Trump Jadi Presiden AS Lagi, Indonesia Optimistis Hadapi Dampak Ekonominya Walau Gabung BRICS
Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump dalam konferensi pers di Mar-a-Lago Club, Palm Beach, Negara Bagian Florida, Selasa (7/1/2025). Trump pada Rabu (15/1/2025) mengeklaim bahwa kesepakatan gencatan senjata Gaza tercapai berkat kemenangannya di pilpres AS 2024.(GETTY IMAGES/SCOTT OLSON via AFP)
08:56
19 Januari 2025

Trump Jadi Presiden AS Lagi, Indonesia Optimistis Hadapi Dampak Ekonominya Walau Gabung BRICS

- Kembalinya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan membawa dampak ekonomi yang signifikan bagi negara-negara di dunia.

Donald Trump bakal dilantik menjadi Presiden AS ke-47 pada Senin (20/1/2025) atau besok.

Ia akan diambil sumpahnya sebagai Presiden setelah mengalahkan calon presiden dari Demokrat, Kamala Harris dalam pemilihan umum pada November 2024 lalu.

Pelantikan pada Senin nanti menandai kembalinya Trump ke Gedung Putih setelah masa jabatannya yang pertama sebagai Presiden AS ke-45 berakhir pada 2021.

Dengan Trump kembali memimpin, menimbulkan kehawatiran. Pasalnya saat Trump menjadi Presiden AS pada 2017-2021, dia menerapkan kebijakan proteksionis.

Salah satunya dengan menaikkan tarif bea masuk menjadi 200 persen bagi mobil listrik buatan China.

Sementara untuk produk mobil listrik yang dibuat di luar China, tarifnya hanya 50 persen

Baru-baru ini Donald Trump mengungkapkan akan menaikkan tarif dagang hingga 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS.

Untuk diketahui, Indonesia baru saja resmi bergabung dalam organisasi kerja sama ekonomi negara berkembang tersebut.

Lantas seperti apa respons pemerintah Indonesia mengantisipasi kebijakan ekonomi di era pemerintahan Trump yang baru ?

Indonesia "cukup kebal" dengan kebijakan AS

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pemerintah optimistis dalam menghadapi kebijakan tarif perdagangan yang agresif dari AS.

Airlangga mengatakan, Indonesia cukup kebal dalam menghadapi kebijakan tarif yang agresif dari AS.

Sebab, selama ini AS pun telah menerapkan berbagai tarif perdagangan kepada Indonesia.

"Bagi kita, tarif dari AS sudah menjadi sesuatu yang biasa. AS mengenakan tarif untuk sepatu, baju, dan berbagai komoditas kita. Sedangkan Vietnam, misalnya, tidak dikenakan tarif. Tapi kita sudah cukup imun terhadap tarif yang dikenakan AS ke Indonesia," ujarnya saat ditemui di Hotel Raffles, Jakarta, Senin (13/1/2025).

Kendati demikian, pemerintah tetap melakukan sejumlah langkah mitigasi melalui kerja sama bilateral seperti Free Trade Agreement (FTA) agar meskipun AS menerapkan tarif yang tinggi, Indonesia tetap bisa dikenakan tarif rendah.

"Kita sedang meminta adanya kerja sama ekonomi secara bilateral agar tarifnya bisa diturunkan," kata Airlangga.

Tak perlu khawatir

Sementara itu, sebelumnya Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu menyatakan Indonesia tidak perlu khawatir mengenai hubungan dengan AS setelah Indonesia resmi diterima sebagai anggota penuh organisasi kerja sama ekonomi BRICS.

Pernyataan ini terkait dengan ancaman Presiden AS Donald Trump yang menyebut akan menaikkan tarif hingga 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS.

"Tidak perlu khawatir karena kita kan bebas aktif. Kita boleh bekerja sama dengan berbagai pihak tanpa mengganggu kepentingan AS. Bahkan kita ingin menjadi jembatan antara negara berkembang dan negara maju," ujar Mari di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (7/1/2025), seperti yang dilansir dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden pada Rabu (8/1/2025).

