Politik Narcissus di Negeri Para Ketua
Ilustrasi.(KOMPAS/TOTO SIHONO)
05:46
25 Juni 2025

Politik Narcissus di Negeri Para Ketua

DI MEDAN, ada istilah yang sangat populer dan masyhur di berbagai kalangan, yakni kata “ketua”, “engkol”, dan “mengumbang”. Istilah-istilah ini lazim digunakan mulai dari kalangan cendekia hingga akar rumput.

Tulisan ini meminjam ketiga frasa itu untuk menjelaskan benang kusut sosial politik Indonesia dalam bingkai yang disebut sebagai “politik narsistik”.

Istilah ini bukan hanya kosakata lokal, tetapi cerminan struktur sosial dan psikologis yang terbentuk dari budaya relasi kuasa.

Ketiga istilah tersebut menunjukkan bagaimana identitas politik terbentuk, dirawat, dan disimbolkan dalam narasi sehari-hari.

Istilah ini tak sekadar kosakata, tetapi bagian dari ekologi sosial-politik yang memperlihatkan bagaimana simbolisme dapat menggeser substansi.

Ia mencerminkan cara kekuasaan dimaknai, dipertontonkan, dan dikelola di ranah publik, sekaligus memperlihatkan sisi rapuh dari demokrasi simbolik.

Dalam mitologi Yunani, Narcissus adalah pemuda tampan yang dikutuk jatuh cinta pada bayangan dirinya sendiri. Ia akhirnya mati karena tak mampu melepaskan diri dari refleksi wajahnya di permukaan air.

Kisah ini menjadi simbol obsesi pada citra diri dan ketidakmampuan membangun relasi sejati. Dalam konteks ini, Narcissus menjadi metafora untuk memahami bagaimana kekuasaan dan kebijakan seringkali dikonstruksi demi memuja citra pemimpin.

Narcissus tak hanya gagal mengenali kenyataan, tetapi juga terperangkap dalam cermin identitas yang semu.

Inilah gambaran dari kekuasaan yang tidak lagi melihat rakyat sebagai tujuan, tetapi menjadikan dirinya sebagai pusat imajinasi politik.

Dalam ruang kekuasaan kontemporer, narasi tentang Narcissus menemukan bentuk baru. Ketika pemimpin lebih sibuk mengatur pencitraan ketimbang pengaruh nyata, kita melihat cermin mitologis itu hidup dalam praktik kekuasaan modern.

Tiga istilah tadi membentuk konstruksi sosial politik yang khas. 'Ketua' merepresentasikan status simbolik yang datang dengan beban sosial tinggi.

'Engkol' adalah strategi pencitraan—baik bagi yang melakukannya maupun yang menerima dampaknya.

Sedangkan 'mengumbang' adalah teknik mengangkat lalu menjatuhkan, sebuah seni dalam memainkan narsisme kekuasaan.

Dalam praktiknya, istilah ini menjadi pisau bermata dua—membentuk loyalitas dan pada saat yang sama memelihara kepalsuan.

Istilah-istilah ini telah menubuh dalam tata komunikasi politik lokal dan membentuk gaya kepemimpinan yang cenderung berorientasi simbol.

Bahkan dalam praktik elektoral, ketiga istilah itu hidup dalam interaksi antara elite dan massa. Ia mengatur siapa yang layak naik, siapa yang harus menjaga jarak, dan siapa yang siap dijatuhkan demi tatanan relasi kuasa yang stabil secara simbolik, tapi rapuh secara moral dan struktural.

Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism menggambarkan masyarakat yang menjadikan ruang publik sebagai panggung ego.

Jan-Werner Müller menjelaskan bahwa populisme melahirkan pemimpin yang mengidentikkan diri dengan negara.

Sementara Erich Fromm melihat narsisme sebagai pelarian dari ketidakamanan eksistensial. Semua ini membantu memahami fenomena politik narsistik hari ini.

Lasch mengingatkan bahwa narsisme bukan sekadar perilaku individu, tetapi struktur sosial.

Müller memperlihatkan bahaya dari klaim eksklusif kebenaran oleh pemimpin yang merasa diri satu-satunya representasi rakyat.

Fromm menekankan bahwa kekuasaan yang narsistik akan lebih sibuk melindungi citra daripada menyelesaikan persoalan nyata.

Ketiganya menegaskan bahwa narsisme bukan sekadar penyakit personal, melainkan bisa menjadi ideologi politik diam-diam yang dijalankan dengan penuh kesadaran.

Kekuasaan yang berorientasi citra menjadikan rakyat sebagai latar belakang, bukan subjek utama kebijakan.

Gejala politik narsisme dalam kebijakan

Di banyak ruang publik, pemimpin tampil sebagai pusat narasi—bukan sebagai pelayan publik, tetapi ikon yang dipuja.

Istilah ‘ketua’ menjadi status kultural yang mengharuskan pengawalan dan pemujaan. ‘Engkol’ menjadi alat untuk menjaga jarak dengan kekuasaan, dan ‘mengumbang’ sebagai cara menyusun atau merontokkan citra.

Maka tak heran jika wajah pemimpin lebih sering muncul di spanduk ketimbang data kebijakan. Fenomena ini menandai pergeseran dari orientasi pelayanan menjadi pertunjukan berulang tentang siapa yang layak dipuja.

Politik narsistik dalam kebijakan tampak dari: (1) kebijakan demi pencitraan, (2) proyek prestise tak berkelanjutan, (3) minim partisipasi publik, (4) pengambilan keputusan yang sentralistik, dan (5) komunikasi yang lebih visual daripada substansial.

Dari kelima ciri itu, bisa disimpulkan bahwa kebijakan menjadi sarana glorifikasi personal, bukan alat intervensi struktural.

