TikTok, Langkah Presiden Trump, dan Pembelajaran untuk Indonesia
Donald Trump menang telak dalam Pilpres Amerika Serikat 2024.(AP/JULIA DEMAREE NIKHINSON via ABC INDONESIA)
10:00
27 Januari 2025

TikTok, Langkah Presiden Trump, dan Pembelajaran untuk Indonesia

KEHEBOHAN penutupan TikTok di Amerika Serikat (AS) berawal dari HR 7521-118th Congress. RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU Federal bernama “Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Application Act” menjadi muasal segalanya.

Merujuk pada siaran resmi Kongres AS, Congress.Gov, Regulasi ini berawal dari RUU Pelindungan Warga Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing. UU ini kemudian ditandatangani Presiden Biden pada 24 April 2024.

Secara kronologis, H.R. 7521-118th disetujui oleh Senat pada 14 Maret 2024. Kemudian diserahkan kepada Komite Komunikasi, Sains, dan Transportasi. Provisi dari H.R. 7521 kemudian diintegrasikan ke dalam H.R. 815.

UU ini tentu tidak hanya berlaku untuk TikTok. Regulasi ini mencakup semua aplikasi yang dikendalikan oleh pihak asing, yang dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional Amerika.

UU ini memiliki cakupan luas dan bertujuan melindungi keamanan nasional AS dari berbagai aplikasi yang dikendalikan oleh pihak asing, tak sekadar TikTok.

Materi muatan

UU yang menggemparkan ini melarang distribusi, pemeliharaan, atau penyediaan layanan hosting internet untuk aplikasi yang dikendalikan oleh musuh asing.

Namun, larangan tersebut tidak berlaku untuk aplikasi yang melaksanakan divestas sesuai syarat yang ditetapkan Presiden.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka aplikasi yang dikendalikan dan dioperasikan secara langsung atau tidak langsung oleh ByteDance, Ltd. atau TikTok termasuk anak perusahaan atau penerusnya, telah ditetapkan oleh Presiden sebagai ancaman signifikan terhadap keamanan nasional AS.

Larangan tersebut tidak berlaku bagi aplikasi yang utamanya digunakan untuk mengunggah ulasan produk, ulasan bisnis, atau informasi dan ulasan perjalanan.

UU juga memberi wewenang kepada Departemen Kehakiman untuk menyelidiki pelanggaran atas regulasi ini, dan menegakkan ketentuan-ketentuannya. Entitas yang melanggar akan dikenakan sanksi perdata berdasarkan jumlah pengguna.

UU ini mengharuskan aplikasi yang dilindungi untuk memberikan semua data akun yang tersedia termasuk kiriman, foto, dan video, kepada pengguna, atas permintaan pengguna, sebelum larangan tersebut berlaku.

Pengadilan Banding AS Distrik Columbia ditetapkan sebagai yurisdiksi eksklusif atas setiap gugatan terhadap UU, yang harus diajukan dalam waktu 165 hari setelah tanggal pengesahan.

Sedangkan gugatan terhadap setiap tindakan, temuan, atau penetapan berdasarkan UU tersebut harus diajukan dalam waktu 90 hari sejak tindakan, temuan, atau penetapan.

Langkah hukum

Over The Top dan platform digital besar yang terdampak utamanya adalah TikTok. Menghadapi berlakunya UU ini dan dampaknya Presiden Trump secara cepat mengeluarkan Perintah Eksekutif (Executive Order) dengan secara eksplisit menyebut TikTok.

EO itu dimuat di laman "Whitehouse.Gov-Presidential Action" dengan judul "Application Of Protecting Americans From Foreign Adversary Controlled Applications Act To Tiktok Executive Order” dan dirilis secara resmi pada 20 Januari 2025.

Lalu apa yang menjadi materi muatan Perintah Eksekutif yang mengundang perhatian dunia itu? Berikut adalah rangkumannya.

Pertama, Presiden Trump mengeluarkan perintah eksekutif untuk menangguhkan penerapan UU Pelindungan Warga Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing, khususnya terkait TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance, perusahaan asal China.

