



Amien Rais dan Perebutan Kuasa
AMIEN Rais, tokoh Reformasi 1998 sekaligus pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), kini kembali jadi sorotan karena konflik internal di partai barunya, Partai Ummat.
Sebagai Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Amien diduga mengambil langkah sepihak yang memicu perpecahan di kalangan kader.
Ironisnya, sosok yang dulu lantang menyerukan demokrasi kini justru dituding bersikap otoriter terhadap partainya sendiri.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apa yang terjadi pada Amien Rais hingga terjebak dalam perebutan kuasa internal, dan apa artinya ini bagi dirinya maupun budaya politik kita?
Konflik internal Partai Ummat
Gelombang protes di tubuh Partai Ummat mencuat setelah Majelis Syuro yang diketuai Amien Rais mengubah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai secara sepihak pada akhir 2024.
Perubahan ini menghapus mekanisme demokratis seperti Musyawarah Nasional (Munas), Musyawarah Wilayah, hingga Musyawarah Daerah – bahkan menghilangkan forum pertanggungjawaban pengurus melalui kongres.
Praktis, seluruh kekuasaan partai terkonsentrasi di tangan Ketua Majelis Syuro tanpa mekanisme check and balance.
Menurut Herman Kadir (Anggota Mahkamah Partai Ummat), AD/ART baru tersebut “sangat bertentangan dengan Undang-Undang Partai Politik. Ia menilai langkah ini mencederai prinsip demokrasi internal partai.
Respons atas perubahan sepihak itu begitu keras. Sedikitnya 24 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Ummat melaporkan keberatan mereka ke Mahkamah Partai.
Mereka juga menyurati Kementerian Hukum dan HAM agar penetapan AD/ART baru dibatalkan, bahkan siap menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika aspirasi mereka diabaikan.
Herman Kadir menegaskan gugatan ini adalah bentuk perlawanan terhadap “kesewenang-wenangan Majelis Syuro dan DPP” di bawah Amien Rais. Baginya, Majelis Syuro telah menyimpang dari nilai-nilai keadilan yang justru menjadi dasar pembentukan Partai Ummat.
Dampak konflik internal ini sudah nyata. Pengurus Partai Ummat DI Yogyakarta (DIY) bahkan nekat membubarkan diri sebagai bentuk protes.
Menariknya, tidak semua kader sepakat dengan gelombang protes terhadap Amien. DPW Partai Ummat Jawa Timur, misalnya, menyatakan tegak lurus mendukung Amien Rais dan enggan ikut menggugat.
Sikap loyalitas tanpa syarat dari sebagian kader ini menunjukkan bahwa Amien masih punya pengikut setia, sekaligus menggambarkan terbelahnya Partai Ummat antara kubu reformis dan kubu status quo.
Jejak politik Amien Rais: Dari Reformasi ke Partai Ummat
Untuk memahami konteks terkini, penting menengok sejenak perjalanan politik Amien Rais. Ia pernah menjadi tokoh sentral reformasi 1998 yang menggulingkan Orde Baru, lalu mendirikan PAN pada 1998 sebagai kendaraan politiknya.
Amien bahkan menjabat Ketua MPR RI (1999-2004) dan mencoba peruntungan sebagai calon presiden pada Pilpres 2004.
Namun, pencalonannya gagal total – berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo dan diusung koalisi 8 partai, Amien hanya meraih sekitar 17,39 juta suara (14,7 persen) dan tersingkir di putaran pertama. Kegagalan tersebut menandai surutnya pamor politik Amien secara nasional.
Dalam perjalanannya, Amien kian berseteru dengan kader-kader muda di PAN. Puncaknya menjelang Kongres V PAN 2020 di Kendari, pengaruh Amien di partai yang ia dirikan sendiri justru memudar.
Sosok yang pernah dianggap kingmaker di PAN ini kalah dalam pertarungan internal: calon ketua umum yang ia dukung tidak terpilih.
Merasa aspirasinya terpinggirkan, Amien memutuskan hengkang dari PAN pada 2020. Tak lama berselang, ia mendeklarasikan berdirinya Partai Ummat pada 29 April 2021, di Yogyakarta.
