48
Ilustrasi: Serangan siber marak terjadi di Indonesia. (Cyvers Alerts)
08:52
19 September 2024
Banyak Insiden Siber Terjadi, Pakar Sentil Presiden Jokowi: Berpotensi Melanggar UU PDP!
Berbagai insiden siber terjadi secara beruntun di Indonesia. Mulai dari kegagalan sistem PDN karena serangam ransomware, penjualan data pribadi dari seorang peretas dengan nama anonim MoonzHaxor di darkweb yang menawarkan data dari Inafis, BAIS, Kemenhub dan KPU; peretasan dan pencurian data pribadi dari 4,7 juta ASN yang berasal dari BKN, serta yang paling akhir adalah dugaan kebocoran data Ditjen Pajak (DJP) oleh Bjorka. Maraknya kebocoran data yang terjadi ini juga menyebabkan meningkatnya penipuan-penipuan yang memanfaatkan data pribadi yang bocor tersebut, penggunaan data curian untuk mengambil pinjol, serta menerima pengiriman iklan tentang ajakan bermain judi online. Salah satu penyebab maraknya kebocoran data yang terjadi adalah belum adanya sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi berupa denda kepada perusahan atau organisasi yang mengalami kebocoran data dimana sanksi hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga atau komisi yang dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden. Terkait hal tersebut, Pratama Persadha selaku Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC menjelaskan, tanggal 18 Oktober 2024 akan menjadi hari pertama Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) mulai berlaku setelah ditetapkan dan disahkan pada tanggal 17 Oktober 2022. "UU ini telah memberikan waktu selama 2 tahun untuk Pengendali Data Pribadi serta Prosesor Data Pribadi dan pihak lain yang terkait dengan pemrosesan data pribadi untuk melakukan penyesuaian. UU PDP ini memberikan kerangka hukum yang lebih jelas mengenai pengumpulan, penggunaan, dan penyimpanan data pribadi, serta memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggaran," jelas Pratama dihubungi JawaPos.com, Rabu (18/9) malam. Namun, Pratama melanjutkan, sangat disayangkan Presiden Joko Widodo sampai sekarang belum juga membentuk lembaga ini. Apabila Presiden tidak dengan segera membentuk Lembaga Penyelenggara PDP sampai batas waktu 17 Oktober 2024, Presiden Jokowi berpotensi melanggar UU PDP. UU PDP sendiri mengamanatkan kepada Presiden untuk membentuk Lembaga Penyelenggara PDP seperti yang tertera pada pasal 58 sampai dengan pasal 61 yang mengatur tentang kelembagaan UU PDP ini, dimana pasal 58 ayat (3) berbunyi, "Lembaga sebagaimana pada ayat (2) ditetapkan oleh Presiden,". Pratama mengingatkan, Pelindungan Data Pribadi juga masuk kedalam pelindungan hak asasi manusia karena Pelindungan Data Pribadi juga merupakan amanat dari Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan data pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harya benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi." "Dengan tidak adanya Lembaga Penyelenggara PDP yang dapat memberikan sanksi tersebut, maka perusahaan atau organisasi yang mengalami kebocoran data pribadi seolah-olah abai terhadap insiden keamanan siber, bahkan mereka juga tidak mempublikasikan laporan terkait insiden tersebut padahal hal tersebut melanggar pasal 46 ayat 1 yang diamanatkan dalam Undang-Undang no 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi," tegas Pratama. Yang mana, UU tersebut mengatur bahwa dalam hal terjadi kegagalan Pelindungan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib pemberitahuan secara tertulis paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam kepada Subjek Data Pribadi dan lembaga. Adapun data apa yang perlu diungkapkan diatur dalam pasal 46 ayat 2 UU PDP yaitu minimal terkait Data Pribadi yang terungkap, kapan dan bagaimana Data Pribadi terungkap dan upaya penanganan dan pemulihan atas terungkapnya Data Pribadi oleh Pengendali Data Pribadi. Aspek hukum lainnya dari UU PDP adalah Pasal 47 yang menjelaskan bahwa pengendali data pribadi memiliki kewajiban untuk membuktikan pemenuhan kewajiban dalam menerapkan prinsip-prinsip PDP sehingga Pengendali Data Pribadi yang mengalami insiden kebocoran data wajib memberikan klarifikasi hasil investigasi serta apa saja metode keamana yang dipergunakan supaya dapat menjamin keamanan data pribadi yang dikendalikannya. "Selain itu aspek hukum lainnya adalah ancaman hukum terhadap pelanggaran terhadap UU PDP seperti Pasal 57 ayat (2) yang mengatur tentang denda administratif paling tinggi sebesar 2 persen dari pendapatan tahunan atau penerimaan tahunan terhadap variabel pelanggaran, serta Pasal 65 ayat (1) yang mengatur pidana penjara paling lama 5 (empat) tahun atau denda paling banyak 5 milyar rupiah," terang Pratama. Oleh karena itu, pembentukan Lembaga Penyelenggara PDP merupakan sebuah urgensi yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah serta Presiden terutama jika dilihat dari 3 (tiga) perspektif. Perspektif pertama adalah perspektif keamanan siber karena pembantukan Lembaga Penyelenggara PDP akan dapat memberikan perlindungan kepada data sensitif, memberikan pencegahan terhadap serangan siber, melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran, peningkatan kesadaran dan edukasi, kolaborasi dengan pihak terkait serta meningkatkan kepercayaan investor serta konsumen. Perspektif selanjutnya adalah Perspektif Keamanan Nasional, dimana Lembaga Penyelenggara PDP akan dapat memberikan perlindungan inftastruktur kritis di Indonesia, mencegah spionase dan mata-mata digital, membangun ketahanan terhadap ancaman siber, serta mengurangi kerentanan terhadap serangan asimetris atau perang siber. Perspektif terakhir adalah dari Perspektif Ketahanan Nasional dimana Lembaga Penyelenggara PDP akan dapat menjaga kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi, meningkatkan stabilitas sosial serta menjamin kontinuitas operasional yang menyangkut layanan kepada masyarakat luas. Pratama menuturkan, Lembaga Penyelenggara PDP yang dibentuk nantinya diharapkan sesuai dengan best practice yang ada, diantaranya adalah Lembaga Penyelenggara PDP harus memiliki wewenang dan kewenangan yang kuat untuk mengatur, mengawasi dan menegakkan kepatuhan terhadap standar keamanan data pribadi. "Lembaga Penyelenggara PDP harus secara teratur melakukan penilaian risiko terhadap data pribadi yang diolah oleh organisasi publik dan swasta. Lembaga Penyelenggara PDP juga harus melakukan audit dan pemeriksaan independen terhadap kepatuhan organisasi atas kebijakan dan dan standar keamanan data pribadi," tandas Pratama.
Editor: Banu Adikara
Tag: #banyak #insiden #siber #terjadi #pakar #sentil #presiden #jokowi #berpotensi #melanggar