Cabutan Spektrum Bayangi Merger XL Smart
FINAL proses penyatuan (merger) antara XL Axiata dan Smartfren harusnya akan terjadi pada April 2025, dengan RUPS (rapat umum pemegang saham) perdana PT XL Smart Sejahtera (XL Smart).
Namun, hingga kini masyarakat masih dibingungkan pada sikap masing-masing pihak yang tampaknya seperti ada kebimbangan.
Kelompok Sinar Mas sebagai pemilik Smartfren pertama kali memunculkan susunan direksi lengkap XL Smart, belum termasuk susunan dewan komisaris di akhir tahun.
Sementara semua pejabat atau petinggi XL Axiata bungkam mengenai pengumuman itu, walau ada nama dirut dan direktur Ex-XL Axiata yang tampil di daftar tersebut.
Konfirmasi justru datang dari kalangan Smart Telecom, Antony Susilo yang membenarkan dirinya akan menjadi direktur keuangan dan CFO (chief financial officer) XL Smart.
Yang ada malah derasnya pengunduran diri di XL Axiata, didahului oleh Presdir dan CEO Dian Siswarini, kemudian direktur Abhijit Navalekar, disusul I Gede Darmayusa dan Rico Usthavia Frans.
Padahal kedua entitas sudah sepakat untuk bergabung dalam XL Smart yang nilainya 6,5 miliar dollar AS, sekarang sekitar Rp 104,6 triliun.
Untuk itu, Kelompok Sinar Mas harus membayar Kelompok Axiata sebesar 475 juta dollar AS atau Rp 7,6 triliun.
Dian memang tidak akan ikut dalam entitas baru XL Smart, juga Navalekar dan Rico, tetapi di sana ada nama I Gede Darmayusa dalam susunan dewan direksi yang disebarkan tadi.
Nama-nama tadi belum terkonfirmasi dari pihak Axiata sebagai pemilik XL Axiata, yang diharapkan akan keluar dari dedengkot Axiata, Vivek Sood.
Kelompok Axiata tampaknya lebih fokus pada nasib spektrum frekuensi gabungan mereka, apakah sebagian akan diambil pemerintah seperti kebiasaan selama ini pada setiap aksi merger atau akusisi.
Baik Dian Siswarini maupun Vivek, atau Presdir Smartfren Merza Fahys yakin pemerintah tidak akan mengulangi kebijakan itu dengan alasan, kini semua operator sudah memiliki frekuensi yang rata-rata sesuai jumlah pelanggan mereka.
Catatan menyebutkan, kini Telkomsel dengan 159,9 juta pelanggan menguasai pita spektrum frekuensi selebar 195 MHz, yang 50 MHz bekerja di frekuensi 2300 berteknologi TDD (time division duplex- frekuensi yang sama digunakan bergantian untuk unggah dan unduh).
Selebar 145 MHz lainnya di teknologi FDD (frequence divison duplex), menggunakan frekuensi berbeda untuk unggah dan unduh).
Indosat memiliki total 135 MHz di teknologi FDD, sementara XL Smart memiliki 152 MHz, di antaranya 40 MHz di TDD.
Setiap ada merger atau akuisisi, frekuensi yang dianggap banyak pada operator merger tetapi jumlah pelanggan sedikit, diambil untuk “menyeimbangkan” jumlah kepemilikan frekuensi berbanding jumlah pelanggan.
Frekuensi cabutan tadi lalu dilelang, dan biasanya selalu dimenangkan Telkomsel.
Dua petinggi tadi menganggap, kepemilikan spektrum frekuensi semua operator “sudah imbang” dan Telkomsel tidak pantas mendapat tambahan lagi.
Sementara saat ini Indosat dengan 135 MH punya 100,8 juta pelanggan, XL Axiata – Smartfren sebanyak 152 MHz, 40 MHz di antara ex-milik Smartfren di rentang 2300 MHz, jumlah pelanggan mereka 94,5 juta sudah pas, tak perlu ada yang diambil.