Partai baru ini digadang-gadang berasas Islam populis dengan slogan perjuangan menegakkan keadilan dan melawan kezaliman.
Menantunya, Ridho Rahmadi, didapuk menjadi ketua umum pertama Partai Ummat, sementara Amien menempati posisi kunci sebagai Ketua Majelis Syuro.
Sayangnya, Partai Ummat tidak langsung moncer. Di Pemilu 2024, partai ini gagal meraih suara signifikan (hanya sekitar 1 persen secara nasional) sehingga tidak lolos ambang batas parlemen.
Pasca-Pemilu, Partai Ummat bahkan mengubah haluan politiknya. Meski awalnya tergabung dalam koalisi oposisi pendukung Anies Baswedan pada Pilpres 2024, setelah Prabowo Subianto menang, Amien Rais justru menyatakan Partai Ummat mendukung pemerintah Prabowo-Gibran.
Langkah pragmatis ini mengejutkan banyak pihak, mengingat citra Partai Ummat yang kritis terhadap pemerintah sebelumnya.
Namun, di sinilah terlihat sisi lain Amien: ia pandai bermanuver agar tetap relevan dalam kekuasaan, sekalipun harus berbalik arah.
Cerminan budaya politik
Amien Rais tak asing melontarkan kritik keras terhadap lawan politik. Misalnya, ia pernah menuduh Jokowi selaku Presiden membangun “dinasti politik” dan mewariskan nepotisme ketika putra Jokowi (Gibran) maju di Pilkada.
Pada 2019, Amien juga getol berteriak soal kecurangan pemilu dan bahkan mengancam “people power” jika Jokowi menang dengan curang.
Singkat kata, Amien kerap memosisikan diri sebagai pejuang moral anti-korupsi, anti-ketidakadilan, dan penjaga demokrasi.
Namun kini, tudingan-tudingan itu berbalik mengarah padanya. Apa yang terjadi di Partai Ummat ibarat cermin yang memperlihatkan wajah ganda Amien Rais.
Di satu sisi, ia menyerukan penegakan demokrasi bersih di tingkat nasional. Bahkan Desember 2024 lalu, Amien secara terbuka meminta Presiden Prabowo memperbaiki demokrasi Indonesia yang “sudah carut-marut” agar menjadi demokrasi yang bersih, jujur, dan adil.
Di sisi lain, Amien justru dituduh mengkhianati prinsip demokrasi di rumah tangganya sendiri. Mengesahkan perubahan AD/ART tanpa musyawarah, mengangkat ketua umum baru tanpa Munas, serta mengabaikan aspirasi para kader daerah – langkah-langkah itu mencerminkan sikap "semau gue" yang dahulu amat ia tentang.
Kisruh yang menimpa Amien Rais dan Partai Ummat sejatinya merupakan miniatur dari budaya politik Indonesia yang lebih luas.
Pertama, fenomena personalisasi partai sangat kental terlihat. Partai Ummat dibangun di sekitar kharisma Amien Rais, mirip dengan banyak partai lain yang bertumpu pada tokoh sentral (sebut saja PDI-P dengan Megawati, Gerindra dengan Prabowo, atau Demokrat dengan SBY).
Konsekuensinya, aturan dan mekanisme internal partai sering kali fleksibel mengikuti kehendak elite daripada ditegakkan secara konsisten.
Kasus Amien mengubah AD/ART sepihak tanpa Munas mencerminkan hal ini – aturan main partai bisa diutak-atik demi mengamankan dominasi figur tertentu.
Dalam demokrasi yang belum mapan, pelembagaan partai memang cenderung lemah dan mudah berubah sesuai manuver elite.
Kedua, kultur kartel kekuasaan dan pragmatisme juga tergambar jelas. Langkah Amien mengarahkan Partai Ummat mendukung pemerintah setelah sebelumnya oposisi menunjukkan kecenderungan politisi kita yang lentur berkoalisi demi posisi, ketimbang konsisten pada platform ideologis.