Undang-undang ini melarang distribusi, pemeliharaan, atau pembaruan aplikasi yang dianggap berisiko terhadap keamanan nasional.

Kedua, EO ditandatangani Presiden Trump untuk memberi waktu bagi pemerintahan baru dalam mengevaluasi situasi. Presiden Trump juga menginstruksikan Jaksa Agung untuk tidak menegakkan undang-undang ini selama 75 hari mulai dari 20 Januari 2025.

Ditegaskan pula bahwa EO ini adalah dasar untuk tidak menghukum entitas yang melanggar aturan selama periode tersebut.

Jaksa Agung diminta untuk mengeluarkan panduan tertulis terkait implementasi perintah ini dan menginformasikan kepada penyedia layanan bahwa tidak ada pelanggaran yang akan dikenakan selama periode yang ditentukan.

Ketiga, Presiden AS akan berkonsultasi dengan penasihat untuk menilai implikasi keamanan nasional yang ditimbulkan oleh TikTok, dan langkah-langkah mitigasi yang telah diambil oleh perusahaan tersebut.

Langkah ini untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak membahayakan keamanan nasional sekaligus mempertimbangkan kepentingan jutaan pengguna di AS.

Keempat, upaya penegakan hukum oleh negara bagian atau swasta terhadap undang-undang ini, akan dianggap sebagai pelanggaran kewenangan eksekutif.

Jaksa Agung bertanggung jawab penuh untuk menegakkan undang-undang ini, dengan hak eksklusif untuk melakukan tindakan terkait.

Kelima, perintah ini tidak akan memengaruhi kewenangan departemen, atau badan eksekutif lainnya. Selain itu, EO tidak menciptakan hak yang dapat dituntut atau ditegakan oleh pihak ketiga, terhadap pemerintah atau entitas terkait.

Hal menarik adalah, terkait EO yang digunakan sebagai dasar hukum penundaan berlakunya UU tersebut selama 75 hari.

EO menjadi dasar hukum sementara untuk menunda penerapan UU Perlindungan Warga Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Oleh Pihak Asing itu.

New York Times dalam laporan tentang “Dilema TikTok di Bidang Teknologi: Patuhi Hukum atau Presiden Trump?” (25/01/2025) menyoroti, bahwa larangan TikTok oleh pemerintah AS telah memunculkan perbedaan pandangan di antara Big Tech.

Beberapa perusahaan seperti Apple dan Google memilih untuk mengikuti hukum dengan menghapus TikTok dari toko aplikasi mereka, sehingga tak dapat diakses.

Sementara Oracle dan Akamai tetap mendukung TikTok, meskipun menghadapi risiko pelanggaran hukum.

New York Times menyebut, Perbedaan ini disebabkan oleh faktor politik, keuangan, dan kekhawatiran atas konsekuensi hukum.

Apple dan Google lebih fokus pada kepatuhan hukum. Sementara Oracle dan Akamai lebih memprioritaskan keuntungan dengan tetap mendukung TikTok.

Laporan NY Times menyatakan bahwa, dalam situasi ini, semua perusahaan menghadapi risiko tuntutan hukum, baik dari pemerintah atau pengguna TikTok. Hal ini tentu menimbulkan situasi dilematis.

Langkah bisnis

Dilansir Reuters “White House in talks to have Oracle, US investors take ove TikTok, sources say” (26/01/2025), Pemerintahan Presiden Donald Trump sedang merancang kesepakatan untuk menyelamatkan TikTok dengan melibatkan perusahaan perangkat lunak Oracle dan sejumlah investor AS.

Menurut laporan itu, pemilik TikTok yang berbasis di China, ByteDance, akan tetap memegang sebagian saham.

Oracle akan bertanggung jawab atas pengelolaan data dan pembaruan perangkat lunak TikTok. Oracle saat ini sudah menjadi penyedia infrastruktur web TikTok.

Hal senada juga dirilis NPR berjudul “Exclusive: White House in talks to have Oracle and U.S. investors take over TikTok” (25/01/2025). Pemerintahan Trump sedang merundingkan rencana untuk menyelamatkan TikTok dengan melibatkan Oracle, dan sejumlah investor AS untuk mengambil alih operasi global aplikasi tersebut.

