Blusukan dan Kontestasi Kekuasaan
Ilustrasi.(KOMPAS/TOTO SIHONO)
06:48
12 Juni 2025

Blusukan dan Kontestasi Kekuasaan

FENOMENA blusukan pemimpin tidak lagi menjadi proses satu arah. Kini blusukan kerap menghadirkan panggung kontestasi dinamik antara pemimpin dan masyarakat.

Masyarakat menjadi aktor yang kritis dan berbeda pendapat dengan pemimpin. Masyarakat tidak sekadar menjadi obyek yang tunduk-patuh dan pemimpin pun harus memperbarui strategi dan taktik memengaruhi masyarakat.

Fenomena sosial tersebut sejalan dengan perubahan cara pandang tentang hubungan kekuasaan dan praktiknya di lapangan.

Kekuasaan dalam makna otoritatif yang selalu melekat pada kekuatan sistem/struktur yang mapan telah melonggar.

Pemaknaan dan praktik kekuasaan berkembang ke arah yang lebih dinamik yang melekat pada aktor-aktor pada berbagai level.

Kemajuan pemikiran sosial, penguatan demokrasi, kesadaran hak warga negara, dan hak asasi manusia telah mendinamisasi kontestasi kekuasaan berbasis aktor.

Rakyat/warga tidak hanya sekadar menjadi komponen dan obyek yang dikendalikan oleh kekuatan struktur/sistem yang terpusat.

 

Rakyat/warga terus memperbarui posisinya menjadi aktor dengan kesadaran sebagai subyek yang aktif berkontestasi memengaruhi sistem (Saifuddin, 2011; Maring, 2022).

Pada sisi lain, para penguasa harus berhitung ulang dan menempuh strategi/taktik mengurus masyarakat secara persuasif. Tindakan represif, pemaksaan kehendak, dan otoriter tidak patut dipertontonkan para penguasa.

Geliat kuasa aktor

Konstruksi pemikiran di atas terpentas dalam realitas empirik. Semenjak pelantikan pejabat pemerintahan, perhatian publik banyak tertuju pada fenomena blusukan pemimpin ke titik-titik letupan masalah sosial di jalanan, pemukiman kumuh, dan bantaran sungai.

Fenomena terkini memperlihatkan pemimpin yang blusukan siap berkontestasi dengan aktor-aktor di lapangan yang kritis dan berbeda pandangan dengan penguasa.

Pemimpin siap turun lapangan, berdebat, dan berargumentasi dengan aktor-aktor yang tidak mudah dibungkam melalui pemberian sembako.

Dari wilayah Jawa Barat, misalnya, saat ini tampil pemimpin yang siap blusukan dan berdebat dengan sopir truk proyek yang mengotori jalan raya.

Sang pemimpin berdialog dengan siswa, guru, dan orangtua yang menentang pengaturan perpisahan sekolah, study tour, dan pembatasan wisuda lulusan pendidikan dasar/menengah.

Ia siap menghadapi pengusaha wisata wilayah hulu yang memicu banjir bandang dan para penentang pengiriman siswa ke barak militer.

Akibat kasus terakhir, sang pemimpin dilaporkan ke Polisi dan pada kasus lain ia ditolak keluarga yang menganggap diintervensi terlalu jauh.

Realitas empirik serupa sedang berlangsung di wilayah lain. Di Jawa Timur, misalnya, melalui pemberitaan terlihat pemimpin yang sering blusukan dan bertatap muka dengan aktor-aktor di balik masalah penyerobotan lahan, ketidakadilan terhadap warga, tindakan penyempitan bantaran kali, dan arogansi perusahaan terhadap karyawan.

Bahkan, akibat kasus terakhir berupa penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan, sang pemimpin dilaporkan ke Polisi sehingga menyita perhatian publik dan intervensi pemerintah pusat.

Dalam berbagai peristiwa yang muncul ke permukaan terlihat warga lugas berargumentasi dan menentang tindakan yang dilakukan sang pemimpin yang menghalangi kepentingan mereka.

Pada beberapa kasus terjadi ketegangan dan kritik antara sesama aparatur negara/pemerintah karena kurangnya koordinasi kerja.

Meski terlihat pendekatan lugas, adil, dan berbasis data, tapi beberapa kasus memperlihatkan para penguasa harus menunda aksinya dan melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten.

Teknologi informasi mempercepat penyebarluasan peristiwa. Para penguasa dan warga tampil sebagai aktor-aktor berbeda pandangan, berdebat, dan berargumentasi.

Di balik itu, terekam penilaian dan sikap pro-kontra di tingkat publlik. Publik terpolarisasi dalam sikap membela dan menghakimi (bullying).

Aktor-aktor di tingkat lapangan yang kritis kadang dituding tidak santun, tidak tahu berterima kasih, dan mengkritik tanpa memberi solusi.

Sebaliknya, aktor-aktor yang proaktif turun lapangan dan berkontestasi dengan rakyat dituding sebagai pemimpin berbasis konten dan gemar cari panggung.

Mengacu tujuan bersama

Para pemikir ilmu sosial telah lama memberi rambu-rambu menghadapi kekuasaan berkarakter dinamik (Foucault, 1980; Haryatmoko, 2003).

Perspektif tersebut membuka kesadaran bahwa semua orang memiliki kekuasaan yang melekat dalam dirinya.

Dinamika relasi kekuasaan berlangsung pada semua level dan tidak bisa dihentikan sehingga diperlukan pendekatan persuasif.

Untuk mengelola sumber kekuasaan dan kontestasi dinamik dari semua aktor pada berbagai level, maka diperlukan sabuk pengaman berupa tujuan kekuasaan yang ditransformasi menjadi tujuan bersama.

Kemajuan teknologi membuka ruang kontestasi transparan. Publik menyaksikan pemimpin berdebat dan berargumentasi dengan rakyat.

 

Kadang publik waswas, jangan sampai aktor-aktor terpancing bertindak otoriter dan tidak saling menghormati.

Fenomena sosial dan perubahan di atas akan terus berlangsung dan sulit dihindari. Hal ini membawa konsekuensi yang harus diantisipasi oleh aktor-aktor, baik yang secara sosial-politik berposisi sebagai pemimpin/penguasa maupun kelompok terbesar sebagai warga masyarakat.

Apa yang perlu dilakukan? Para penguasa harus siap dan berbesar hati menerima respons "menolak" dari orang yang hendak diatur. Secara dini perlu dibangun gagasan perubahan bersama sebelum eksekusi lapangan.

Penguasa harus ikhlas mendengarkan pikiran/suara yang mempersoalkan gagasan yang ditawarkan. Gagasan perubahan harus dijalankan melalui proses yang terbuka, mendengarkan, dan menyerap aspirasi.

Semua pihak berkepentingan perlu dilibatkan agar tidak terkesan unjuk diri sang penguasa dan pemaksaan kebijakan dadakan.

Pada sisi lain, sebagai warga kita diundang tampil sebagai aktor yang turut mengontrol dan memperjuangkan kepentingan rakyat/publik.

Semua aktor diundang berkontestasi di atas panggung kekuasaan dalam bingkai tujuan bersama tanpa kebencian dan penghakiman.

Semoga pemikiran ini menginspirasi kita mengelola hubungan kekuasaan secara persuasif di tengah dinamika kehidupan sosial kian terbuka.

Tag:  #blusukan #kontestasi #kekuasaan

KOMENTAR