di Masyarakat luas."

"Karena Caping Kalo ini sedikit banyak budaya kearifan lokal kami. Kalau di dinas melalui event-event, festival Caping Kalo," ujar Mutrikah.

Ia juga menambahkan pemerintah akan mempertimbangkan penggunaan teknologi untuk membantu produksi anyaman benang bambu, sehingga Caping Kalo tidak punah.

Sebagai generasi penerus, mampukah kita ikut menjaga warisan berharga ini?

Simak kisah selengkapnya hanya di Kanal YouTube Tribunnews berikut ini.

Editor: Srihandriatmo Malau

Tag:  #video #kisah #perjuangan #pengrajin #terakhir #caping #kalo #bertahan #demi #warisan #budaya #kudus

KOMENTAR