Politik menjadi ruang sinematik, tempat pencapaian dikisahkan secara dramatis dan penuh muatan emosional, tapi miskin substansi jangka panjang.

Relasi kuasa kemudian tidak lagi berbasis mandat rakyat, melainkan pada performa. Seseorang dipilih bukan karena kapasitas, tetapi karena tampilan dan retorika.

Kritik terhadap kebijakan bisa dengan cepat ditafsirkan sebagai penolakan terhadap 'citra', bukan sebagai evaluasi rasional terhadap keputusan publik.

Kebijakan sering dibuat bukan sebagai solusi struktural, tapi untuk mengejar efek emosional sesaat—viralitas, simpati publik, atau tepuk tangan media sosial.

Masyarakat dijadikan penonton atas pertunjukan heroisme semu, bukan subjek perubahan. Kebijakan berubah dari alat transformasi menjadi alat pemujaan.

Proyek mercusuar diluncurkan tanpa rencana keberlanjutan, sekadar memantik efek visual dan menenangkan pasar simpati.

Efektivitas kebijakan menjadi nomor sekian, selama framing dan respons publik di media sosial bisa dikendalikan.

Akibatnya, banyak ruang publik menjadi ladang kontestasi visual, bukan arena pertukaran gagasan. Keberanian berpikir dikalahkan oleh keahlian berpose.

Inilah paradoks demokrasi era narsistik: semakin terlihat, semakin dipercaya, walau tak selalu berdasar realitas lapangan.

Gejala ini memperlemah ruang partisipasi. Kritik dianggap serangan pribadi karena pemimpin mengidentikkan dirinya dengan negara.

Sistem deliberatif melemah, digantikan budaya loyalitas. Partisipasi menjadi formalitas belaka, sedangkan keputusan dibuat berdasarkan intuisi politis, bukan evaluasi rasional.

Keterlibatan rakyat diposisikan bukan sebagai pemegang kedaulatan, tetapi sebagai penonton yang harus bersorak. Padahal demokrasi mensyaratkan dialog, bukan sekadar aklamasi. Ketika kritik dibungkam, negara kehilangan fungsi korektifnya.

Budaya narsistik ini tumbuh karena masyarakat permisif terhadap pencitraan, media lebih suka tayangan heroik ketimbang debat substantif, dan pendidikan politik kritis minim.

Masyarakat pun tanpa sadar menjadi pengumbang atau pengengkol, yang membantu melanggengkan logika narsisme.

Ketika ruang publik lebih menghargai retorika daripada rekam jejak, maka pemimpin hanya perlu piawai berbicara, bukan bekerja.

Pendidikan politik yang dangkal, media yang pragmatis, dan masyarakat yang lebih mencintai euforia menjadi lahan subur bagi narsisme kolektif.

Politik narsistik menggantikan nilai dengan impresi, kolektivitas dengan kultus individu. Demokrasi yang sehat tidak lahir dari pemujaan pada ‘ketua’, tetapi dari warga yang kritis menjaga ruang publik dari simbolisme menyesatkan.

 

Demokrasi butuh substansi, bukan sekadar sensasi. Ini bukan hanya soal figur, tetapi soal arah politik nasional.

Demokrasi harus dibangun di atas kesadaran kritis, bukan mitos tokoh penyelamat. Dalam masyarakat yang sehat, pemimpin adalah pelayan ide, bukan penguasa atas simbol.

Kegelisahan muncul ketika narsisme bukan lagi soal individu, tetapi sistem. Kebijakan publik kehilangan empati, menolak evaluasi, dan menjadikan pemimpin pusat segalanya.

Gejala ini bisa disebut sebagai Narcissistic Policy Disorder—bukan diagnosis medis, tetapi istilah reflektif untuk menggambarkan kebijakan yang lebih mencerminkan ego kekuasaan daripada kebutuhan rakyat.

Dalam kondisi ekstrem, seluruh sistem pemerintahan dapat berubah menjadi alat pemantul ego tunggal.

Jika seluruh institusi hanya berfungsi sebagai penguat narasi personal, maka kebijakan publik kehilangan jiwa dan jangkarnya.

Sebagai masyarakat demokratis, kita harus membalik logika ini. Menilai pemimpin dari hasil, bukan hanya narasi.

Melihat kebijakan dari dampak, bukan hanya dari iklan. Menjaga agar ruang deliberatif tetap hidup adalah tugas intelektual sekaligus tanggung jawab kewargaan.

Narcissistic Policy Disorder adalah panggilan untuk meninjau kembali cara kita menilai kebijakan, tidak hanya dari efektivitas teknis, tetapi dari moralitas dan etika kekuasaan.

Jika kebijakan hanya menjadi cermin pemimpin, maka demokrasi kehilangan arah. Kritik bukan oposisi, tetapi kewarasan publik yang harus dijaga bersama.

Ini juga merupakan ajakan agar akademisi, jurnalis, dan warga aktif terlibat membongkar mekanisme narsisme struktural.

Refleksi publik harus terus dilakukan agar kebijakan tetap berpijak pada kebutuhan rakyat, bukan pada kecemasan personal pemimpin akan ketidakabadian.

Gagasan ini mengajak kita semua, terutama akademisi dan aktor masyarakat sipil, untuk lebih kritis membaca bahasa kekuasaan.

Jika tidak, maka kita berisiko terjebak dalam lingkaran kebijakan yang indah di poster, tetapi hampa di lapangan. Demokrasi yang demikian hanya akan melahirkan kekuasaan yang anti-kritik, rapuh, dan penuh ilusi.

Tag:  #politik #narcissus #negeri #para #ketua

KOMENTAR