Budaya cawe-cawe (ikut campur) senior partai dalam setiap urusan juga masih kuat. Amien misalnya, meski secara formal bukan ketua umum, tetap memegang kendali penuh melalui jabatan Majelis Syuro.
Dominasi tokoh sepuh semacam ini membuat regenerasi kepemimpinan partai tersendat, sehingga ketika terjadi konflik, jalan tengahnya sering buntu dan berujung perpecahan (seperti keluarnya Amien dari PAN, lalu pecahnya kader Ummat sekarang).
Ketiga, kasus Amien Rais menyoroti masalah minimnya demokrasi internal di banyak partai politik kita. Idealnya, partai harus jadi sekolah demokrasi – tempat kader dilatih berdemokrasi secara sehat.
Namun realitanya, prosedur demokratis seperti kongres, pemilihan ketua, ataupun mekanisme check and balance internal kerap diabaikan jika dianggap menghambat kepentingan pimpinan.
Alhasil, konflik kepentingan diselesaikan bukan melalui musyawarah mufakat, melainkan dengan cara kalah-menang atau breakaway (membentuk kubu baru).
Partai Ummat bukan satu-satunya contoh; sebelumnya kita melihat Partai Demokrat pernah terbelah (KLB vs kepemimpinan AHY), PPP juga pecah kongsi, dan banyak politisi yang lompat partai saat tak puas dengan keputusan internal.
Fragmentasi semacam ini sudah seperti pola baku dalam politik Indonesia, menandakan bahwa pelembagaan demokrasi di tingkat partai masih lemah.
Terakhir, episode Amien Rais ini juga memperlihatkan kemunafikan politik (political hypocrisy) yang sayangnya jamak ditemui.
Tokoh yang vokal menyerukan anti-KKN dan pro-demokrasi di luar, belum tentu mempraktikkan hal serupa di lingkup organisasinya sendiri.
Wacana moral kerap digunakan sebagai senjata retorika, tapi ketika berhadapan dengan godaan kekuasaan, prinsip bisa tawar-menawar.
Ini mengingatkan kita untuk lebih skeptis terhadap politikus yang berslogan muluk; lihatlah apakah tindakannya sejalan dengan ucapannya.
Dalam kasus Amien, gap antara retorika dan realitas itulah yang justru menghancurkan kredibilitasnya di mata sebagian pendukungnya.
“Reformasi dimulai dari diri sendiri” – barangkali itulah pelajaran paling berharga dari kisruh Amien Rais dan Partai Ummat.
Perjalanan karier Amien bak siklus naik-turun yang tragis: dari pahlawan reformasi menjadi pentolan partai yang ditinggalkan.
Perebutan kuasa yang menimpanya menunjukkan bahwa power struggle dapat terjadi di mana saja, bahkan dalam partai yang didirikan atas nama idealisme tinggi.
Bagi Amien Rais, kondisi “terpojok di rumah sendiri” ini seharusnya menjadi bahan perenungan: apakah ambisi pribadinya telah menggelincirkan perjuangan suci yang dulu ia kumandangkan?
Lebih luas, drama ini menjadi cermin buram bagi budaya politik Indonesia. Selama partai politik masih dikelola laksana milik pribadi, selama elite merasa berhak bertindak semaunya, maka konflik internal semacam ini akan terus berulang.
Demokrasi yang sehat harusnya tumbuh dari bawah, dimulai dengan partai yang demokratis dan transparan.
Jika figur sekelas Amien Rais saja bisa khilaf tergoda kuasa absolut, tentu pekerjaan rumah kita masih panjang untuk membangun kultur politik yang dewasa.
Pada akhirnya, publik bisa mengambil hikmah: nilai-nilai demokrasi tidak boleh hanya jadi jargon, tapi mesti dipraktikkan secara konsisten, baik di panggung nasional maupun di dalam partai sendiri.
Seperti kata pepatah, “kuasa cenderung korup; kuasa absolut pasti korup”. Semoga para tokoh politik kita – termasuk Amien Rais – ingat akan hal itu sebelum terlambat.
Tag: #amien #rais #perebutan #kuasa