



Raja Ampat dan Kutukan Sumber Daya
MARI belajar dari kisah Nauru pada 1970-an dan 1980-an. Baru merdeka pada 1968, negara yang tak lebih luas dari kecamatan Jagakarsa di Jakarta itu langsung menjelma menjadi negara kaya dan makmur.
Pertambangan fosfat, yang hampir 90 persen digunakan sebagai bahan pupuk, langsung mendongkrak penerimaan ekspor negeri kecil yang hanya seluas 21 km persegi itu. PDB per kapitanya tertinggi kedua di dunia saat itu.
The New York Times menjuluki Nauru sebagai “pulau kecil terkaya di dunia”.
Namun, cerita indah itu hanya sebentar. Pertambangan fosfat membawa kutukan: ekonomi Nauru bertumpu sepenuhnya pada fosfat, sementara sektor industri dan pertanian tak berkembang.
Tidak ada diversifikasi ekonomi. Untuk mengantisipasi menurunnya cadangan fosfat, Nauru membentuk dana perwalian (Trust Fund).
Namun, apa artinya menyimpang kekayaan di brankas jika kuncinya dipegang para maling. Di tangan pejabat Nauru yang korup, dana ini dipakai membeli aset tak profit, investasi yang berujung gagal, bahkan dihamburkan untuk proyek nir-manfaat.
Misalnya, mereka membuang uang 2 juta dollar AS untuk mendanai proyek musikal bertema Leonardo da Vinci di London, Inggris.
Memasuki 1990-an, ekspor fosfat mulai menurun, Nauru mulai terlilit krisis keuangan. Negeri itu berubah menjadi tempat pencucian uang.
Yang lebih mengerikan, penambangan fosfat tanpa kendali menyebabkan 70 persen wilayah Nauru tandus dan tak bisa dihuni lagi.
Kisah Nauru adalah pelajaran paling gamblang dari kutukan ekstraktivisme. Cerita Nauru bukan dongeng di seberang lautan, tetapi sangat mungkin juga terjadi pada kita.
Kutukan sumber daya
Tahun 1993, ketika Nauru mulai terpuruk dalam kehancurannya, seorang ahli geografi ekonomi dari Lancaster University, Richard Auty memperkenalkan konsep: kutukan sumber daya alam atau paradoks keberlimpahan (resource curse).
Menurut Auty, negara-negara yang berkelimpahan sumber daya, seperti minyak dan gas, seringkali mengalami performa ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang lebih buruk dibanding negara-negara yang sumber dayanya terbatas.
Penyebabnya cukup beragam. Pertama, ketergantungan terhadap eksploitasi SDA memicu penyakit yang disebut penyakit Belanda (Dutch Disease).
Ketika negara mendadak kaya karena ekspor komoditas, misalnya migas dan minerba, maka mata uangnya akan menguat.
Penguatan mata uang itu berdampak pada ekspor non-gas, terutama manufaktur dan pertanian, menjadi lebih mahal dan tidak kompetitif. Di sisi lain, karena mata uang asing lebih murah, impor juga meningkat pesat.
Selain itu, biasanya sektor yang lagi mengalami booming komoditas akan memicu apa yang disebut efek pergeseran sumber daya (resource movement effect), yaitu mobilisasi besar-besaran modal dan tenaga kerja dari lagging sector (pertanian dan industri) menuju booming sector (migas). Kombinasi ketiga hal di atas memicu deindustrialisasi dini.
Kedua, negara kaya SDA kerap bergantung pada ekspor komoditas yang harganya fluktuatif (volatility).
Pada saat booming komoditas, mereka seakan mendapat rezeki nomplok, lalu jor-joran dalam pengeluaran dan meluncurkan proyek-proyek mercusuar yang sering kali tidak produktif.
Namun, ketika harga komoditas anjlok, pendapatan negara terjun bebas, proyek-proyek mangkrak, dan bergantung pada utang untuk menutupi defisit anggaran.
Ketiga, ekonomi ekstraktif, yang bertumpu pada eksploitasi SDA untuk diekspor dalam bentuk mentah, tidak menciptakan nilai tambah (value added).
Nilai tambah hanya terjadi jika ada pengolahan atau proses manufaktur. Mereka hanya menjual nilai ekonomis yang sudah terkandung di SDA tersebut.
Nah, demi mendapat keuntungan ekonomis itu, para pemain ekstraktif menyiasati izin konsesi, meminimalkan biaya eksplorasi, keringanan bea ekspor, keringanan pajak, berharap insentif produksi, dan lain-lain.
Semua proses itu membutuhkan mekanisme politik atau kedekatan dengan pejabat politik. Makanya, ekonomi ekstraktif berkelindan dengan ekonomi pemburu rente (rent seeking) dan kapitalisme kroni.
Terakhir, negara kaya SDA sering abai menyisihkan keuntungan ekspornya demi membangun human capital (Gylfason 2001). Penyebabnya, ekonomi ekstraktif tidak membutuhkan inovasi dan tenaga kerja terampil.
Temuan Auty diperkuat oleh penelitian Jeffrey Sach dan Andrew Warner yang bertajuk ”Natural Research Abundance and Economic Growth” (1995).
Dengan meneliti 95 negara selama 20 tahun (1970-1990), Sach dan Warner sampai pada kesimpulan bahwa negara-negara miskin sumber daya, seperti Swiss, Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura, bisa mengungguli negara kaya sumber daya.
Peringatan dari Raja Ampat
Hari-hari ini, perhatian kita tertuju ke ufuk timur Indonesia: Raja Ampat. Daerah yang dijuluki “sepenggal surga yang jatuh ke bumi” itu sedang terancam oleh ekspansi pertambangan nikel.
Dengan kekayaan alamnya, pariwisata Raja Ampat sudah berhasil menarik lebih 30.000 wisatawan pada 2024 dan menyetor Rp 150 miliar untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Raja Ampat.
Bahkan, dengan jumlah wisatawan asing sampai 70 persen, pariwisata Raja Ampat bisa menghasilkan 21 juta dollar AS atau lebih dari Rp 300 miliar per tahun.
Namun, nafsu ekstraktivisme tak mengenal rasa cukup. Potensi nikel dalam perut pulau-pulau kecil di Raja Ampat, seperti Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele, mengundang perusahaan nikel data menyemut.
Meskipun itu melabrak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), yang melarang kegiatan pertambangan di pulau yang berukuran kurang dari 2000 km persegi.
Raja Ampat hanya peringatan betapa negeri ini belum menjauh dari ancaman kutukan sumber daya.
Sejak 423 tahun lampau, terhitung ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menginjakkan kaki di tanah Nusantara, negeri ini sudah terperangkap dalam ekonomi yang bertumpu pada SDA (ekstraktif).
Sejak itu, bahaya kutukan sumber daya terus mengancam: pertumbuhan ekonomi bergantung pada booming komoditas, deindustrialisasi dini, sistem politik yang korup, dan pengabaian terhadap pembangunan SDM.
Kita lupa dengan filosofi yang menjadi semangat kemajuan bangsa Jepang: kekayaan terbesar bangsa bukanlah apa yang terkandung di bawah tanahnya, melainkan apa yang tertanam di kepala dan etos kerja rakyatnya.