Kenapa Kita Terobsesi Nonton Instagram Stories Kita Sendiri?
Ilustrasi Instagram Stories dengan warna cincin yang beragam, yakno biru untuk fitur Shared List, warna hijau untuk fitur Close Friends, dan gradasi ungu-kuning untuk publik.(KOMPAS.com/ Galuh Putri Riyanto)
06:36
4 Februari 2025

Kenapa Kita Terobsesi Nonton Instagram Stories Kita Sendiri?

- Kalian suka menonton Instagram Stories sendiri berulang kali sebelum hilang dalam 24 jam? Kalian tidak sendirian. 

Beberapa konten kreator pun mengangkat kebiasaan menonton Instagram Stories milik sendiri berulang kali ini menjadi konten.

Yang menarik, konten tersebut disukai, disimpan, dan dibagikan oleh ratusan ribu orang. Ini menandai bahwa ada banyak ratusan ribu pengguna internet yang setuju dan relate.

Misalnya, kreator TikTok Indonesia dengan username @hyly.angie. Kreator yang kerap berbicara dalam bahasa Jawa dengan logat medok ini mengatakan bahwa ia meng-upload IG Stories untuk dirinya sendiri, bukan orang lain.

Dalam 24 jam, ia pun menonton IG Stories-nya berkali-kali, sampai 900 kali (bercanda dalam nada hiperbola).

Konten @hyly.angie itu ramai disukai oleh pengguna lain. Hingga berita ini ditulis, video TikTok @hyly.angie telah ditonton sebanyak 1,5 juta kali, disukai lebih dari 200.000 pengguna, disimpan oleh 22.000 orang, dan dibagikan lebih dari 11.000 kali.

Tak hanya itu, kolom komentar video itu juga ramai dengan pengguna yang mengamini konten @hyly.angie.

@hyly.angie

aku mesem mesem gak moco chat uwong, mesem mesemku nonton storyku dewe

? original sound - nj????

Tak hanya kreator konten lokal. Dua kreator TikTok dari luar negeri, yakni @emilybrogann dan @xoxotatianaa juga membuat konten serupa.

Mereka menyatakan fakta bahwa mereka mengunggah IG Stories supaya bisa menontonnya berulang kali.

Video TikTok @xoxotatianaa itu viral bahkan disukai lebih dari 600.000 orang dan dibagikan oleh lebih dari 51.000 orang.

Kenapa kita terobsesi nonton IG Stories kita sendiri?

Ilustrasi Instagram.Freepik Ilustrasi Instagram.Jadi, mengapa kita melakukannya? Sebenarnya, ada banyak alasan mengapa kita senang menonton kembali konten yang kita unggah di Instagram Stories atau media sosial secara umum.

Melihat diri kita dari sudut pandang orang lain

Seorang psikoterapis dan penulis yang punya spesialisasi diri dalam identitas eksistensial, Eloise Skinner mengatakan, menonton konten bikinan kita sendiri secara berulang bisa juga disebut sebagai self-stalking alias menguntit diri sendiri.

Menurut Skinner, ada beberapa faktor yang menyebabkan kita menguntit diri sendiri. Salah satunya adalah keinginan untuk melihat diri kita dari sudut pandang eksternal. Sebab kita tidak memiliki informasi soal persepsi orang lain terhadap diri kita.

"Keinginan untuk memahami bagaimana kita dipersepsikan (oleh orang lain) telah ada dalam naluri manusia selama beberapa generasi," jelas Skinner.

"Saat kita mencoba memahami diri sendiri, dengan menjawab pertanyaan abadi tentang "siapakah saya?", kita sering kali mengandalkan pendapat orang lain," lanjut Skinner.

Jadi, kita sendiri yang akan menafsirkan pikiran dan pendapat orang lain dengan membayangkan apa yang mungkin mereka lihat saat melihat profil/status media sosial kita.

Mendapatkan validasi sosial

Psikolog Zoe Mallet setuju dengan Skinner. Mallet mengatakan bahwa evolusi telah membentuk keinginan bawaan dalam diri kita untuk mendapatkan penerimaan/validasi dan status sosial.

"Itu adalah upaya bawah sadar untuk meningkatkan kedudukan sosial kita, meningkatkan peluang kita untuk diterima, dan menciptakan citra diri yang positif, yang merupakan bagian dari mekanisme bertahan hidup kita sebagai manusia," kata Mallet.

Baik Skinner maupun Mallet mencatat bahwa upaya kita untuk mengendalikan persepsi orang lain terhadap kita sudah ada jauh sebelum munculnya Instagram. Misalnya, dengan memilih pakaian untuk suatu acara, atau apa yang kita katakan dalam percakapan dengan seorang kenalan.

Kini, media sosial hadir sebagai platform perpanjangan untuk memproyeksikan identitas yang kita ingin orang lain lihat dari kita.

Namun, penting juga untuk diingat bahwa tidak semua orang menggunakan media sosial dengan cara yang sama. Sebagian menggunakannya untuk menjaga hubungan atau bersosialisasi.

Sementara bagi sebagian lainnya, media sosial memiliki makna yang lebih dalam, misalnya sebagai perpanjangan dari jati diri mereka.

Perfeksionis atau insecure?

Ilustrasi menonton Instagram Stories.Freepik Ilustrasi menonton Instagram Stories.Menurut Skinner, pada sebagian orang, self-stalking berakar pada perfeksionisme. Misalnya, kita ingin konten selalu terlihat apik, sehingga bisa dijadikan semacam "portofolio" digital dan membuka peluang kerja sama di masa depan.

Self-stalking juga bisa berasal dari rasa tidak aman tentang identitas kita atau anak zaman sekarang menyebutnya sebagai "insecure".

"Ada kesadaran yang lebih besar tentang bagaimana kita dibandingkan dengan orang lain secara online. Dengan kata lain, lebih mudah untuk membandingkan kehidupan digital kita dengan kehidupan orang lain, untuk melihat apa yang kita suka atau tidak suka," kata Skinner.

Di sisi lain, Skinner percaya bahwa keinginan kita ingin melihat kembali konten yang kita unggah adalah hal yang wajar. Ini sama seperti ketika kita membolak-balik album foto, jurnal, atau scrapbook.

"Media sosial bisa berperan sebagai unit penyimpanan untuk versi lama diri kita dan identitas kita. Jadi, berefleksi atau bernostalgia lewat media sosial dapat menjadi aktivitas yang mendukung dan bermanfaat," kata Skinner, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Mashable, Senin (30/9/2024).

Namun, Skinner menyarankan pengguna internet untuk selalu aware alias sadar ketika melakukan self-stalking. Pasalnya, kebiasaan ini bagai pisau bermata dua alias dapat berdampak baik atau buruk.

Jika kita merasa self-stalking memotivasi atau menghibur, menurut Skinner, hal itu bagus. Namun, Skinner menegaskan, self-stalking juga berisiko membuat kita lebih kritis terhadap diri sendiri atau membuat kita terjebak di masa lalu.

"Jika hal itu membuat kita lebih minder, mementingkan diri sendiri, atau teralihkan dari apa pun yang ingin kita lakukan, ada baiknya kita memikirkan kembali kebiasaan self-stalking," saran Skinner.

Editor: Galuh Putri Riyanto

Tag:  #kenapa #kita #terobsesi #nonton #instagram #stories #kita #sendiri

KOMENTAR