



Paralelisme Pembangunan Prabowo dan Deng Xiaoping
DALAM beberapa kesempatan di hadapan publik, Presiden Prabowo Subianto menyatakan kekagumannya terhadap Deng Xiaoping.
Ia menyebut Deng sebagai pemimpin visioner yang mampu membawa China keluar dari kemiskinan akut menjadi kekuatan ekonomi dunia tanpa meninggalkan identitas kebangsaan dan ideologi dasarnya.
Atas dasar kekaguman itu, beberapa arah kebijakan dan program Prabowo saat memimpin tampak mengadopsi pola-pola yang dahulu dirintis Deng, terutama dalam hal reformasi pembangunan pedesaan.
Namun, di balik semangat yang serupa, terdapat perbedaan mendasar antara Indonesia dan China, khususnya dalam struktur politik dan sosialnya.
Jika Deng bekerja dalam sistem satu partai yang otoriter dan terpusat, Prabowo justru beroperasi dalam ruang demokrasi liberal yang belum matang.
Karena itu, meskipun semangat membangun dari desa bisa disejajarkan, pendekatan dan tantangannya sangatlah berbeda.
Dari bencana ke reformasi: Pelajaran dari Tiongkok
Kisah sukses pembangunan China hari ini tidak bisa dilepaskan dari kegagalan masa lalu. Antara tahun 1958 hingga 1961, kampanye Great Leap Forward yang dipimpin Mao Zedong menghasilkan krisis pangan dahsyat dan kematian puluhan juta orang.
Program kolektivisasi pertanian gagal total. Krisis tersebut melemahkan legitimasi Mao dan membuka ruang bagi tokoh seperti Deng Xiaoping untuk mulai memikirkan arah baru.
Deng, dalam konteks itu, tampil bukan sebagai revolusioner yang mengganti sistem secara frontal, tetapi sebagai reformis pragmatis.
Ungkapan terkenalnya, "tidak peduli kucing itu hitam atau putih, selama ia bisa menangkap tikus, itu adalah kucing yang baik” menjadi simbol pergeseran paradigma.
Deng mendukung inisiatif desa seperti sistem tanggung jawab keluarga (household responsibility system), yang memberi petani otonomi atas lahan dan hasil panen. Reformasi ini kemudian meluas dan menjadi fondasi industrialisasi modern China.
Dalam sistem satu partai yang nyaris tanpa oposisi, Deng bisa mengeksekusi kebijakan secara cepat, terpusat, dan berskala nasional.
Keberhasilannya tak hanya soal visi, tapi juga tentang struktur kekuasaan yang memungkinkan perubahan radikal dijalankan tanpa interupsi politik.
Membangun dari desa
Di Indonesia, Prabowo melihat desa sebagai titik awal kebangkitan bangsa. Ia menawarkan program Koperasi Merah Putih (KMP) sebagai bentuk konkret intervensi negara untuk menghidupkan ekonomi desa.
Dalam desain awalnya, koperasi ini tidak hanya berperan sebagai lembaga simpan pinjam, tapi menjadi simpul produksi, distribusi, dan perdagangan hasil pertanian dan produk lokal.
Gagasan ini mencerminkan semangat reformasi Deng: menggerakkan ekonomi dari bawah, membangun struktur kolektif rakyat, dan mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Seperti halnya township and village enterprises (TVEs) di China, Koperasi Merah Putih dimaksudkan untuk menjadi infrastruktur ekonomi berbasis komunitas yang bisa mendorong transformasi sosial dan kesejahteraan.
TVEs adalah unit-unit usaha milik kolektif atau komunitas lokal di tingkat desa dan kecamatan (township) yang berkembang pesat di China pada era reformasi ekonomi pasca-1978.
TVEs memainkan peran penting dalam proses industrialisasi pedesaan dan transformasi ekonomi China dari sistem ekonomi terencana ke ekonomi pasar sosialis.
Reformasi pedesaan yang dilakukan China pada era Deng Xiaoping tidak hanya membawa dampak jangka pendek berupa peningkatan produksi pangan dan penurunan kemiskinan, tetapi juga meletakkan fondasi struktural bagi transformasi ekonomi nasional.
Kemunculan TVEs menciptakan basis industri dan logistik lokal yang menjadi penyangga tumbuhnya sektor manufaktur ekspor China pada dekade-dekade berikutnya.
Dalam waktu kurang dari empat dekade, China beralih dari negara agraris miskin menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar dunia, dengan daya saing global yang melampaui prediksi banyak pengamat Barat.
