Neraca Perdagangan Surplus, Kemampuan Ekspor Tetap Mengkhawatirkan
HINGGA November 2024, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar 4,42 miliar dollar AS terutama berasal dari sektor nonmigas 5,67 miliar dollar AS. Namun, dari sektor migas defisit senilai 1,25 miliar dollar AS.
Pencapaian ini membuat Indonesia mencatat rekor neraca perdangangan yang surplus selama 4 tahun dan 7 bulan berturut-turut.
BPS mengungkapkan, secara kumulatif, total ekspor pada periode Januari hingga November 2024 mencapai 241,25 miliar dollar AS, atau naik 2,06 persen (yoy).
Dari sisi negara tujuan, China menjadi pasar ekspor nonmigas utama Indonesia dengan share sebesar 27,52 persen, disusul Amerika Serikat (10,33 persen) dan India (6,97 persen).
Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari–November 2024 naik 4,70 persen dibanding periode yang sama tahun 2023.
Demikian juga ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan naik 26,80 persen, sedangkan ekspor hasil pertambangan dan lainnya turun 8,83 persen.
Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari–November 2024 berasal dari Provinsi Jawa Barat dengan nilai 34,73 miliar dollar AS (14,40 persen), diikuti Jawa Timur 23,62 miliar dollar AS (9,79 persen), dan Kalimantan Timur 23,05 miliar dollar AS (9,55 persen).
Pada sisi lain, BPS mencatat, total nilai impor Indonesia dari Januari hingga November 2024 sebesar 212,39 miliar dollar AS, naik 4,74 persen (yoy).
Ketakpastian kondisi perdagangan global
Meski mencatat surplus selama 55 bulan berturut-turut, kinerja ekspor Indonesia pada tahun 2025 tetap mengkhawatirkan karena kondisi perdagangan global yang tidak pasti.
Melalui ‘Global Trade Outlook and Statistics’ yang dirilis Oktober 2024, Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) merevisi perkiraan pertumbuhan perdagangan barang dunia pada tahun 2024 menjadi 2,7 persen – naik sedikit dari perkiraan sebelumnya sebesar 2,6 persen – dan menjadi 3 persen pada 2025 dari 3,3 persen sebelumnya.
Menurut WTO, kondisi perdagangan global tahun 2025 ditandai tren permintaan barang yang melemah di Eropa dan hanya menguat di Asia.
Hal ini terjadi akibat pertumbuhan ekonomi Eropa yang tipis (sekitar 1,1 persen), tetapi lebih kuat di Asia (sekitar 4-5 persen).
Selanjutnya, mengingat sebagian besar transaksi dalam perdagangan global memakai dollar AS, WTO menyebutkan bahwa kondisi perdagangan global tahun 2025 akan sangat bergatung pada nilai dollar AS.
Memang, nilai dollar AS dari perdagangan barang dunia hampir tidak berubah pada paruh pertama tahun 2024.
Berdasarkan tren itu, WTO memprediksi volume perdagangan dan nilai perdagangan yang datar sekitar 2,6 persen, sebagai implikasi penurunan harga ekspor dan impor.
Untuk 2025, WTO memproyeksikan bahwa perdangan global akan tumbuh 3 persen dengan pertumbuhan PDB 2,7 persen.
WTO yakin bahwa penguatan nilai dollar AS mendorong pemotongan suku bunga di negara maju. Hal itu dapat menekan inflasi dan merangsang pertumbuhan yang lebih kuat.
Namun, menurut para ekonom Eropa, prediksi WTO bisa saja meleset, karena negara-negara UE tak mau kehilangan nilai euro lebih banyak lagi dari dollar AS pada 2025, meskipun dalam jangka pendek efek kebijakan Trump menguntungkan dollar AS.
Dalam Morning Sta (10/12), Valerio Baselli mencatat, para ahli ekonomi Eropa melihat bahwa beberapa pernyataan Trump lebih bermaksud untuk memulai negosiasi. Trump mau menggunakan ancaman tarif juga untuk mempromosikan tujuan non-perdagangan.
Mereka bahkan memprediksi euro akan jauh lebih kuat, dengan nilai tukar EUR-dollar AS menjadi 1,08 dollar AS pada Maret 2025, 1,09 dollar AS pada Juni 2025, dan 1,12 dollar AS pada Desember 2025.
Menurut WTO, faktor lain yang memengaruhi perdagangan global tahun 2025 adalah konflik regional, ketegangan geopolitik, dan ketidakpastian kebijakan ekonomi AS.
Eskalasi konflik di Timur Tengah dapat semakin mengganggu pengiriman dan menaikkan harga energi mengingat pentingnya kawasan tersebut dalam produksi minyak bumi.
Terlepas dari proyeksi WTO, analis dari lembaga keuangan global, J.P. Morgan & Co. memperkirakan bahwa ‘perang tarif dagang’ yang kian brutal antara China dan AS berpotensi mengaburkan fokus perdagangan mereka dengan negara-negara lain di dunia, termasuk dengan Indonesia.
