Menyoal Masih Tingginya Harga Beras
BADAN Pangan Nasional (Bapanas) telah menetapkan besaran stok pangan yang harus dimiliki pemerintah sampai akhir 2024 nanti.
Hal itu ditetapkan dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 379.1/TS.03.03/K/11/2023 tentang Jumlah, Standar Mutu, dan Harga Pembelian Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) Tahun 2024.
Dalam keputusan itu, Bapanas menetapkan jumlah stok minimal dalam pengelolaan 13 komoditas pangan sebagai CPP.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, pemerintah terus melakukan penguatan CPP dilakukan sejalan dengan penguatan kelembagaan Perum Bulog. Hal itu disampaikan dalam keterangan tertulis kepada media, Kamis (11/1/2024).
Namun demikian, harga masih belum terkendali alias masih terlalu tinggi. Baru-baru ini, bahkan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Suhanto tak menampik ihwal harga beras saat ini masih tinggi.
Namun, kata dia, kenaikan tersebut kini sudah tidak bergejolak. Dengan kata lain, harga sudah mulai stabil, tapi masih tercatat tinggi.
Harga beras terus menanjak naik sejak Agustus 2022. Pada September 2023, terjadi lonjakan signifikan. Sehingga, saat ini tak ada lagi harga beras medium termurah di bawah 12.000 per kg.
Panel Harga Badan Pangan mencatat, pada Kamis (11/1/2024 pukul 14.14 WIB), harga beras medium naik Rp 20 ke Rp 13.310 per kg dan harga beras premium bertengger di Rp 15.010 per kg. Harga tersebut adalah rata-rata harian nasional di tingkat pedagang eceran.
Dibandingkan sepekan sebelumnya, terjadi penurunan di mana pada 4 Januari 2024, harga beras premium bertengger di Rp 15.020 per kg dan beras medium di Rp 13.220 per kg.
Secara faktual, program bantuan pangan 10 kg per bulan yang diberikan kepada 21 juta lebih keluarga penerima manfaat (KPM) nampaknya memang belum mampu menekan harga beras. Padahal, bantuan pangan sudah terbilang berhasil menurunkan inflasi beras.
Sedangkan Bantuan Pangan CBP (cadangan beras pemerintah) tahap II yang disalurkan dari September sampai Desember 2023, tercatat cukup mampu menjaga laju kenaikan harga beras di akhir tahun yang biasanya naik tinggi.
Hal ini terlihat dari inflasi beras yang menurun cukup signifikan dari 5,61 persen pada September 2023 menjadi 0,43 persen pada Desember 2023. Namun, untuk menekan harga nyatanya belum berhasil.
Masalah utama tidak terkendalinya harga beras sejak tahun lalu, adalah kemarau panjang atau El Nino. Musim kemarau yang panjang sejak 2022, gagal diantisipasi oleh pemerintah dengan pengadaan ketersediaan pasokan baru di awal masa kemarau bermula. Risikonya harga beras bergejolak cukup tinggi di tahun 2023.
Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk mengimpor tidaklah cepat, sehingga tidak bisa serta merta memenuhi kekurangan pasokan dan tidak serta merta memberikan sinyal positif kepada pelaku pasar untuk menekan harga jual segera.
Nahasnya lagi, di tahun 2023 lalu dan tahun ini, rencana kebijakan impor untuk mengatasi potensi ketatnya pasokan juga terancam oleh kebijakan proteksionis dari beberapa negara importir, seperti India dan Vietnam.
Negara-negara eksportir bahan pangan juga mengalami hal sama, yakni musim kemarau yang panjang. Dengan kata lain, musim kemarau panjang juga dialami di negara lain, yang membuat mereka harus menjaga pasokan nasional yang menurun dengan kebijakan pembatasan ekspor (menaikkan pajak ekspor komoditas pokok).
Di luar faktor kemarau tersebut, dalam keadaan normal, harga beras sebenarnya dipengaruhi oleh faktor musim dan momen. Harga beras akan tercatat turun di saat musim panen raya datang, sekitar bulan Maret dan April.
Di sisi lain, harga akan bergejolak cukup signifikan di saat momen Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Harga akan terpantau stabil jika waktu panen raya bersamaan dengan waktu Lebaran.
Momen Lebaran diawali oleh bulan Ramadhan selama sebulan penuh, yang menjadi awal produsen/distributor/retail, bahkan pemerintah dan konsumen sama-sama memulai untuk bersiap-siap meningkatkan, baik stok maupun menyiapkan anggaran lebih untuk meningkatkan permintaan atas bahan pokok strategis.
Momen sebelumnya adalah Natal dan Tahun Baru. Pada momen ini, baik produsen, distributor, retail, dan pemerintah juga biasa bersiap-siap menghadapi lonjakan permintaan.
Sesuai dengan namanya, Natal dan Tahun Baru adalah momen langganan di penghujung tahun, di mana panen raya komoditas pokok seperti beras, minyak goreng, dan bawang merah, sudah terjadi beberapa bulan sebelumnya.
Sehingga di akhir tahun, biasanya harga-harga bergerak naik, karena ancaman keterbatasan ketersediaan pasokan, yang imbasnya sampai ke awal tahun berikutnya menjelang musim panen raya datang lagi.
