Bos Smelter Suwito Berurai Air Mata dalam Sidang Korupsi Timah: Kakek Saya Penambang di Babel
Sidang perkara dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2024). 
15:18
4 Desember 2024

Bos Smelter Suwito Berurai Air Mata dalam Sidang Korupsi Timah: Kakek Saya Penambang di Babel

- Komisaris perusahaan smelter swasta PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan berurai air mata dalam sidang kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/12/2024).

Adapun hal itu terjadi saat dirinya bersaksi dalam persidangan.

Ia menjelaskan terkait penambang masyarakat di Bangka Belitung (Babel). 

"Terkait dengan kerusakan lingkungan saya mau tanya saudara saksi Pak Suwito dan Bu Rosa sudah lama tinggal di Babel," tanya kuasa hukum Robert Indarto di persidangan dalam sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/12/2024).

Terdakwa General Manager (GM) PT Tinindo Internusa Rosalina, mengatakan dirinya bukan asli Bangka Belitung

Sementara terdakwa Suwito menerangkan dirinya asli Bangka Belitung

Kemudian kuasa hukum menanyakan terkait dengan kerusakan lingkungan.

Jaksa mendakwa ada kerusakan lingkungan yang sangat besar di Bangka Belitung imbas tambang timah ilegal. 

"Yang ingin saya tanyakan saudara saksi sebagai sejak lahir asli Babel. Bisa saudara saksi bantu jelaskan fakta sesungguhnya seperti apa. Kerusakan yang terjadi di mana apakah sudah berlangsung sejak lama?" tanya kuasa hukum. 

Suwito menerangkan kerusakan lingkungan terjadi sejak lama. 

Penambangan di Babel itu dilakukan sejak zaman Sriwijaya, Belanda.

"Nenek moyang dibawa Belanda untuk bangun Bangka. Kakek saya penambang. Sejak tahun 2000 baru masyarakat diberi untuk menambang. Setelah kita menjadi Babel. Itu yang terjadi," kata Suwito

"PT Timah melepas, mengatakan bahwa cadangan mereka habis. Mereka tidak mau membayar royalti. Setelah kita menjadi provinsi. Provinsi baru memberi IUP ke swasta-swasta dan PT Timah tidak memberikan royalti," jelasnya. 

Tapi kata Suwito setelah swasta membuka smelter mereka melakukan pembayaran lagi.

Bijih Timah barang strategis menjadi barang yang diawasi saja. 

"Sejak itulah kita ikut," ucapnya. 

Kemudian ditanyakan kuasa hukum apakah di IUP PT Timah masih terjadi tumpang tindih sengketa. 

"PT Timah melepas IUP-IUP mereka sebagai besar itu daerah-daerah yang miskin atau bekas-bekas tambang. Dulu kakek saya menggunakan cangkul dan pengki namanya untuk menambang. Setelah perkembangan zaman ada alat berat daerah dalam baru dikerjakan," kata Suwito

"Sewaktu saya kerja sebagai kontraktor Bangka Tin harga timah 3.000 dollar per ton. Sekarang 30.000 per ton," terangnya. 

Suara Suwito lalu terdengar lirih, kemudian ia mengelap air matanya dengan tisu. 

"Dengan kenaikan harga, daerah miskin dan daerah bekas tambang pun di tambang orang kembali. Masyarakat kita itu tidak lebih tidak kurang mengais timah. Tidak ada masyarakat, tidak akan ada timah ini terjadi," ungkapnya. 

Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. 

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. 

Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Editor: Adi Suhendi

Tag:  #smelter #suwito #berurai #mata #dalam #sidang #korupsi #timah #kakek #saya #penambang #babel

KOMENTAR