UU Pesantren Tegaskan Independensi dan Standar Mutu Pendidikan Pesantren
–Lahirnya UU Pesantren bertujuan membangun ekosistem pendidikan yang holistik di pesantren, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Majelis Masyayikh menginisiasi pengembangan standar pengasuhan, yang merupakan aspek unik dan tidak dimiliki sistem pendidikan formal lainnya.
Standar itu untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang santri secara holistik, menjawab berbagai isu yang merugikan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren. Itu untuk menepis isu-isu yang datang belakangan dan sedikit banyak berpengaruh terhadap turunnya kepercayaan masyarakat, yaitu isu kekerasan, baik verbal, fisik, dan lebih lagi kekerasan seksual.
Pengasuh Ponpes KH Afifudin Al-Hasani mengungkapkan dengan sosialisasi UU Pesantren dapat memberikan pemahaman soal terjaganya mutu pesantren.
”Dulu pesantren di Kebumen ada sekitar 175, tetapi sekarang hanya ada sekitar 70-80 pesantren. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian lebih,” ucap Kiai Afifudin.
KH Abdul Ghaffar Rozin menjelaskan, Majelis Masyayikh dengan independensi dan kemandirian sangat mengupayakan perkembangan pendidikan di pesantren salah satunya melalui UU Pesantren. Majelis Masyayikh bukan organ pemerintah.
”Majelis Masyayikh menjembatani antara pemerintah dan pesantren yang mungkin memiliki jalan pikiran dan bahasa yang berbeda. Titik temunya adalah pesantren mau diukur oleh orang pesantren sendiri (yang paham pesantren) bukan lainnya,” ungkap Gus Rozin.
”Kami ingin memastikan bahwa administrasi pesantren diperhatikan untuk kepentingan santri secara menyeluruh. Perhatian ini tidak hanya untuk kiai dan pesantren, tetapi yang terpenting adalah bagi santri itu sendiri,” imbuh dia.
Menurut dia, pentingnya standar pendidikan yang minimal bagi seluruh pesantren. Meskipun terdapat keragaman dalam pembelajaran, harus menetapkan standar minimal.
”Seperti contoh untuk Nahwu Shorof dan Fiqih Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum,” tegas Gus Rozin.
”Bahwa bagaimana tata kelola di dalam pesantren itu dapat menciptakan pengalaman dan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang santri secara holistik. Jadi kita tidak perlu denial terhadap isu kekerasan di dalam pesantren, justru harus disikapi,” ucap Gus Rozin.
Sedmentara itu, Nyai Amrah mengungkapkan, UU No. 18 Tahun 2019 lahir sebagai respons terhadap berbagai opini di masyarakat terkait posisi dan peran pesantren. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan pusat transmisi ilmu keislaman serta basis kebudayaan dan peradaban Indonesia. Pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa.
”Pesantren memiliki peran signifikan dalam melawan kolonialisme. Pesantren telah menyuntikkan semangat juang kepada para mujahidin pada masa itu melalui argumen Al-Qur’an dan hadis,” tutur Nyai Amrah.
Dengan adanya undang-undang itu, dia berharap pesantren bisa lebih terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Pesantren diharapkan mendapatkan perhatian dan kontribusi dari negara. Melalui pengakuan dalam UU, Majelis Masyayikh berupaya mendukung kualitas pendidikan di pesantren agar bisa berkembang dan beradaptasi dengan dinamika masyarakat saat ini.
”UU ini hadir bukan untuk menyeragamkan, tetapi justru untuk menjaga kekhasan pesantren dengan upaya-upaya oleh Majelis Masyayikh selama 3 tahun terakhir ini untuk terus mengembangkan pesantren, dengan merumuskan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menjadi perangkat penjaminam mutu pendidikan di pesantren,” ucap Nyai Amrah.
Dia menambahkan, isu pengakuan ijazah lulusan pesantren juga menjadi sorotan. Lulusan pesantren diharapkan bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan memiliki peluang yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, baik di pemerintahan maupun instansi lainnya.
Tag: #pesantren #tegaskan #independensi #standar #mutu #pendidikan #pesantren