Terkait harga, sebenarnya jika dilihat secara historis, secara tahunan, pergerakan harga komoditas beras sepanjang 10 tahun terakhir masih berada di ambang batas normal, yakni berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi nasional.
Dari data PIHPS Bank Indonesia, pergerakan harga rata-rata beras premium dari 2014 sampai dengan akhir 2023, terjadi kenaikan harga sekitar 45 persen. Artinya rata-rata persentase kenaikan harga per tahun sekitar 4,5 persen.
Untuk beras medium, terjadi kenaikan sebesar 43 persen selama 10 tahun. Artinya, rata-rata kenaikan per tahun adalah sebesar 4,3 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi sejak 2014 rata-rata 5 persen dengan inflasi sekitar 3-4 persen.
Kenaikan tersebut masih terbilang normal, sesuai dengan kenaikan jumlah penduduk dan kenaikan konsumsi beras per kapita.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi beras di dalam negeri terus naik. Susenas BPS September 2022 menunjukkan 98,35 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi beras. Sedangkan konsumsi beras ketan hanya 1,94 persen, sementara jagung hanya 1,3 persen.
Data juga menunjukkan per September 2023, rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia, baik lokal, kualitas unggul, maupun impor, tercatat mencapai 6,81 kg per bulan.
Konsumsi tersebut meningkat 0,87 persen dibandingkan September 2021, di mana konsumsi Beras sebanyak 6,75 kg/kapita/bulan.
Sementara itu, dari sisi produksi, Indonesia masih relatif berhasil memproduksi beras di atas tingkat konsumsi beras nasional. Walaupun, dari perkembangan beberapa tahun terakhir, data produksi beras nasional menunjukan tren penurunan secara bertahap.
Produksi komoditas beras periode tahun 2018–2022, belum mengalami kenaikan signifikan. Padahal jumlah populasi Indonesia mengalami kenaikan secara perlahan dan masih lebih tinggi dibandingkan laju penurunan konsumsi beras per kapita yang terjadi akhir-akhir ini.
Oleh sebab itu, kebutuhan dan tingkat konsumsi beras nasional masih memiliki tren naik, sementara produksi cenderung menurun.
Beberapa permasalahan penting yang terus menerus dihadapi produksi perberasan nasional adalah alih fungsi lahan areal tanam padi, menurunnya minat generasi muda untuk menjadi petani, keterbatasan prasarana dan faktor produksi.
Selain itu, tingkat kesejahteraan petani padi yang relatif rendah, serta fluktuasi harga gabah yang kerap kurang berpihak kepada petani. Permasalahan-permasalahan ini sebenarnya sudah sangat dipahami oleh para pengambil kebijakan.
Jadi dari tinjauan umum di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan utama di balik tingginya harga beras adalah masalah pasokan di satu sisi, yang diakibatkan oleh kemarau panjang, dan keterjaminan plus kelancaran distribusi (tata niaga) di sisi lain, yang terkait dengan kalancaran pasokan ke pasaran.
Masih tingginya harga, meskipun belum stabil dan penyaluran bantuan beras telah dilakukan, tentu karena pelaku pasar masih merasakan kondisi pasokan yang ketat, sehingga harga masih sulit untuk ditekan.
Situasinya akan berbeda saat pasokan lebih dari cukup dan distribusi lancar, pelaku pasar akan berpikir panjang untuk mematok harga tinggi, karena beras bisa didapat di banyak tempat.
Karena itu, tantangan utama ke depan adalah pertama, memastikan ketahanan pangan nasional semakin membaik, terutama untuk komoditas beras, agar berbagai potensi kekurangan pasokan bisa diatasi segera di satu sisi dan berbagai ancaman gejolak harga yang terlalu tinggi bisa ditekan di sisi lain.
Secara umum, apapun cara dan kebijakan yang akan diambil oleh presiden baru nanti, baik melalui strategi food estate atau contract farming, selama dijalankan secara serius dan konsisten serta ditujukan untuk kepentingan nasional, hasilnya kemungkinan akan sangat membantu memastikan ketahanan pangan nasional.
Bahkan kenapa harus memilih, jalankan saja kedua strategi secara paralel.
Kedua, meningkatkan belanja infrastruktur pertanian, mulai dari irigasi sampai pada jalan-jalan desa, yang akan memperbaiki tata kelola perairan tanaman padi dan memperlancar jalur distribusi hasil panen dari sentra produksi ke pasar.
Ketiga, menstabilisasi harga pupuk dan memastikan subsidi tepat sasaran. Tak bisa dipungkiri, salah satu sebab tingginya biaya produksi gabah adalah masih tingginya harga pupuk di pasaran, membuat biaya yang dikeluarkan petani semakin besar untuk memproduksi gabah.
Terakhir, memutus rantai degenerasi petani, dengan membuka peluang-peluang baru bagi generasi muda untuk kembali ke sektor pertanian.
Misalnya dengan mendorong dan memudahkan proyek-proyek urban farming dan mempercepat terjadinya digitalisasi sektor pertanian.
Tag: #menyoal #masih #tingginya #harga #beras