Kritik Reforma Agraria, Serikat Petani: Perusahaan Besar Punya Tanah Luas, Petani Bahkan Tak Punya Lahan
Serikat Petani Indonesia mengkritik program pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Reforma Agraria.
Reformasi agraria adalah program strategis nasional yang memiliki peran dalam upaya pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, serta penyelesaian konflik agraria, untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih mengatakan, hingga saat ini penguasaan tanah masih mengalami ketimpangan, di mana perusahaan besar menguasai lahan lebih luas dibandingkan petani.
"Ketimpangan penguasaan tanah di mana perusahaan-perusahaan besar menguasai tanah dengan skala yang luas sekali, sementara mayoritas petani kita 60 persen adalah petani gurem, tidak punya lahan, bahkan tidak punya rumah," kata Henry saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/1/2024).
Henry juga mengatakan, penggunaan lahan-lahan yang subur tidak digunakan untuk menanam tanaman pangan. Namun, ditanam tanaman untuk kebutuhan ekspor seperti kelapa sawit dan kayu untuk pembuatan kertas.
Ia mengatakan, lahan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16 juta hektar. Sementara, lahan untuk persawahan hanya 7,4 juta hektar.
"Jauh sekali. Jadi bukan karena petani kurang rajin berproduksi tetapi memang lahannya yang terbatas," ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut, Henry berharap pemerintahan berikutnya dapat melakukan evaluasi terhadap program Reforma Agraria khususnya terkait pembagian 9 juta hektar tanah kepada rakyat.
"Petani masih kekurangan dan tidak memiliki tanah itu masalahnya, perlu reforma agraria yang 10 tahun tidak dijalankan Jokowi, itu harus dijalankan dan kedua tanah-tanah ini harus ditanami oleh tanaman pangan bukan oleh tanaman ekspor," ucap dia.
Dikutip Kompas.id, capaian program reforma agraria dinilai masih jauh dari harapan, kendati pemerintah telah berupaya menjalankannya. Program reforma agraria masih bertumpu pada legalisasi aset tanah sehingga belum benar-benar mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria.
Realisasi program reforma agraria yang digulirkan selama periode 2015-2023 juga masih timpang. Reforma berskema legalisasi aset dan redistribusi tanah eks hak guna usaha (HGU), tanah telantar, dan tanah negara jauh lebih dominan capaiannya ketimbang redistribusi tanah di kawasan hutan.
Reforma agraria merupakan agenda Nawacita ke-5 Presiden Joko Widodo. Program ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang kemudian dilanjutkan dalam RPJMN 2020-2024.
Terkait itu, pemerintah merencanakan reforma agraria seluas 9 juta hektar. Target ini meliputi legalisasi aset dengan target 4,5 juta ha dan redistribusi tanah 4,5 juta ha. Legalisasi aset itu mencakup 3,9 juta ha tanah warga dan 0,6 juta hektar tanah transmigrasi. Adapun redistribusi tanah terdiri dari pelepasan 4,1 Juta ha kawasan hutan serta 0,4 juta ha lahan eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto, Rabu (10/1/2024), mengatakan, hingga akhir 2023, realisasi legalisasi aset telah mencapai 110,5 juta bidang tanah dari total target 126 juta bidang tanah. Sertifikasi aset itu mencakup tanah warga dan transmigran yang belum bersertifikat.
Adapun redistribusi tanah di kawasan hutan baru terealisasi seluas 379.621,85 ha atau 9,26 persen dari target 4,1 juta ha. Hal ini berbeda dengan redistribusi tanah eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara yang terealisasi 1,43 juta ha atau 358,23 persen dari target 0,4 juta ha.
"Legalisasi aset sudah seusai rencana. Begitu juga dengan redistribusi tanah eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara yang jauh melampaui target. Namun, untuk redistribusi tanah di kawasan hutan masih belum maksimal,” kata Hadi saat ditemui Kompas di kantor Kementerian ATR BPN di Jakarta.
Hadi mengakui redistribusi tanah eks HGU perusahaan swasta lebih mudah dilakukan ketimbang melepaskan lahan milik pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN). Hal itu lantaran pemerintah berwenang untuk memperpanjang atau tidak HGU tersebut.
Kendati demikian, untuk melepas lahan milik pemerintah dan BUMN, Kementerian ATR/ BPN telah menemukan solusinya, yakni dengan skema hak guna bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan tanah (HPT). Dengan skema ini, pemerintah/BUMN tidak kehilangan asetnya.
Ia mencontohkan, Kementerian ATR/BPN telah menyerahkan 1.043 sertifikat tanah dari 1.160 sertifikat tanah kepada masyarakat di Kelurahan Ngelo, Cepu, dan Karangboyo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sertifikat ini berskema HGB di atas HPL Pemerintah Kabupaten Blora.
Warga penerima sertifikat tersebut telah puluhan tahun tinggal di lahan milik Pemkab Blora. Sertifikat itu berlaku selama 30 tahun dan bisa diperpanjang lagi untuk 30 tahun, serta diperbarui untuk 20 tahun.
Selain itu, Kementerian ATR/BPN juga telah merampungkan sengketa lahan antara suku Anak Dalam (SAD) dan perusahaan swasta yang telah berlangsung sekitar 28 tahun di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Sebanyak 113 sertifikat hak kepemilikan bersama (HKB) telah diserahkan kepada 516 keluarga di SAD Tebing Tinggi dan tiga sertifikat HKP kepada 268 keluarga di Desa Jadi Mulya.
Sementara terkait redistribusi tanah di kawasan hutan, Hadi menambahkan, Kementerian ATR/BPN akan terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya Direktorat Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Hal itu terutama terkait pemberian sertifikat kepada masyarakat yang tinggal di 21.283 desa yang berada di kawasan hutan.
”Masih banyak sejumlah peraturan yang tumpang tindih yang menghambat sertifikasi itu. Kami tidak akan berdiam diri dan akan terus berkoordinasi dengan KLHK agar target reforma agraria di kawasan hutan itu bisa tercapai,” katanya.
Tag: #kritik #reforma #agraria #serikat #petani #perusahaan #besar #punya #tanah #luas #petani #bahkan #punya #lahan