Pro Kontra Perguruan Tinggi Kelola Bisnis Tambang, Kritik hingga Perlu Persetujuan Prabowo
Usulan pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi mendapatkan sorotan dari banyak pihak.
Usulan ini mencuat setelah pemerintah memberikan izin kepada ormas keagamaan untuk mengelola tambang.
Adapun usulan perguruan tinggi untuk mengelola tambang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba).
Dalam RUU Minerba, selain mengatur pemberian izin pertambangan untuk perguruan tinggi, juga mencakup izin pertambangan untuk ormas dan usaha kecil menengah (UKM).
RUU Minerba ini pun telah disepakati menjadi usul inisiatif dari DPR RI.
Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan mengatakan, revisi terhadap UU Minerba dilakukan agar publik tidak hanya menerima dampak buruk dari tambang, tetapi juga memiliki peluang untuk mengelola tambang.
"Bahwa kemakmuran rakyat, kesejahteraan rakyat, tidak lagi di dalam areal pertambangan itu masyarakat hanya terkena debu baru bara, atau akibat-akibat daripada eksploitasi minerba, tapi hari-hari ini merupakan peluang bagi masyarakat di RI," ujar Bob dalam rapat pleno Baleg DPR RI, Senin (20/1/2025).
Usulan ini pun mendapat catatan kritis dari berbagai pihak. Salah satunya Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridho Kresna Wattimena, yang menyebut bahwa usulan perguruan tinggi bisa mengelola tambang perlu disertai aturan yang detail.
Ridho mengaakan, dalam draft RUU Minerba disebutkan bahwa hanya perguruan tinggi yang terakreditasi yang bisa mengelola tambang. Namun, tidak ada penjelasan detail terkait tingkatan akreditasinya.
"Pertanyaan kami dari ITB, tingkatannya seperti apa? Karena perguruan tinggi itu diakreditasi oleh badan akreditasi, itu ada tiga tingkatan," ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Baleg DPR RI, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Ia menjelaskan, perguruan tinggi di Indonesia saat ini diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dengan rincian sebanyak 3.360 perguruan tinggi terakreditasi "Baik", sebanyak 472 perguruan tinggi dengan akreditasi "Amat Baik", dan 149 perguruan tinggi terakreditasi "Unggul".
"Nah, apakah prioritas ini akan diberikan oleh semua perguruan tinggi yang diakreditasi sesuai dengan draft? Itu masukan kami yang pertama, apakah nanti ada aturan turunan, kalau jadi UU apakah akan ada turunan yang lebih detail," kata Ridho.
Dia pun menyoroti jenis lahan yang nantinya diberikan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi. Sebab, hal ini akan berkaitan dengan pendanaan dan keuntungan yang didapat dari hasil pengelolaan tambang.
Ridho mencontohkan, jika nantinya perguruan tinggi diberi kesempatan mengelola greenfield atau lahan yang belum pernah dikelola, maka akan butuh waktu lama dan biaya yang besar untuk mengelola tambang tersebut. Terlebih, pengelolaan pertambangan bukanlah sebuah usaha yang cepat menghasilkan atau quick yielding.
"Di industri, penyelidikan umum sampai eksplorasi 5-10 tahun. Apakah perguruan tinggi untuk spend uang 5-10 tahun sebelum bisa mendapatkan uang? Itu juga sesuatu yang berat untuk perguruan tinggi," ucap Ridho.
Kritikan terkait usulan perguruan tinggi bisa mengelola tambang juga disampaikan Perwakilan PP Muhammadiyah Syahrial Suwandi. Menurut dia, tak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan untuk mengelola tambang.
"Tentang pemberian prioritas kepada perguruan tinggi dengan status paling rendah akreditasi B, artinya apa? Kami melihat tidak semua perguruan tinggi punya kemampuan dan prodi pertambangan dan geologi," ujarnya dalam rapat pleno dengan Baleg DPR RI, dikutip Kamis (23/1/2025).