Sebagaimana dicatat oleh Lin. J,Y (2012), keberhasilan industrialisasi China tidak bisa dilepaskan dari struktur yang dibangun sejak reformasi pedesaan dimulai.
Basis desa menjadi penyerap tenaga kerja surplus dari sektor pertanian dan menciptakan kelas menengah baru yang menopang konsumsi domestik.
Hari ini, China bukan hanya menjadi kekuatan ekonomi utama dunia, tetapi juga tampil sebagai negara pengimbang (counterbalance) terhadap hegemoni Amerika Serikat di bidang teknologi, geopolitik, dan diplomasi global.
Dengan kata lain, keberanian Deng mengubah desa-desa menjadi pusat pertumbuhan adalah langkah strategis yang kini membentuk lanskap kekuatan dunia abad ke-21.
Berbeda dengan Indonesia. Secara empiris pembangunan di pedesaan kerap gagal bukan karena ide dasarnya keliru.
Semisal praktik tata kelola koperasi yang pelaksanaannya cenderung top-down, minim partisipasi, dan ketiadaan model bisnis yang berkelanjutan.
Koperasi dibentuk oleh negara, dipimpin oleh elite lokal, dan hidup dari bantuan pemerintah bukan dari semangat kolektif warganya.
Pendekatan pembangunan yang terlalu mengandalkan kontrol negara bisa menjadi bumerang. Contoh lainnya adalah pelibatan aktif TNI dalam program ketahanan pangan nasional.
Meski niatnya untuk menjamin produksi pangan dan membuka lahan strategis, pelibatan militer ke dalam ranah ekonomi rakyat berisiko mengikis semangat partisipasi.
Tantangan struktural dan penyesuaian ruang demokrasi
Secara politik, Prabowo harus menghadapi realitas patronase yang melekat dalam sistem demokrasi elektoral.
Berbagai program populisnya bisa saja dibajak menjadi alat politik oleh elite yang tersebar dalam rentang lokal hingga nasional.
Untuk kepentingan politik elektoral program-program populis dijadikan saluran patronase, atau sekadar proyek formalitas yang tidak tumbuh dari kebutuhan warga.
Jika KMP hanya menjadi instrumen distribusi bantuan pemerintah tanpa transformasi kesadaran kolektif, maka ia hanya akan mengulang pola kegagalan sebelumnya.
Tanpa pengawasan yang kuat, koperasi dapat dikotori oleh praktik korupsi, kolusi, dan penyelewengan dana.
Tanpa pendidikan koperasi dan kepemimpinan yang jujur di tingkat akar rumput, koperasi tak akan menjadi alat kedaulatan ekonomi, melainkan sekadar lembaga formal yang mati suri.
Ezra F. Vogel dalam "Deng Xiaoping and the Transformation of China (2011)" menulis bahwa keberhasilan Deng terletak bukan hanya pada kejelian strategi, tetapi pada keberaniannya membuka ruang eksperimen rakyat.
Ia membiarkan desa mencoba, gagal, lalu belajar kembali, tanpa disabot oleh birokrasi atau dibatasi oleh dogma.
Jika Prabowo ingin mengambil pelajaran dari Deng, maka ia harus menyesuaikannya dengan konteks Indonesia: memberi ruang partisipasi, memperkuat transparansi, dan menjauhkan program dari kepentingan politik sesaat.
Reformasi dalam sistem demokrasi bukan hanya soal keputusan cepat, tetapi tentang membangun kepercayaan publik.
Perubahan di Indonesia tidak bisa bertumpu pada otoritas tunggal, melainkan pada konsensus dan kolaborasi.
Di sinilah kepemimpinan Prabowo diuji: bukan hanya dalam merumuskan program, tetapi dalam membangun kepercayaan rakyat untuk mengambil bagian di dalamnya.
Deng Xiaoping tidak memulai dari revolusi besar, tapi dari keberanian mengakui kesalahan masa lalu dan membiarkan rakyatnya menciptakan solusi lokal.
Prabowo pun tak perlu memulai dari nol. Indonesia memiliki warisan gotong royong dan budaya kolektif yang kuat. Yang dibutuhkan adalah ruang untuk tumbuh, bukan sekadar struktur birokrasi, melainkan gerakan rakyat.
Jika Prabowo mampu menjadikan desa bukan sebagai objek kebijakan, melainkan sebagai subjek perubahan, maka jalan reformasi bisa dibuka.
Di desa, ada kekuatan produktif, solidaritas sosial, dan kearifan lokal yang selama ini terabaikan. Dan di sanalah, mungkin, letak harapan baru Indonesia, bukan hanya untuk membangun, tetapi untuk bangkit sebagai bangsa.