Gaji Hakim Meroket Integritas Menyusut
Petugas membawa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (tengah) menuju mobil tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (12/4/2025). Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka kasus dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, antara lain Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Mu
05:52
13 Juni 2025

Gaji Hakim Meroket Integritas Menyusut

NEGARA sedang berbaik hati. Presiden baru, mimbar baru, dan semangat baru menyelimuti Mahkamah Agung.

Pada 12 Juni 2025, sebanyak 1.451 hakim dikukuhkan dengan prosesi yang bukan hanya penuh simbolisme hukum, tetapi juga janji kesejahteraan yang tak main-main: kenaikan gaji hingga 280 persen.

Presiden Prabowo Subianto menyatakan, ini adalah bentuk penghormatan negara terhadap kehormatan profesi. Bahkan lebih jauh, beliau siap memotong anggaran kementerian pertahanan atau kepolisian demi memenuhi komitmen ini.

Namun publik bertanya, apakah gaji yang meroket akan serta-merta menaikkan integritas? Apakah toganya akan makin putih, atau justru makin mahal untuk dicemari?

Angka dan antusiasme

Peningkatan gaji ini disebut-sebut yang tertinggi dalam sejarah peradilan Indonesia. Hakim golongan IIIa, yang sebelumnya bergaji pokok sekitar Rp 2,7 juta per bulan, kini menerima lebih dari Rp 10 juta.

Untuk golongan IVe, penghasilan bisa menyentuh Rp 24 juta per bulan, di luar tunjangan struktural dan kehakiman.

Dari perspektif negara, ini adalah investasi dalam supremasi hukum. Dari perspektif publik, ini adalah ujian: apakah insentif mampu melawan suap, apakah angka bisa menutup lubang integritas yang lama menganga?

Masalahnya, sejarah membuktikan bahwa gaji tinggi tak selalu membuat orang berhati tinggi.

Kasus Gazalba Saleh, hakim agung yang ditetapkan sebagai tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada November 2022, menjadi contoh bahwa jabatan tinggi dan penghasilan mapan belum tentu seiring dengan komitmen etik.

Pada 2024, KPK bahkan mengembangkan penyidikan atas dugaan pencucian uang sebesar Rp 20 miliar terkait kasus tersebut.

Ini menampar kepercayaan publik. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya satu nama, tetapi martabat lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan.

Lebih menyedihkan, angka pengaduan pelanggaran etik terhadap hakim juga meningkat. Data dari Komisi Yudisial menunjukkan, sepanjang Januari hingga April 2025, terdapat 401 laporan, naik signifikan dari 267 laporan pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Memang, tidak semua laporan berarti pelanggaran terbukti. Namun angka yang meningkat menunjukkan satu hal: kekecewaan masyarakat terhadap perilaku hakim belum benar-benar turun, meski gaji mereka telah naik.

Ketimpangan yang menganga

Saat hakim dibanjiri kenaikan gaji, pertanyaan lain mengemuka: bagaimana dengan jaksa, penyidik, panitera, dan petugas pengadilan yang turut menopang peradilan?

Bagaimana pula dengan guru di pelosok, perawat di daerah terpencil, atau pengawas pemilu di lapangan?

Apakah negara hanya menyejahterakan palu, tetapi melupakan para penjaga pintu keadilan lainnya?

Ketimpangan ini menciptakan kegaduhan. Tidak sedikit aparat penegak hukum lain yang mempertanyakan prioritas anggaran ini. Sebab, keadilan adalah ekosistem, bukan menara tunggal.

Kenaikan gaji disebut-sebut sebagai strategi mematikan mafia peradilan. Namun, mafia tidak pernah takut angka. Mereka hanya takut integritas.

Mafia hukum bukan soal satu hakim. Mereka bekerja dalam jaringan yang rapi: panitera, pengacara, oknum penegak hukum, bahkan makelar perkara dari luar sistem. Mereka tidak menunggu hakim miskin, mereka menunggu hakim lengah.

Karena itu, kenaikan gaji tanpa perombakan sistem pengawasan, tanpa pembenahan pengelolaan perkara, dan tanpa transparansi putusan, hanya akan mempertebal ilusi bahwa keadilan sedang baik-baik saja.

Publik tidak anti terhadap kenaikan gaji hakim. Yang ditagih adalah imbal balik. Bahwa dengan hidup lebih layak, hakim akan lebih tegas, lebih berani, dan lebih berpihak kepada keadilan.

Bahwa mereka tidak lagi memutus dengan rasa takut, tidak lagi kompromi dengan kekuasaan, tidak lagi membiarkan hukum diperjualbelikan.

Namun yang terjadi di lapangan, pengadilan masih menjadi tempat yang menakutkan bagi rakyat kecil. Biaya perkara memang bisa diklaim murah, tapi biaya sosial, ongkos mental, dan kelelahan prosedural tetap menjadi momok.

Ketika rakyat datang ke pengadilan dengan ketakutan, maka di situlah keadilan kehilangan artinya.

Dalam demokrasi, pengadilan adalah tempat terakhir bagi rakyat untuk berharap. Ketika semua lembaga gagal, mereka berharap hakim tetap teguh.

Kini, negara telah membayar palu lebih mahal. Namun, palu bukan jaminan. Yang harus dijaga adalah tangan yang memegangnya.

Dan tangan itu tidak bisa dibeli. Ia hanya bisa dijaga dengan kesadaran etik, keberanian moral, dan sistem yang berpihak pada transparansi.

Negara boleh bermurah hati, tapi publik berhak curiga.

Kenaikan gaji hakim sebesar 280 persen adalah kebijakan yang monumental. Tanpa penguatan pengawasan, tanpa reformasi menyeluruh, dan tanpa keterbukaan, ia bisa berubah menjadi kemewahan tanpa makna.

Kita tak butuh hakim yang hanya gagah di balik toga. Kita butuh hakim yang bersih meski dipaksa kotor, tegas meski ditekan, dan adil meski sendirian.

Karena di tangan para hakim, nasib keadilan ditentukan. Dan ketika gaji meroket, integritas tak boleh menyusut.

Tag:  #gaji #hakim #meroket #integritas #menyusut

KOMENTAR