Namun bisa jadi Kementerian Komdigi melihat kepemilikan Indosat dan XL Smart belumlah imbang dengan beda jumlah pelanggan 5 jutaan lebih banyak Indosat tetapi frekuensinya kalah banyak dibanding XL Smart selebar 17 MHz.
Kalau spektrum frekuensi XL Smart diambil 10 MHz seperti biasanya dan dimenangkan Indosat, frekuensi operator milik Ooredoo dan Hutchison itu akan jadi 145 MHz, XL Smart jadi hanya 142 MHz.
Di sisi lain, pencabutan frekuensi itu membuat Komdigi harus melelangnya, bisa Indosat yang menang, bisa XL Smart, bahkan Telkomsel juga berpeluang.
Hasil lelang spektrum cabutan ini akan masuk ke kas negara sebagai PNBP (penerimaan negara bukan pajak), dan Komdigi, khususnya Direktorat Jenderal yang menangani spektrum, mendapat bagian.
Maka tidak heran jika ada penolakan dari Komdigi pada merger kali ini kalau tidak akan ada frekuensi cabutan, jumlah “komisi” tadi terbilang cukup besar untuk dibagikan sebagai bonus bagi karyawan hingga dirjennya.
Tahun 2024 lalu, Komdigi menyetor PNBP sekitar Rp 24 triliun, terhitung terbesar di antara lembaga-lembaga negara.
PNBP lainnya berasal dari berbagai pungutan BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi, BHP operator dan PSO.
BHP frekuensi dihitung dari jumlah BTS yang dioperasikan, BHP Operator dipungut dari 0,5 persen pendapatan kotor operator, PSO 1,25 persen pendapatan kotor yang ujung-ujungnya dikeluhkan operator karena dianggap sangat memberatkan.
Beban operator
Laporan mengatakan, pungutan-pungutan tadi membuat beban operator Indonesia terhitung paling tinggi dalam menanggung biaya pemerintah (regulatory cost), rata-rata sekitar 13 persen pendapatan mereka.
Operator dunia umumnya dibebani regulatory cost rata-rata 9 persen, sementara Smarftren menerima beban hingga 14 persen.
Operator berupaya agar beban biaya pemerintah bisa berkurang, namun seperti biasa, pemerintah sangat alergi jika rencana pendapatan untuk APBN-nya berkurang.
Menurut beberapa operator, pemerintah seharusnya mulai fokus memungut pajak atau setoran dari bisnis OTT (over the top).
Pebisnis OTT mengunakan sasaran pasar semua pelanggan seluler tanpa menggunakan jaringan operator, hanya merambat di jaringan itu, sehingga tidak membebani operator. Seperti Google, lalu konten-kontennya serupa Netflix dan sebagainya.
Nilai bisnis OTT makin tahun makin besar dan sama sekali tidak memberi sumbangan kepada operator pemilik jaringan, juga kepada pemerintah yang tidak berdaya menghadapi dan mencegat bisnis OTT, karena belum ada aturannya.
Padahal sudah banyak negara lain berhasil memajaki mereka dengan jumlah signifikan.
Kalangan operator mengeluh, apa susahnya membuat aturan, sementara dalam tataran politik, undang-undang atau peraturan pemerintah dapat diundangkan hanya dalam dua minggu. Padahal cuan di bisnis ini sangatlah besar.
Data menyebutkan, tahun 2023 lalu nilai transaksi OTT sebesar hampir 60 miliar dollar AS (sekitar Rp 960 triliun), diproyeksikan tumbuh jadi 70,08 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.120 triliun) tahun 2024.
Dan tumbuh menjadi 230 miliar dollar AS (sekitar Rp 3.680 triliun) pada tahun 20323 yang menunjukkan CAGR sebesar 16 persen sepanjang masa itu.