Laporan itu menyatakan, ByteDance, akan mempertahankan saham minoritas, sementara Oracle akan mengawasi algoritma, pengumpulan data, dan pembaruan perangkat lunak aplikasi.

Salah satu tantangan terbesar adalah memastikan bahwa TikTok terpisah dari ByteDance dan memenuhi persyaratan hukum yang ditetapkan oleh Kongres AS.

Pemerintah China yang sebelumnya menentang penjualan TikTok, kini menunjukkan sikap yang lebih terbuka. Hal ini mungkin terkait dengan keinginan Beijing untuk menegosiasikan pelonggaran tarif perdagangan dengan AS.

Laporan ini juga menyebut adanya ketidakjelasan terkait kepemilikan saham TikTok oleh pihak AS.

Presiden Trump sebelumnya mengungkapkan bahwa AS berhak memiliki 50 persen saham TikTok. Ada prediksi hal ini mengarah pada ide nasionalisasi sebagian kepemilikanTikTok.

Pelajaran berharga

Kasus TikTok di AS, menggambarkan bagaimana isu keamanan data, geopolitik, pelindungan data, dan bisnis digital saling berkaitan.

Pemerintah AS menekan ByteDance, pemilik TikTok untuk melepas sebagian kepemilikan TikTok sebagai bentuk mitigasi risiko terhadap keamanan nasional.

Langkah ini mencerminkan pentingnya regulasi yang memastikan kontrol data pengguna berada di bawah yurisdiksi domestik. Hal ini untuk menghindari unsur dan peran asing, yang dapat membahayakan kepentingan strategis negara.

Dari sisi bisnis, upaya divestasi ini juga mencerminkan strategi bisnis digital yang tak lepas dari faktor keamanan negara.

Oracle diproyeksikan mengambil peran strategis dalam pengelolaan data, algoritma, dan menciptakan model bisnis berbasis kepercayaan publik atas keamanan data.

Pelajaran penting bagi Indonesia dari kasus ini adalah, adanya kebutuhan untuk memperkuat regulasi terkait keamanan, pelindungan data dan kedaulatan digital.

Dengan ekosistem digital yang semakin masif, Indonesia perlu memastikan bahwa data pengguna dikelola secara aman oleh entitas domestik, atau pihak yang dapat diawasi dan diaudit secara transparan.

Dalam hal inilah adanya kebutuhan mendesak pembentukan Lembaga Pelindungan Data Pribadi sesuai amanat UU PDP, yang hingga saat ini tak kunjung terbentuk.

Selain itu, regulasi perlu mencakup masalah delegasi kewenangan kepada eksekutif untuk melakukan kebijakan dalam keadaan krtikal.

Berkaca dari regulasi AS, regulasi kita juga perlu mempertimbangkan batas kepemilikan asing pada platform digital.

Hal ini penting untuk melindungi keamanan nasional, data strategis dan menjaga keberlanjutan operator domestik di tengah persaingan global.

Indonesia juga harus memperhatikan faktor geopolitik global dalam pengaturan ekosistem digital, mengingat tekanan internasional dapat memengaruhi kebijakan domestik.

Pemerintah harus mendorong kolaborasi Big Tech dengan operator domestik untuk menciptakan kemandirian digital.

Dengan mengacu pada kasus TikTok, Indonesia dapat memperkuat regulasi yang adaptif dan proaktif.

Regulasi transformatif sebagai solusi perlu dibuat untuk menghadapi dinamika global dan ekosistem digital yang terlanjur terbentuk.

Menegakan kedaulatan negara, mendorong pelaku usaha domestik, melindungi masyarakat pengguna, memanfaatkan teknologi untuk kesejahteraan, mendorong inovasi teknologi, dan kolaborasi saling menguntungkan dengan pelaku platform digital global adalah sebuah keniscayaan.

Tag:  #tiktok #langkah #presiden #trump #pembelajaran #untuk #indonesia

KOMENTAR