Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
DI TENGAH upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia, keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam.
Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat di kementerian dan lembaga sipil.
Tindakan yang seolah tak mengindahkan keputusan MK ini menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen institusi penegak hukum dalam menjaga integritas dan netralitasnya.
Pembangkangan terhadap putusan MK bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap prinsip dasar negara hukum.
Dengan tetap mengizinkan anggota Polri menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga berpotensi memicu konflik kepentingan.
Situasi ini mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat, di mana polisi seharusnya menjadi penegak hukum yang independen, justru terjerat dalam kebijakan politik sipil.
Tindakan pemerintah dalam menanggapi situasi ini sangat krusial. Di saat masyarakat mendesak agar integritas hukum ditegakkan, langkah berani untuk menarik anggota Polri dari jabatan sipil dan menghentikan implementasi Perpol 10/2025 menjadi penting dan mendesak.
Hanya dengan mematuhi putusan MK dan menjalankan prinsip-prinsip profesionalitas, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada supremasi hukum, bukan pada kekuasaan semata.
Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota Polri aktif menjabat di 17 kementerian dan lembaga sipil terasa seperti tamparan bagi integritas institusi negara.
Aturan ini muncul hanya sebulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang praktik semacam itu melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Pembangkangan hukum
Putusan MK tersebut bukanlah hal sepele. MK membatalkan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Alasan utamanya adalah untuk menjaga netralitas Polri sebagai penegak hukum, mencegah konflik kepentingan, dan menghindari politisasi institusi kepolisian.
Sebelum putusan ini, polisi aktif sering ditempatkan di posisi strategis sipil, seperti di kementerian atau lembaga negara, yang menurut para pemohon uji materi termasuk aktivis hak asasi manusia, merusak prinsip pemisahan kekuasaan.
Pakar hukum tata negara pun menilai putusan ini berlaku serta merta, mengharuskan polisi aktif yang sedang menjabat segera mundur.
Namun, respons Kapolri justru sebaliknya. Perpol baru tersebut secara eksplisit mengatur bahwa anggota Polri dapat bertugas di 17 instansi sipil, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), KPK.
Ini bukan hanya kontradiktif dengan putusan MK, tapi juga mengabaikan seruan dari DPR RI yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menarik polisi dari jabatan sipil demi menghormati keputusan konstitusi.
Tidak salah jika banyak masyarakat beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang jelas, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi.
Jika keputusan MK, yang seharusnya final dan mengikat, tidak dianggap serius, maka persepsi publik terhadap institusi tersebut bisa runtuh.
Pertanyaan yang muncul adalah, untuk apa adanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dihormati?
Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM berargumen bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, larangan hanya untuk pengangkatan baru, sementara yang sudah menjabat boleh tetap.
Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU), yang melihatnya sebagai cara untuk menghindari kekacauan administratif mendadak.
Namun, argumen ini lemah secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan prinsip non-retroaktif biasanya tidak berlaku untuk isu konstitusional yang menyangkut prinsip dasar negara.
Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya: lembaga eksekutif bisa mengabaikan MK dengan dalih interpretasi sendiri.
Menurut saya, tindakan Kapolri mencerminkan masalah lebih rumit dan ruwet dalam reformasi Polri. Reformasi polri juga tampaknya tak berdaya. Benarlah adanya bahwa reformasi Polri itu sekadar omon-omon di warung kopi.
Indonesia bukan negara polisi, tapi negara hukum di mana supremasi konstitusi harus diutamakan.
Dengan membiarkan anggota Polri tetap menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya melemahkan netralitas Polri, tapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Tentu saja hal Ini bisa memicu konflik kepentingan, di mana polisi yang seharusnya independen justru terlibat dalam kebijakan sipil, potensial menimbulkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Inilah yang menjadi kekhawatiran saya.
Presiden kembalikan kewibawaan hukum
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Presiden Prabowo memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat otoritatif, tetapi juga mencerminkan kewajiban moral untuk menjaga agar seluruh lembaga negara, termasuk Polri, tunduk pada konstitusi.
Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mendesak pemerintah untuk menarik personel Polri dari jabatan sipil. Tindakan ini diharapkan dapat menghormati dan menegakkan keputusan MK yang telah ada.
Langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah bukanlah mempertahankan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025), melainkan melakukan penataan transisi yang sesuai dengan hukum. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, menghentikan sementara implementasi Perpol 10/2025 sampai proses harmonisasi dengan putusan MK selesai. Langkah ini akan memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan regulasi yang ada guna mematuhi keputusan MK.
Kedua, segera menarik anggota Polri aktif dari jabatan sipil yang jelas bertentangan dengan putusan MK. Hal ini esensial untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap profesional dan bebas dari intervensi.
Ketiga, melakukan audit transparan terhadap seluruh bentuk penugasan personel aktif di luar struktur kepolisian. Dengan adanya audit ini, publik akan mendapatkan gambaran jelas tentang penggunaan sumber daya Polri dan menjamin keadilan dalam penugasan.
Keempat, membangun mekanisme transisi yang memungkinkan jabatan-jabatan yang ditinggalkan diisi oleh unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat sipil lain. Ketersediaan layanan publik tidak boleh terganggu selama masa transisi ini.
Mekanisme yang baik akan memastikan kelangsungan pelayanan masyarakat tanpa menyalahi ketentuan hukum.
Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk upaya untuk mencegah erosi terhadap prinsip profesionalitas dan netralitas Polri.
Dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum, pemerintah dapat memperkuat legitimasi institusinya di hadapan publik, serta menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga negara
Pelanggaran terhadap konstitusi tidak selalu terjadi secara frontal. Sering kali ia berlangsung lewat regulasi teknis, keputusan administratif, atau penafsiran yang memelintir makna putusan peradilan.
Dalam kasus ini, Perpol 10/2025 menjadi contoh bagaimana aturan internal dapat menggeser batas-batas konstitusional secara perlahan, tapi signifikan.
Ketika MK telah mengeluarkan putusan final, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan panjang, melainkan kepatuhan. Mengabaikannya berarti membiarkan marwah negara hukum terkikis sedikit demi sedikit.
Polri membutuhkan kepercayaan publik untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan itu hanya dapat bertahan jika institusi kepolisian menunjukkan komitmen terhadap prinsip dasar negara hukum.
Indonesia bukan negara polisi. Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, langkah apa pun yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat harus dihentikan.
Tugas negara hari ini bukan hanya memperkuat supremasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada lembaga yang berdiri di atas konstitusi.
Dalam setiap langkah kita menuju keadilan, sangat jelas bahwa hukum harus menjadi penuntun, bukan sekadar aturan yang bisa diabaikan.
Ketika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan putusan hukum, kita bukan hanya menghadapi ancaman terhadap integritas institusi, tetapi juga mengorbankan kepercayaan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah.
Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bijaksana, serta aparat yang mampu menjaga netralitasnya dalam setiap keputusan.
Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menantang setiap bentuk pembangkangan hukum yang merusak fondasi konstitusi.
Marilah kita bergerak bersama, mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk kembali pada prinsip-prinsip yang mendasar, demi masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Polisi kembalilah mengayomi bukan menguasai.
Tag: #kritis #integritas #pembangkangan #polri #atas #putusan