Dia mengatakan, sekalipun sejumlah perguruan tinggi memiliki prodi pertambangan dan geologi, namun tidak semuanya memiliki akreditasi yang baik. Terlebih, pengelolaan tambang merupakan kegiatan yang kompleks dari hulu ke hilir.
"Padahal kita melihat pengelolaan tambang suatu kegiatan hulu ke hilir terintegrasi pada semua aspek yang ada. Jadi (kebijakan) ini perlu diperjelas nantinya, kalau menurut kami," ucap Syahrial.
Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai pemberian pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi bukanlah kebijakan yang tepat. Bahkan, hal ini dinilai bertentangan dengan fungsi dari perguruan tinggi itu sendiri.
Berdasarkan UU Pendidikan, perguruan tinggi memiliki tiga fungsi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Menurut dia, perguruan tinggi yang mengelola tambang menabrak UU Pendidikan tersebut.
"Pengelolaan tambang di mana pun prosesnya pasti menyebabkan perusakan terhadap lingkungan," kata Fahmy dalam keterangannya, dikutip Kamis (23/1/2025).
"Dengan mengelola tambang, perguruan tinggi termasuk ikut berkontribusi terhadap perusakan lingkungan, padahal selama ini perguruan tinggi mempelopori upaya melestarikan lingkungan," lanjutnya.
Dia menuturkan, pertambangan di Indonesia berada pada wilayah abu-abu, yang sering kali melakukan kejahatan pertambangan hitam dan menimbulkan konflik antara penambang dengan masyarakat setempat.
Maka peran perguruan tinggi yang selama ini mengayomi masyarakat bisa terseret ke dalam dunia kejahatan pertambangan hitam dan konflik dengan masyarakat.
Fahmy pun menduga tujuan pemberian konsesi tambang tersebut lebih untuk menundukkan perguruan tinggi agar tidak dapat lagi menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah secara kritis seperti yang selama ini dijalankan.
"Kalau benar dugaan tersebut, tidak berlebihan dikatakan bahwa terjadi prahara di perguruan tinggi dalam fungsi kontrol dan penegakan demokrasi di Indonesia," katanya.
Maka dari itu, Fahmy mendesak DPR untuk mencabut draft RUU Minerba tersebut, serta meminta seluruh perguruan tinggi di Indonesia menolak pemberian konsesi tambang agar tidak menimbulkan gejolak pada dunia pendidikan.
"DPR harus mencabut draft RUU itu. Kalau akhirnya, RUU itu disahkan, seluruh perguruan tinggi yang mengedepankan nurani harus menolak pemberian konsesi tambang agar tidak terjadi prahara perguruan tinggi," ucapnya.
Usulan perlu mendapat persetujuan Presiden.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Julian Ambassadur menyatakan, usulan pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi masih perlu mendapat persetujuan Presiden Prabowo Subianto.
Ia menjelaskan, usai RUU Minerba disahkan dalam rapat paripurna sebagai usul inisiatif dari DPR RI, maka akan disampaikan secara resmi kepada Presiden.
Jika nanti sudah mendapat persetujuan dari Presiden, maka akan ada perintah untuk kementerian terkait melakukan kajian mengenai RUU Minerba, termasuk soal usulan perguruan tinggi bisa mengelola tambang.
"Karena ini inisiatifnya DPR, baru nanti diajukan ke Presiden. Presiden nanti kalau sudah setuju akan keluar Surpres, Surat Presiden, baru nanti kita akan melakukan rapat antara pemerintah dengan DPR," ujarnya saat ditemui di DPR RI, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Meski begitu, Julian mengakui, saat ini Kementerian ESDM sudah melakukan kajian awal.
Namun, pihaknya masih menunggu draft RUU Minerba secara resmi disampaikan ke pemerintah oleh DPR untuk kemudian dikaji lebih lanjut. "Kita masih dalam kajian, itu nanti kita lihat apakah memang ada dampak positifnya atau dampak negatifnya. Jadi memang masih belum selesai, kita lagi kaji," kata dia.
Tag: #kontra #perguruan #tinggi #kelola #bisnis #tambang #kritik #hingga #perlu #persetujuan #prabowo