



Beda Budaya Bisa Gagalkan Merger
PROSES konsolidasi industri berupa merger XL Axiata dengan Smartfren terguncang sedikit soal performansi kedua entitas selama tahun 2024 yang jauh dari imbang.
Walaupun tidak ada tanda-tanda salah satunya akan mundur, semua keukeuh pada perjanjian merger 11 Desember 2024.
Laporan keuangan XL Axiata terbilang kinclong dengan laba bersih sepanjang tahun 2024 naik 45 persen menjadi Rp 1,85 triliun dari pendapatannya yang tumbuh 6 persen menjadi Rp 34,40 triliun.
Keberhasilan ini, menurut Presdir dan CEO XL Axiata, Dian Siswarini, diraih lewat efisiensi dan pengetatan di berbagai bidang.
Sementara Smartfren di saat yang sama melaporkan pendapatannya Rp 11,41 triliun, rugi Rp 1,29 triliun, kerugiannya naik fantastis 1.088,81 persen dibanding pencapaian tahun 2023 yang rugi Rp 108,93 miliar.
Orang pun mengatakan, Sinar Mas justru terselamatkan oleh merger, terbawa kecemerlangan XL Axiata.
Tidak hanya Smartfren, semua operator saat ini menghadapi persaingan ketat selain tekanan industri yang berkembang cepat. Teknologi telekomunikasi tumbuh cepat membuat perangkatnya segera usang (obsolete) sehingga biaya modal operator membengkak.
Pada merger XL Axiata dan Smartfren yang prosesnya sedang berlangsung saat ini, Axiata memiliki 69,6 persen saham di XL Axiata, dan posisi terhadap Sinar Mas adalah 72:28.
Sinar Mas kemudian membeli saham Axiata sebesar 13,1 persen senilai 400 juta dollar AS, lalu 75 juta dollar AS lagi pada akhir tahun, jumlahnya menjadi sekitar Rp 7,6 triliun.
Transaksi saham itu membuat posisi dan hak keduanya sama dalam perseroan, masing-masing 34,8 persen. Sementara sisa saham yang 30,4 persen milik publik tidak diotak-atik, yang kemungkinan besar mayoritas suaranya berpihak kepada Axiata.
Dengan nama gabungan XL Smart Sejahtera, porsi masing-masing sudah jelas, tinggal tunggu persetujuan dari berbagai pihak.
Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) sudah setuju, tinggal lagi OJK (Otoritas Jasa Keuangan), KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), yang meneliti soal merger sesuai peraturan yang ada, dan lain-lain.
Proses diharapkan selesai April lewat pelaksanaan RUPSLB (rapat umum pemegang saham luar biasa) PT XL Smart Sejahtera.
Beberapa nama yang ada di jajaran dewan direksi kedua pihak sudah muncul di lis prediksi nama-nama calon direksi XL Smart, di antaranya Yessy D Yosetya dari XL Axiata dan Merza Fachys dari Smartfren.
Efisiensi berbagai hal
Merger keduanya diharapkan menghasilkan sinergi biaya yang signifikan, dengan estimasi sebelum pajak sebesar 300 juta dollar AS – 400 juta dollar AS (sekitar Rp 4,77 triliun dan Rp 6,36 triliun).
Namun paling utama, konsolidasi keduanya membuat industri telekomunikasi efisien, operator telko berkurang dari empat menjadi hanya tiga, yang siapa tahu kelak menjadi hanya dua.
Tahun pertama pendapatan XL Smart Sejahtera yang diprediksi sebesar Rp 45,4 triliun merupakan perkiraan pesimistis yang bisa saja nyatanya lebih besar. Angka tadi sama dengan pendapatan tahun 2024 XL Axiata yang Rp 34,4 triliun dan Smartfren Rp 11,41 triliun.
Konsolidasi menghasilkan efisiensi di belanja teknologi yang biasanya dilakukan masing-masing, kini cukup oleh satu entitas.
Jaringan infrastruktur mereka akan otomatis meluas, dengan melakukan integrasi semua BTS (base transceiver station) keduanya.
Sekitar 30 persen dari BTS keduanya yang berada dalam satu tempat atau menara dipindahkan ke lokasi lain yang cakupan layanan mereka meluas, berpotensi meraih pelanggan baru.
