Tantangan Ciptakan ''Green Jobs'' dalam Hilirisasi Nikel
Ilustrasi nikel, penambangan nikel. (SHUTTERSTOCK/LP-STUDIO)
09:52
25 Januari 2025

Tantangan Ciptakan ''Green Jobs'' dalam Hilirisasi Nikel

- Pemerintahan Prabowo-Gibran terus mendorong program hilirisasi nikel untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen yang tercantum dalam Asta Cita.

Keseriusan ini dibuktikan dengan pembentukan satuan tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025 pada 3 Januari 2025 lalu.

Presiden Prabowo menunjuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, sebagai ketua satgas dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi melalui percepatan hilirisasi di berbagai sektor, termasuk nikel, serta mempercepat terwujudnya ketahanan energi nasional.

Ilustrasi nikel, penambangan nikel.SHUTTERSTOCK/EVGHENY_V Ilustrasi nikel, penambangan nikel.

Hasil studi menunjukkan, pemerintah dan industri memiliki pekerjaan rumah yang signifikan untuk memastikan hilirisasi nikel tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup dua komponen kunci, yaitu pelestarian lingkungan dan keadilan sosial.

Ini termasuk penciptaan pekerjaan yang mengakui hak-hak pekerja serta melindungi keselamatan dan kesejahteraan pekerja. Keduanya merupakan inti dari Green Jobs yang adil, berkelanjutan, dan inklusif.

Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia Ridwan Arif menyoroti tiga faktor yang menjadi alasan mengapa hilirisasi belum bisa dikatakan sebagai Green Jobs.

“Ternyata, masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Dalam hilirisasi ini, masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan Green Jobs. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan,” kata dia dalam keterangan resmi, Jumat (24/1/2025).

Untuk itu, ia menambahkan, industri pengolahan nikel sudah seharusnya memenuhi prinsip Environmental, Social and Governance (ESG) menuju transformasi ke arah dekarbonisasi industri dan praktik industri yang bertanggung jawab.

Ilustrasi environmental, social and governance (ESG).FREEPIK/FREEPIK Ilustrasi environmental, social and governance (ESG).

Industri nikel yang bertanggung jawab akan memiliki implikasi jangka panjang, baik terhadap ekosistem lokal maupun daya saing produk nikel Indonesia di pasar internasional.

Studi Koaksi juga menunjukkan, narasi ekosistem industri nikel belum sepenuhnya mendukung transisi energi bersih karena pengolahan nikel masih mengandalkan captive power batu bara yang menghasilkan emisi GRK tinggi.

Dari kapasitas 18 gigawatt (GW) pembangunan PLTU yang direncanakan pemerintah, 13 GW untuk mendukung industri nikel. Akuntabilitas dan transparansi data perlu ditingkatkan agar hilirisasi nikel selaras dengan tujuan transisi energi bersih.

Dari beragam narasi yang berkembang, studi Koaksi menyoroti pentingnya kolaborasi dan koordinasi multipihak baik pemerintah, industri tambang nikel dan pengolahannya, serta masyarakat sipil untuk memastikan kepentingan ekonomi, perlindungan sosial, dan lingkungan dapat berjalan bersama.

Menanggapi geliat industri nikel yang semakin berpeluang menciptakan Green Jobs, Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufik Achmad mengatakan, smelter nikel akan menunjang transisi energi.

"Jadi, ada beberapa teknologi yang digunakan untuk meningkatkan recovery dan menekan pencemaran,” imbuh dia.

Geliat hilirisasi ini, Achmad bilang, masih didominasi sektor energi. Untuk sektor manufaktur dan industri pengolahan nonmigas saat ini masih belum tersentuh.

Selain menunjang transisi energi, keberadaan smelter nikel berpotensi pada terciptanya Green Jobs yang tidak hanya untuk smelter. Namun, menciptakan Green Jobs di berbagai industri manufaktur yang berkaitan dengan nikel.

Sementara itu, Critical Minerals Transition Project Lead WRI Indonesia Reza Rahmaditio mengatakan, kebutuhan energi yang besar dalam smelter apabila digantikan dengan energi baru terbarukan (EBT) tentu akan menciptakan Green Jobs tidak hanya di smelter itu sendiri.

Ilustrasi pertambangan.
DOK. SHUTTERSTOCK/Maksim Safaniuk Ilustrasi pertambangan.  "Untuk memenuhi kebutuhan EBT di smelter, diperlukan berbagai manufaktur yang menghasilkan EBT. Misalnya, manufaktur solar panel, wind turbine, dan manufaktur low carbon lainnya,” ujar dia.

Dengan kata lain, hilirisasi nikel ini berpotensi tidak hanya untuk produksi nikel, tapi sebenarnya hilirisasi nikel ini bisa memberikan spill over effect pada industri-industri pendukung, terutama industri smelter.

Tantangan ini senada dengan hasil studi Koaksi Indonesia yang menunjukkan bahwa hilirisasi nikel berimplikasi terhadap risiko bisnis.

Standar keberlanjutan tertentu yang diterapkan Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya akan menyebabkan nikel Indonesia sulit menembus dua pasar itu.

Sebagai informasi, kebijakan hilirisasi nikel diklaim meningkatkan pendapatan ekonomi nasional sebesar 21,2 sampai 21,6 persen serta menciptakan penyerapan tenaga kerja hingga 13,83 juta dalam 10 tahun terakhir.

Namun sejumlah fakta yang terangkum dalam studi Koaksi Indonesia menunjukkan kesenjangan yang signifikan.

Tingkat kemiskinan di daerah penghasil nikel cenderung stagnan bahkan di dua daerah, yaitu Halmahera Selatan dan Konawe cenderung meningkat.

Dampak kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran lingkungan serta dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat menjadi tantangan yang membutuhkan perhatian besar dari pemerintah.

Apabila pemerintah serius berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup, sebagai prioritas ke-11 dari 17 program prioritas Pemerintahan Prabowo-Gibran, kebijakan hilirisasi nikel sudah seharusnya lebih berorientasi pada keberlanjutan lingkungan.

Editor: Agustinus Rangga Respati

Tag:  #tantangan #ciptakan #green #jobs #dalam #hilirisasi #nikel

KOMENTAR