Prabowo, Tradisi Literasi, dan Demokrasi
Presiden Prabowo Subianto menyempatkan diri untuk singgah di toko buku langganannya di sela kunjungan kenegaraan ke New Delhi, India, Jumat (25/1/2025) waktu setempat.(Dok. Instagram Presiden Prabowo Subianto )
05:32
30 Januari 2025

Prabowo, Tradisi Literasi, dan Demokrasi

DI SELA-sela kunjungan kenegaraan ke New Delhi, India, Presiden Prabowo Subianto menyempatkan diri untuk singgah ke toko buku.

“Singgah ke toko buku langganan saya di New Delhi,” tulis Prabowo dalam keterangan di postingan akun Instagram pribadi, @prabowo (Kompas.com, 25/1/2025).

Postingan itu menarik di mata saya. Meskipun remeh temeh di tengah masalah kenegaraan yang berat dan harus diselesaikan Prabowo di usia kepemimpinannya yang belum genap 100 hari kerja.

Presiden singgah ke toko buku sama sekali tak berarti disandingkan dengan pagar laut yang menyita perhatian publik karena keanehan dan keajaibannya. Sangat tak ada apa-apanya dibandingkan dengan urusan korupsi yang sudah sedemikian kronis menyandera negara.

Dari sudut jurnalistik pun, Prabowo mendatangi toko buku dan memborong buku juga bukan berita (news) lagi. Tak punya nilai berita.

Publik sudah mafhum mendengar Prabowo belanja buku, membaca dan mengoleksinya. Sudah banyak yang tahu bahwa Prabowo itu penggila buku. Belanja, membaca dan mengoleksi buku telah menjadi kegemarannya sejak muda.

Tak aneh bila Prabowo juga menulis sejumlah artikel dan buku. Tak aneh pula bila Prabowo di sejumlah ceramah dan pidatonya sangat percaya diri tanpa naskah dan menguasai masalah, baik lingkup nasional maupun internasional.

Dari artikel dan buku-bukunya, Prabowo tampak sangat paham ideologi-ideologi besar dunia dan praktiknya.

Ia juga bukan hanya tahu pemikiran dan seluk-beluk kepemimpinan militer, tapi juga sangat paham kepemimpinan sipil. Prabowo sangat mengerti dan sadar tentang geopolitik bagi sebuah negara.

Tentu saja semua itu berkat kegemaran Prabowo membaca dan kecintaannya pada buku. Tradisi literasi (keberaksaraan) telah secara intensif membentuknya.

Maka, postingan tersebut sudah pasti bukan pencitraan sang presiden. Menurut hemat saya, begitulah seharusnya pemimpin politik dalam lanskap negara demokrasi. Bukan hanya pada level presiden, tapi juga pemimpin politik lainnya.

Para pemimpin politik itu produk tradisi literasi sekaligus agen penting literasi. Kematangan literasi para pemimpin politik Indonesia niscaya membentuk kepemimpinan demokratis.

Keterbukaan

Walter J. Ong menunjukkan bahwa aksara menghasilkan budaya keterbukaan, partisipasi, egalitarianisme. Aksara juga memunculkan budaya kritik.

Buku dan produk keaksaraan lain memisahkan pembaca dari penulisnya. Ada jarak antara penulis dan pembaca yang memungkinkan pembaca melakukan refleksi kritis.

Buku dan produk keaksaraan lain juga menghasilkan persebaran dan perluasan informasi dan pengetahuan. Ia meruntuhkan dominasi, sentralisasi.

Demokrasi mensyaratkan kesanggupan seseorang memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain. Demokrasi membutuhkan kesediaan menerima dan berbagi kepada orang lain.

Karena itu, demokrasi mengandaikan adanya nilai-nilai utama, di antaranya keterbukaan, partisipasi, egalitarianisme dan kritik. Nilai-nilai utama itu bisa ditumbuhkan oleh kekuatan literasi.

Hal itu berbeda dengan tradisi kelisanan (orality). Kelisanan menghasilkan pemusatan, penggabungan, penyatuan. Tak ada jarak antara penutur dan pendengar.

Tradisi kelisanan tak membuka perluasan informasi dan pengetahuan. Hanya sedikit orang yang memiliki akses terhadap sumber informasi dan pengetahuan.

Kelangkaan tersebut menghasilkan budaya elitisme, dominasi dan pemberian hak istimewa (privilege) kepada sedikit orang (elite).

Bila kelisanan menciptakan elitisme, keberaksaraan menumbuhkan egalitarianisme. Perluasan kemampuan literasi dan jumlah bacaan dengan sendirinya mendorong desentralisasi penguasaan informasi dan pengetahuan yang berujung pada kesederajatan.

Begitulah, banyak kalangan meyakini bahwa demokrasi bisa tumbuh kuat bila tradisi literasi juga kuat. Kita sering merujuk Athena (Yunani) sebagai ”proto demokrasi”.

Masuk akal, karena tradisi literasi tumbuh kuat di sana. Peradaban Yunani tumbuh di atas tradisi baca-tulis warganya.

Pelemahan literasi

Indonesia jelas produk tradisi keberaksaraan. Para pendiri bangsa merayakannya dengan penuh semangat, meski dalam situasi yang serba terbatas. Dengan penuh semangat mereka membaca, menulis, dan berdebat melalui surat kabar.