Artinya, baik China maupun AS bisa saja akan mengendorkan permintaan barang dari Indonesia pada tahun 2025.
Apabila skenario ini berlaku, maka ini menjadi kabar buruk bagi kinerja ekspor Indonesia. Sebab BPS mencatat, China dan AS adalah dua pasar tujuan ekspor utama Indonesia.
Pada 2023 misalnya, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 64,93 miliar dollar AS, sedangkan ke AS mencapai 23,25 miliar dollar AS.
Defisit APBN, bisa jadi faktor penghambat
Selain kondisi perdagangan global yang penuh dengan ketidakpastian, kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia yang defisit bisa menjadi salah satu faktor yang melemahkan kemampuan ekspor Indonesia pada tahun 2025.
Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa kondisi APBN per November 2024 mencapai Rp 401,8 triliun atau setara dengan 1,81 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menkeu Sri Mulyani mengatakan, pendapatan negara per November 2024 tercatat mencapai Rp 2.492,7 triliun atau naik 1,3 persen yoy dari periode yang sama tahun lalu. Realisasi ini setara 89,0 persen dari target APBN 2024.
Sementara itu, realisasi belanja negara mencapai Rp 2.894,5 triliun atau meningkat 15,3 persen yoy dari periode sama tahun lalu. Realisasi ini setara 87,0 persen dari target APBN 2024.
Menurut teori ekonomi, defisit anggaran dapat memengaruhi neraca perdagangan dengan berbagai cara, tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran barang yang diperdagangkan.
Jika permintaan dan penawaran elastis, maka artinya keduanya merespons perubahan harga secara signifikan, depresiasi atau devaluasi mata uang domestik dapat meningkatkan ekspor dan mengurangi impor (kondisi Marshall-Lerner).
Sebaliknya, jika permintaan dan penawaran tidak elastis, artinya keduanya tidak terlalu merespons perubahan harga, maka devaluasi mata uang domestik dapat memperburuk neraca perdagangan karena biaya impor lebih besar daripada pendapatan dari ekspor (Kondisi ini disebut efek kurva-J.).
Dalam kondisi APBN yang defisit dan prospek perdagangan global yang tak menentu, Indonesia memang tak boleh menyerah, tetapi tetap giat mengupayakan peningkatan daya saing ekspor .
Untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan AS dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah, pada 17-18 Desember 2024 lalu Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.
Keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu BI juga memberikan dukungan kepada UMKM melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Kebijakan ini bertujuan meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas UMKM agar dapat bersaing secara global.
Sementara itu, didasarkan pada perhitungan yang mempertimbangkan PDB dunia, PDB Indonesia, nilai tukar, dan harga komoditas dunia, pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menargetkan nilai ekspor Indonesia pada tahun 2025 sebesar 294,45 miliar dollar AS dengan pertumbuhan 7,1 persen.
Untuk mewujudkan target tersebut, Kemendag menempuh beberapa langkah strategis seperti: membentuk dua pusat ekspor baru di luar Pulau Jawa; menjalin kerja sama dengan kementerian terkait untuk mendorong UMKM naik kelas dan bisa ekspor; dan mengoptimalkan peran perwakilan perdagangan Indonesia di berbagai negara untuk mempromosikan produk-produk UKM siap ekspor.
Selain itu, Kemendag juga melakukan deregulasi atau perubahan kebijakan terkait kegiatan ekspor melalui tiga pilar.
Pilar pertama, yaitu Pengamanan Pasar Domestik. Terkait ini Kemendag telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 2 Tahun 2025 bertujuan untuk mengubah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.
Pengetatan ekspor ini dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng dalam pelaksanaan program minyak goreng rakyat. Selain itu, untuk mendukung implementasi penerapan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen (B40).
Pilar kedua, yaitu perluasan pasar ekspor. Terkait ini Kemendag berupaya memperkuat diplomasi perdagangan melalui penyelesaian perundingan dan sengketa perdagangan dan menetapkan trade remedies seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk pakaian jadi dan BMAD untuk produk impor nilon asal China, Thailand, dan Taiwan.
Selain itu, disarankan agar pemerintah tidak terlalu tergantung pada pasar ekspor utama seperti India, China dan AS, tetapi menjajaki pangsa pasar baru di kawasan seperti Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin dengan memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati.
Pilar ketiga, yaitu UMKM BISA Ekspor. Melalui program ini, Kemendag bermaksud mendorong UMKM agar berani berinovasi dan siap beradaptasi untuk mengekspor produknya.
Kita berharap, melalui beberapa langkah dan kebijakan strategis tersebut, Indonesia mampu meraih daya saing ekspor yang lebih kuat di tengah ketakspatian ekonomi global tahun 2025 ini.
Tag: #neraca #perdagangan #surplus #kemampuan #ekspor #tetap #mengkhawatirkan