Mengenai ancaman Trump, Mari menegaskan bahwa hal itu hak negara masing-masing.

"Kita belum mendengar atau melihat ancaman tersebut, namun jika ada, itu hak negara untuk melakukan transaksi. Saat ini pun, kita sudah memiliki sistem untuk berdagang langsung dengan China, tanpa harus melalui dolar," tambahnya.

Sistem yang dimaksud Mari adalah transaksi menggunakan mata uang lokal, yang disebut Local Currency Settlement (LCS), yang memungkinkan perdagangan langsung dari Rupiah ke Yuan antara Indonesia dan China.

Mari menjelaskan bahwa meskipun dolar masih dominan dalam transaksi dan penyimpanan aset, Indonesia sudah memulai proses diversifikasi mata uang dalam perdagangan internasional.

"Proses ini berjalan, dan BRICS mungkin akan membantu mempercepatnya, meski akan memakan waktu," ungkapnya.

Ia juga menyatakan bahwa hingga saat ini, tidak ada pihak yang memprotes penggunaan sistem LCS, yang dianggap sebagai inovasi baru dalam dunia keuangan internasional.

Ekonom dan pengusaha waspadai kebijakan proteksionis hingga dampak perdagangan

Di sisi lain, kembalinya Donald Trump menjadi orang nomor satu AS dikhawatirkan berdampak signifikan bagi pasar keuangan Indonesia.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, Trump berpotensi kembali mengeluarkan kebijakan proteksionis melalui tarif yang lebih tinggi, terutama pada impor dari China.

Hal ini berpotensi memperburuk perang dagang antara AS dan China, yang kemudian dapat memberikan tekanan tambahan pada negara-negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia.

"Ekspor Indonesia yang terkait dengan rantai pasok global mungkin akan mengalami tekanan margin," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (6/11/2024) lalu.

Adapun kebijakan proteksionis adalah kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antarnegara untuk melindungi industri dalam negeri.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan kekhawatiran atas dampak kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024 terhadap dunia usaha di Indonesia.

Apindo menilai, kemenangan Trump bisa memperkuat dollar AS terhadap rupiah, yang berpotensi menekan sektor bisnis di Tanah Air.

“Kalau melihat dari statement Bank Indonesia (BI), kalau Trump menang, akan terjadi penguatan dollar AS. Konsekuensinya, pemerintah harus memegang suku bunga agar tetap stabil,” ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, di Jakarta, Kamis (7/11/2024).

Bob menambahkan, kenaikan suku bunga akan semakin membebani dunia usaha, yang ia gambarkan sebagai kondisi “tambah teler lagi.”

Pernyataan Bob mencerminkan keprihatinan mendalam Apindo terhadap potensi kesulitan yang harus dihadapi pengusaha akibat kebijakan ekonomi yang akan berdampak langsung pada biaya operasional dan daya saing mereka.

Namun, secara keseluruhan, Apindo menilai masih ada masa depan dunia usaha asal dikerjakan dengan kehati-hatian, menyusul berbagai tantangan yang mungkin terjadi akibat perubahan politik internasional.

Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengungkapkan pandangan berbeda.

Eddy menilai, kemenangan Trump bisa membawa harapan baru untuk sektor ekspor kelapa sawit. Ia optimistis, janji Trump untuk menghentikan konflik di kawasan Timur Tengah dan Ukraina bisa memulihkan stabilitas rantai pasok global.

“Kita melihat kalau Trump menang, ada harapan untuk menyelesaikan perang. Artinya tidak terjadi perang lagi, dan itu pengaruhnya sangat besar terhadap ekspor kelapa sawit,” ujar Eddy saat ditemui di Nusa Dua, Denpasar, Kamis (7/11/2024).

Editor: Dian Erika Nugraheny

Tag:  #trump #jadi #presiden #lagi #indonesia #optimistis #hadapi #dampak #ekonominya #walau #gabung #brics

KOMENTAR