Sebagai bandingan, Telkomsel punya 265.904 BTS pada tengah tahun 2024, menempatkan BTS-nya di semua wilayah, bahkan di kawasan 3T (terluar, terdepan dan tertinggal), dengan jumlah pelanggan 159,9 juta.
Jumlah BTS XL Axiata hingga akhir 2024 ada 165.864 unit, milik Smartfren sekitar 46.000 unit yang kalau digabung menjadi 201.864 unit.
Dengan belanja modal yang terintegrasi, jumlah BTS bisa lebih dari 225.000 buah, pelanggan bisa lebih dari 96 juta.
Spektrum frekuensi XL Smart menjadi 152 MHz, yang 90 MHz dari XL Axiata di rentang 900 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz. Selebar 62 MHz dari Smartfren yang terdiri dari 40 MHz di rentang frekuensi 2300 MHz dan 22 MHz di rentang 800 MHz.
Pemilikan lebar spektrum frekuensi ini membuat XL Smart terbanyak setelah Telkomsel yang selebar 195 MHz yang terdiri dari 145 MHz rentang 900 MHz, 1800 MHz, 2100 MHz dan 50 MHz di 2300 MHz.
Sementara Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) hanya selebar 135 MHz di rentang 900 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz, pelanggan mereka ada 98,7 juta.
Penghargaan CEO
Konsolidasi kali ini bukan yang pertama bagi XL Axiata yang berupa akuisisi tahun 2014 saat mengambil alih Axis dari pemilik lama, STC (Saudi Telecommunication Company) karena butuh dukungan spektrum lebih banyak untuk layanan data.
Walau akhirnya pemerintah mengambil 5X2 MHz di spektrum frekuensi 2,1 GHz miliknya dan dari Axis, XL Axiata mendapat tambahan 20 MHz di spektrum 1800 MHz.
Nilai akuisisi termasuk sangat besar, 865 juta dollar AS atau sekitar Rp 10,3 triliun, sementara pendapatan bersih XL Axiata sepanjang 2013 sebesar Rp 21,4 triliun. Operator itu meraih laba Rp 1 triliun, turun 63 persen dari tahun sebelumnya yang Rp 2,7 triliun.
Dengan pendapatan dan laba sebesar itu, XL Axiata masih harus berutang kepada induknya, Kelompok Axiata, sebesar 500 juta dollar AS.
Proses akuisisi itu membuat keuangan XL Axiata limbung selama beberapa tahun berikutnya, ditekan pula persaingan tarif yang sedang marak-maraknya.
Setiap merger selalu dibayangi kegagalan, seperti ketika Microsoft merger dengan Nokia pada 2013 yang membuat kerugian 7 miliar dollar AS, atau merger antara Google dan Motorola pada 2012 yang rugi hingga 12,5 miliar dollar AS.
Ada tiga hal utama yang bisa membuat merger gagal, yaitu penghancuran nilai, komunikasi dan integrasi yang buruk, dan perbedaan budaya.
Di antara XL Axiata dan Smartfren mungkin ada perbedaan budaya dan integrasi yang buruk, utamanya karena performansi yang berbeda.
Misalnya, untuk jenis pekerjaan sama, pendidikan setara dan masa kerja rata-rata, beda pendapatannya antara dua hingga lima kali lipat.
Dibutuhkan upaya ekstra petinggi XL Smart meredam meski penyesuaian akan dilakukan bertahap. Pembentukan budaya kerja yang baru dibutuhkan, terlebih dalam menghadapi ancaman dan tantangan baru di industri yang teknologinya tumbuh cepat.
Tantangan ini justru akan meredam perasaan tersingkirnya karyawan Smartfren sebagai awak perusahaan yang bergabung.
Walau CEO Axiata, Vivek Sood, menjamin mereka yang ingin pensiun dini akan mendapat penghargaan yang lebih baik dari yang pernah ada.
Chairman Sinar Mas Telecommunication & Technology, Franky Wijaya pun meyakinkan, merger jadi upaya penting yang memberikan nilai tambah besar kepada seluruh pemangku kepentingan.
Sejalan dengan prinsip bersatu untuk tujuan bersama yang besar, “if you want to go fast, you go alone. If we want to go far, we go together – kalau kamu pergi cepat, silakan pergi sendiri. Kalau kita ingin pergi jauh, kita pergi bersama-sama.”