Hasilnya berupa “bayi kebangsaan”, yang kelak mendeklarasikan diri sebagai “bangsa Indonesia” yang berhasrat memerdekakan diri dari penjajahan negara kolonial. Tanpa literasi yang kuat mustahil bangsa Indonesia terbentuk dan meraih kemerdekaan.

Karena itu, sangat masuk akal bila para pendiri bangsa memilih negara demokrasi untuk negara Indonesia yang didirikan. Bukan negara agama, bukan pula negara kekuasaan, juga bukan monarki dan oligarki.

Meminjam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di sidang BPUPK, Indonesia didirikan sebagai negara ‘semua buat semua’; bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua’. Dengan demikian, keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bisa dinikmati semua kalangan.

Namun, kemerdekaan selama ini ternyata tak sungguh-sungguh menguatkan tradisi literasi. Kepemimpinan politik justru menjauh dari kehendak awal Indonesia merdeka.

Teeuw pernah meneliti teks Pidato Kenegaraan 1988. Profesor asal Belanda itu menemukan analogi antara teks tersebut dengan puisi-puisi lisan yang menonjol pada masyarakat niraksara.

Keduanya sama-sama mengandung teknik formulaik yang kuat. Tanpa memorisasi pun, dengan teknik formulaik, teks tersebut dapat diturunkan oleh siapapun asal menguasai formula-formulanya.

Misal, formula “pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila”, “stabilitas nasional untuk pembangunan”, dan sebagainya.

Teks Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto, menurut Teeuw, menyediakan bahan-bahan yang siap pakai. Para pejabat lain dapat memanfaatkannya sebagai bahan pidato yang pesan hakikinya sama, tapi mudah disesuaikan dengan sidang pendengar.

Dengan kata lain, teks Pidato Kenegaraan Soeharto merupakan induk atau pusat. Teks tersebut diturunkan menjadi teks pidato pejabat lain dengan teknik formulaik.

Menurut Teeuw, lewat teknik formulaik itulah sidang pendengar akan terkontrol sedemikian rupa.

Dengan demikian, yang dipraktikkan selama Orde Baru pada hakikatnya bukan penguatan literasi. Tak ada memorisasi, tak ada ruang untuk kritik. Yang terjadi justru pelemahan literasi sebagai basis pembentukan nilai-nilai demokrasi.

Selanjutnya, gegap gempita perayaan runtuhnya Orde Baru ternyata juga tak disambut penguatan literasi demokrasi yang oleh Orde Baru dilemahkan.

Perangkat keras demokrasi memang berhasil diubah, seperti kebebasan mendirikan partai politik, pendirian MK dan KPK, pemilihan presiden dan kepala daerah langsung, tapi perangkat lunaknya masih berjiwa tiran, feodal, elitis.

Demokrasi yang kita praktikkan bukan memuliakan ”demos” (rakyat), tapi justru membunuhnya, bak cerita Malin Kundang. Sejumlah perubahan kelembagaan demokrasi tak membuat rakyat berdaya secara politik.

Kepemimpinan politik justru mengalami defisit keintelektualan dan moralitas. Jagat politik dibanjiri politikus model rasionalitas pragmatis. Kian langka politikus rasionalitas substantif. Meritokrasi semakin tersisih oleh mediokrasi.

Paradoksal

Lihatlah, betapa wajah kita penuh paradoksal. Dari hari ke hari gambaran paradoks itu semakin tampak, baik di bidang sosial, politik maupun ekonomi.

Presiden Prabowo mengakui dan menyebutnya “Paradoks Indonesia”, di antaranya negeri kaya tapi rakyatnya miskin.

Akibatnya, kita menjadi serba gamang untuk melangkah menghadapi perubahan-perubahan. Kalaupun tidak begitu, kita menjadi reaktif, sekadar respons sesaat dalam bentuk pernyataan tanpa kesungguhan tindakan.

Hal itu tampak sekali, misalnya, dari cara negara merespons fakta pagar laut di Tangerang yang menghebohkan beberapa hari belakangan, yang sekaligus menandai paradoks itu.

Negara tampak ragu-ragu dan lamban. Tak aneh bila pagar laut itu disebut “misteri”, mengingat negara ternyata tak menemukan siapa yang bertanggung jawab.

Juga terasa bagaimana kita menanggapi publikasi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).

Organisasi para jurnalis investigasi dunia itu menempatkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo sebagai finalis “Person of the Year 2024” untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi. Juaranya Presiden Suriah yang digulingkan, Bashar al-Assad.

Kita tampak gamang menanggapinya. Terkesan tak mau ambil risiko atas “bola panas” yang dilemparkan OCCRP.

Hal ini juga tampak dari “keengganan” institusi penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan dan desakan sejumlah masyarakat sipil sehubungan dengan temuan OCCRP.

Wajah paradoksal itu harus segera diakhiri. Saatnya kepemimpinan politik Indonesia dikembalikan pada akarnya.

Kita mempunyai teladan kepemimpinan politik yang dibentuk oleh tradisi literasi yang kuat, yakni para pendiri bangsa. Produknya pun monumental dan menyejarah.

Saatnya para pemimpin politik Indonesia menghidupkan tradisi keberaksaraan secara sungguh-sungguh.

Demokrasi hanya akan tumbuh subur di bumi yang menyediakan budaya literasi yang kuat. Dan, saatnya Presiden Prabowo memimpinnya.

Tag:  #prabowo #tradisi #literasi #demokrasi

KOMENTAR