William Lai Jadi Presiden Baru Taiwan, Bagaimana Hubungannya dengan China?
William Lai Ching-te (tengah) akan memulai masa jabatan sebagai Presiden Taiwan pada 20 Mei 2024.(AP/NG HAN GUAN via DW INDONESIA)
19:06
21 Januari 2024

William Lai Jadi Presiden Baru Taiwan, Bagaimana Hubungannya dengan China?

Penulis: Yuchen Li/DW Indonesia

- Hasil pemilihan presiden dan parlemen Taiwan menjadi berita buruk bagi Beijing dan kemungkinan akan membuat hubungan kedua belah pihak tetap dingin, kata para ahli kepada DW.

Pada Sabtu (13/1/2024) malam, Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa di Taiwan berhasil mengamankan jabatan presiden ketiga berturut-turut.

Hal ini memecahkan rekor karena tidak ada partai politik yang berkuasa lebih dari dua periode sejak pulau tersebut memilih pemimpin pertamanya pada 1996.

Presiden terpilih William Lai Ching-te baru akan memulai masa jabatannya pada 20 Mei. Dalam pidato kemenangannya, ia mengatakan bahwa Taiwan telah memilih untuk "berpihak pada demokrasi" alih-alih menuju otoritarianisme.

Malamnya, Kantor Urusan Taiwan di bawah Pemerintah China menganggap sepi kemenangan ini. Kantor tersebut menyatakan bahwa hasil pemilu tidak mewakili opini publik arus utama Taiwan.

Kantor Urusan Taiwan menambahkan bahwa pemilu ini tidak dapat membendung "tren yang tidak dapat dihentikan menuju penyatuan kembali Tanah Air."

Beijing memang mengeklaim Taiwan sebagai wilayahnya. Di bawah pemerintahan pemimpin Xi Jinping selama satu dekade terakhir, China memperkuat tekadnya untuk bersatu kembali dengan pulau yang diperintah secara demokratis tersebut.

William Lai Ching-te yang berusia 67 tahun meraih sekitar 40 persen suara melawan dua kandidat lainnya yakni Hou Yu-ih dari partai oposisi utama Kuomintang (KMT) dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP) yang relatif baru berdiri.

"Mereka (China) tidak menyukai Lai. Ini berita buruk karena orang yang mereka tidak inginkan untuk menang justru menang," kata Lev Nachman, ilmuwan politik di Universitas Nasional Chengchi Taiwan, kepada DW.

Namun "ada hikmahnya dari sudut pandang RRC (Republik Rakyat China)," kata Nachman. Ia menyoroti bahwa Lai tidak memperoleh 50 persen suara. Hal ini berarti: "Mayoritas masyarakat tidak memilih DPP atau Lai. Itu masalah besar."

Sementara pakar lain percaya bahwa kemenangan DPP telah sesuai ekspektasi China. Chang Wu-ueh, pakar hubungan lintas selat di Universitas Tamkang, mengatakan kepada DW bahwa sebagian besar pejabat China telah memperkirakan hasil ini dan sedang mempersiapkan kemungkinan tanggapan.

"Langkah-langkah intimidasi militer dan tekanan ekonomi sebelum pemilu kemungkinan besar akan ditingkatkan di era setelah pemilu," menurut Chang Wu-ueh.

Hubungan China-Taiwan diperkirakan tetap dingin

Taiwan, yang berjarak sekitar 1,6 kilometer dari China, berpotensi menjadi salah satu titik konflik paling krusial di dunia. Dalam delapan tahun terakhir kekuasaan DPP, dialog resmi antara kedua kubu terhenti.

Dengan mulai menjabatnya Lai, Washington dan negara-negara Barat lainnya pun secara cermat mengamati bagaimana kebijakannya terhadap China dapat mengubah situasi yang sudah tegang.

"Saya tidak berpikir akan ada perang, namun saya pikir RRC akan tetap tidak mengangkat teleponnya," kata Nachman, seraya menambahkan bahwa "hubungan yang lebih dingin" diperkirakan akan berlarut-larut dan Lai kemungkinan besar tidak akan melakukan hal untuk mengubah status quo.

Sementara Chong Ja Ian, profesor ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, mengatakan kepada DW bahwa Xi Jinping memang tidak puas dengan hasil pemilu Taiwan dan ingin meningkatkan tekanan terhadap Taiwan.

Namun, Xi juga diperkirakan "khawatir akan terjadinya eskalasi yang tidak terkendali pada saat perekonomian RRC sedang terpuruk."

Dalam pidato kemenangannya pada Sabtu (13/1/2024), Lai berjanji akan bertindak sesuai dengan konstitusi "Republik China," nama resmi Taiwan, dengan cara yang "mempertahankan status quo lintas selat.”

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dalam pernyataan ucapan selamat kepada Taiwan menegaskan kembali komitmen untuk "menjaga perdamaian dan stabilitas lintas selat." Dia juga berjanji untuk melanjutkan "hubungan tidak resmi yang telah lama terjalin.”

Ujian nyata bagi pemerintahan Taiwan

Para pakar juga percaya bahwa parlemen baru akan menjadi ujian besar bagi kepemimpinan Lai. Hal ini mengingat fakta bahwa tidak ada partai politik yang mendapatkan mayoritas absolut di badan legislatif.

Chong, profesor politik di Singapura, menjelaskan bahwa "seorang presiden tanpa (dukungan) mayoritas legislatif harus menangani agenda legislatifnya, yang dapat memengaruhi kebijakan luar negeri."

Di parlemen Taiwan yang memiliki 113 kursi, DPP kehilangan 11 kursi pada pemilu terakhir, sehingga memberikan dominasi kepada KMT, yang memperoleh 52 kursi. Sementara TPP yang hanya memiliki 8 kursi, siap menjadi minoritas penting.

Situasi serupa, ketika partai berkuasa gagal memperoleh mayoritas, terjadi pada 2000 ketika mantan Presiden Chen Shui-bian dari DPP terpilih.

Profesor Chong mengatakan, ada saat-saat ketika Chen Shui-bian semakin frustrasi, ia mulai menyusun kebijakan lintas selat dengan cara yang lebih berisiko, termasuk kebijakan "Satu Negara di Setiap Sisi" yang mengindikasikan China dan Taiwan adalah dua negara berbeda.

Meskipun karakter William Lai Ching-te terlihat berbeda dengan karakter Chen Shui-bian, Chong menekankan, "tidak ada yang tahu pada saat ini" bagaimana pemimpin baru akan merespons tekanan ekstrem ketika berdiri di posisi teratas.

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Ke Mana Arah Hubungan Taiwan-China di Bawah Pemimpin Baru?

Tag:  #william #jadi #presiden #baru #taiwan #bagaimana #hubungannya #dengan #china

KOMENTAR